Kami berlari sekuat tenaga sampai di pengadilan. Kulihat Kiki sudah dibawa oleh beberapa petugas. Kami berpapasan.
Aku tak tau bagaimana kami bisa melewatinya tanpa dipecat. Aku terlalu putus asa. Saking putus asanya,aku tak marah pada Kiki. Kupikir buang waktu saja toh kami pasti dipecat.
Hendrik yang membiarkan seorang gadis nyaris terbunuh karena kelalaiannya lalu ada Kiki yang sok pahlawan masuk ke resto menjinakkan bom padahal itu bukan bagiannya. Tamatlah sudah.
***
Ruangan Divisi Kriminal terlalu harum hari ini berkat anak pak Ilyas Emma. Dia memberi pengharum ruangan. Wangi yang tak cocok untuk Divisi Kriminal. Wanginya terlalu feminin.Emma juga sama skali tak memberi gambaran dari sikapnya kalau kami harus dipecat atau tidak. Sikapnya sama seperti biasa,sama seperti kemarin-kemarin.
Belum ada pak Ilyas. Kami duduk di ruang rapat bertatap-tatapan. Hendrik kebanyakan tunduk. Ingin rasanya kupukulkan kepalanya kemeja. Sedangkan Kiki terlalu tegar. Mungkin bukan tegar,tapi tak tau malu. Dia tampak biasa saja. Lebih-lebih dia,ingin skali kupukul wajahnya kekepala Hendrik.
Belum ada pak Ilyas,namun suara pintu mengagetkan kami. Ternyata Emma dengan nampan ditangannya. Ada empat cangkir diatas nampan itu. Dia datang dengan anggun dan seksi. Walaupun kau orang baru,kau tidak akan berpikir gadis ini pembantu. Walaupun dia membawa nampan. Dia tak cocok. Dia bagusnya jadi model majalah dewasa. Tidak sejahat itu aku memikirkan Emma jadi model majalah dewasa. Namun,seksinya model sekarang terlalu dipaksakan. Mereka seksi karena suka buka-bukaan. Tapi Emma tidak. Dia hanya memiliki tubuh yang sangat sempurna meskipun dia tak membuka bajunya laki-laki pasti akan tetap bernafsu menatap kemejanya yang ketat itu seperti mau robek dari tubuhnya dan roknya walaupun panjang selutut seperti tetap melekat seksi.
Mungkin kalau dia hanya berfoto dengan membuka kancing kemejanya diatas akan seperti dia bugil. Apalagi bibirnya yang tebal itu,aku bersumpah Kiki,Hendrik dan Astro salah satunya berpikir untuk mencium Emma
Emma duduk di sebelah Astro dan menyilangkan kakinya.
"Jam berapa bapak datang?" Kiki bertanya
"Gak tau. Bapak gak bilang kapan. Cuma bilang mau datang"
Ini sudah stengah jam. Tak biasanya pak Ilyas terlambat,biasanya dia selalu datang paling awal,ingin tau siapa yang paling telat. Apakah kami benar-benar dipecat?
Satu jam berlalu. Belum ada tanda-tanda pak Ilyas. Emma daritadi menelponnya namun tak diangkat. Ditengah itu suara pintu berbunyi itu pak Ilyas. Kami berdiri semua dari kursi. Dia tak minta maaf sama skali atas keterlambatannya. Mungkin baginya perbuatan kami jauh lebih keterlaluan dibandingkan keterlambatannya. Wajahnya dingin seperti biasa. Tak ada sedikitpun senyum. Seperti biasa. Saking seperti biasa,aku tak dapat menebak dia mau bilang apa. Walaupun aku tak ingin,aku yakin kami dipecat.
"Astro,kau pilih mana? Kau tetap disini,Kiki dan Hendrik dipecat atau kau ikut pergi dari sini?" Pak Ilyas bertanya tanpa tedeng aling-aling. Apa? Kenapa Astro? Ahhh... aku tau. Selama ini memang Astro yang terlihat berjasa karena menangkap pacar Rina dan pelaku pemboman. Tapi bukankah tanpa tim mu kau takkan bisa melakukannya? Seperti permainan bola,hanya pencetak gol yang dipuja. Sedangkan si pencetak gol takkan bisa tanpa operan dari temannya.
Astro menatap kami semua dan berkata...
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm a daughter
AksiAku polisi.. namun bagaimana jika tersangkaku adalah ayahku? Haruskah aku bertingkah seperti anak atau seperti polisi?