PART 9

1K 67 1
                                        

Rina membuka pintu apartemennya dan kami melihat sosok yang memakai baju hitam,memakai masker dan topi berhadapan dengan Rina. Kami shock. Aku dan Astro berlari menaiki tangga ruang bawah tanah Dadang dan bertemu Kiki dan orang tua Dadang yang duduk di pinggir tempat tidur Dadang. Kami hanya pamit singkat pada orang tua Dadang dan menyeret Kiki yang kebingungan.

Diperjalanan,diatas mobil,kami menjelaskan masalah yang terjadi pada Kiki sedapat mungkin sambil melesatkan mobil dengan kencang.

Hendrik dalam perjalanan ke apartement Rina juga dengan sepeda motornya. Wajahnya begitu khawatir. Dia tidak akan memaafkan dirinya jika Rina kenapa-kenapa.

Mobil ini sudah sampai didepan apartement Rina,bersamaan dengan itu Hendrik datang. Tatapan Astro dari kursi kemudi menatap Hendrik bak macan yang akan menerkam mangsanya. Astro keluar dari mobil di barengi aku dan Kiki.

"Awas saja kau!" Ancam Astro pada Hendrik sambil masuk ke apartement Rina. Hendrik gelagapan sambil ikut masuk ke apartement di ikuti aku dan Kiki.

Astro didepan berapa meter dari kami. Dia berlari sekencang mungkin seperti sedang maraton. Sepertinya badan kekarnya memang didapatnya dengan berolahraga. Liat saja perbandingannya,ketika kami masuk lift,Astro tak sedetikpun tersengal-sengal dibandingkan kami bertiga yang baru berapa meter saja sudah ingin mati.

Sampailah kami didepan apartement Rina. Pintunya terbuka namun tak lebar-lebar hanya bercelah sedikit.

Astro memberi kami kode untuk mengeluarkan senjata kami. Pelan-pelan kami mendekati pintu Rina,Astro mendorong pintu Rina dengan ujung jari. Pintunya terbuka pelan-pelan.

Ketika pintunya terbuka lebar,kami langsung mengacungkan senjata kami. Tak ada siapapun. Astro memberi kami kode berpencar.

Kami memeriksa kamar Rina,kamar mandi,dapur dan ruangan pakaiannya secara berpencar namun tak ada siapapun. Aku lemas seketika,terduduk disamping kamar Rina,menutupi wajah dengan pistolku. Kiki terdiam berdiri sambil menunduk kearah lantai. Astro menatap Hendrik kesal. Hendrik hanya diam seperti mengakui kesalahannya.

"Kalau saja kau disini,ini takkan terjadi. Kau kemana?!" Bentak Astro pada Hendrik dengan garangnya. Hendrik hanya diam mematung.

"Skarang gimana? Kita bahkan gak tau dia dibawa kemana! Gak ada petunjuk" Ujarku bingung sambil menatap Astro. Aku hampir saja menangis,membayangkan gadis itu sudah diapa-apakan.

"Dimana kira-kira mereka berada? Ini bisa jadi tempat rahasia mereka atau tempat mereka berdua bertemu pertama kali" Duga Kiki.

"Diary Dadang!" Celetukku sambil bangkit dan mengeluarkan Diary itu dari jaketku.

"Kau membawanya?" Pertanyaan Astro ini terdengar seperti pujian.

"Ini bukti!" Jawabku sambil membuka Diary Dadang satu per satu halamannya. Kami berusaha begitu teliti mencari nama tempat yang dia tulis,mungkin itu bisa jadi tempat untuk menyekap Rina.

Kami membacanya kata demi kata,takut ada yang terlewat. Dan ada. Rumah kecil di daerah pedesaan yang mereka -Dadang dan Rina- pakai jika kesana dan memancing bersama. Itu daerah yang terpencil namun indah. Tapi butuh waktu 3 jam untuk kesana. Artinya mereka dalam perjalanan sekarang.

Kami kekantor dan meminta divisi lain gambar CCTV dijalanan menuju daerah yang kemungkinan didatangi Dadang dan Rina. Kami hanya ingin lihat mobil Rina apakah ada yang lewat. Karena mobil Rina tak ada diapartement. Yang artinya Dadang mengemudikannya. Saat kami serius menonton monitor,tiba-tiba ada suara parau menakutkan yang kami kenali dari belakang kami.

"Ngapain kalian?!" Kami berbalik,itu pak Ilyas.

"Apa yang kalian lakukan disini?" Tanya pak Ilyas curiga. Kami menunduk. Kami memang belum menceritakan hal ini pada pak Ilyas. Kami terlalu takut,ini keteledoran luar biasa yang membahayakan jiwa orang lain. Mau tak mau kami harus cerita.

Dilemparnya laporan Rina kewajah Hendrik sampai laporan itu jatuh kemana-mana. Pak Ilyas terlalu kesal.

"Bawa gadis itu hidup-hidup. Kalau tidak,kau besok masuk kantor karena tuntutan kelalayan yang menyebabkan nyawa seseorang melayang." Ancaman pak Ilyas kepada Hendrik begitu menusuk kuping kami semua.

"Enyah dari hadapanku!" Perintah pak Ilyas pada kami sambil memutar kursinya dan mengambil cerutunya disisi meja. Pak Ilyas jika sedang terlalu kesal atau terlalu senang dia hanya menghisap cerutu. Kami tak berani banyak ngomong. Kami tau kami kecolongan dan kesalahan Hendrik adalah kesalahan kami juga. Seandainya kami tak meninggalkan Hendrik,ini takkan terjadi,setidaknya ada yang menjagai Rina. Seandainya kami mencari petunjuk hanya berdua saja dan meninggalkan seorang untuk menemani Hendrik. Tapi ahh sudahlah.. kami memang belum pantas disebut polisi

"Siap Pak laksanakan!" Kami menjawab pak Ilyas agak lama karena terlalu larut dengan kesalahan kami. Meski tipis harapan,kami berdoa dalam hati supaya Rina menunggu kami.

I'm a daughterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang