"Apa-apaan ini? Aku bersusah payah keluar diam-diam dari rumah, di malam akhir pekan yang harusnya kugunakan beristirahat, untuk bertemu denganmu karena kamu bilang akan melatihku dalam mengendalikan kekuatan di taman ini," gerutu Haku dengan cemberut.
Haku menatap gadis di sampingnya dan terus berjalan menyamakan tempo langkah mereka. "Kenapa kamu malah melatihku bertarung menggunakan tongkat besi bukannya kekuatan elemenku?"
Reia tidak merespon. Ia hanya diam menikmati es krim cokelatnya tanpa sedikit pun menatap Haku.
"Apa kamu enggak tahu betapa berusahanya aku agar enggak ketahuan dari Paman Kanata untuk ke tempat ini? Jika sampai Paman tahu, habislah aku," lanjut Haku.
Reia menghentikan gerakan kakinya mengikuti Haku yang telah lebih dulu menghentikan langkah karena tengah menyampaikan kekecewaannya mengenai latihan perdana yang baru saja selesai mereka lakukan.
Hari sudah sangat larut. Suasana kota sudah sangat sepi. Kini yang terlihat menghiasi tempat ini hanya Haku dan Reia.
Reia mengajak Haku bertemu di Taman Kaede, taman kecil yang terletak di wilayah Kota KisekiRifu sebelah barat. Reia memilih tempat ini untuk melatih Haku karena mengetahui taman ini biasanya hanya aktif dikunjungi pagi hingga sore disebabkan berisikan permainan anak kecil seperti ayunan, perosotan, see-saw, dan permainan lainnya yang digemari anak-anak dari berbagai usia. Selain itu, wilayah ini merupakan wilayah tersepi bahkan tidak akan ditemukan orang berlalu-lalang di kawasan ini pada hari yang sudah melewati jam tengah malam, seperti sekarang.
Latihan telah berakhir dan kini mereka berdua berjalan meninggalkan taman. Akhir latihan yang membuat wajah cemberut terpatri di muka Haku yang murah senyum itu.
"Apa kau tidak membaca peraturan sekolah-mu? Tidak boleh menggunakan kekuatan elemen maupun mantra sihir di luar kawasan akademi atau jika tidak sedang bertugas," balas Reia santai.
Gadis itu melanjutkan, "Apa kau tidak sadar, Guardian juga bertarung menggunakan senjata. Jadi, aku perlu melihat kemampuanmu dalam menggunakannya. Gerakan berkelahimu dengan tangan kosong memang sangat bagus, tapi saat menggunakan senjata kau benar-benar ... ah, aku bahkan tidak bisa mengatakannya karena begitu buruk."
Mendengar seluruh penjelasan Reia membuat Haku tidak bisa beragumen lagi. Reia yang sadar akan hal itu kembali menikmati es krimnya dan melanjutkan perjalanan.
Derap kaki Reia tak lama kemudian terhenti. Gadis itu melihat tali sandal di kaki kanannya putus.
"Tsk! Ini alasan kenapa sandal dan aku tidak berjodoh," oceh Reia.
"Itu karma karena mengecewakan hati seorang pemuda yang baik hati seperti aku," canda Haku yang telah berada di samping Reia. Pemuda itu membawa pandangan pada sandal Reia yang putus.
Haku beralih menatap Reia. "Kamu tahu akan melatihku, lalu kenapa malah menggunakan sandal bukannya sepatu? Sebagai pelatih kamu benar-benar ceroboh."
"Siapa yang menyangka keahlian menggunakan senjatamu di bawah level anak bayi sehingga aku harus memberikan contoh langsung 100% padamu!" balas Reia sebal.
Gadis itu kembali berjalan dengan menekan sandal kanannya untuk menyeret alas kaki tersebut sehingga membuat langkahnya terseok-seok.
Haku segera meraih lengan Reia untuk menghentikannya. Dia berjalan ke depan gadis itu dan mengambil bungkus es krim cokelat yang isinya telah habis. Haku lalu berjongkok untuk melepas sandal rusak itu dari kaki kanan Reia.
"Kau sedang apa?" tanya Reia mulai jengkel karena mengira Haku akan lanjut mengganggunya.
Dengan terus berjongkok, Haku berbalik memperlihatkan punggungnya pada Reia. "Ayo naik. Kamu enggak bisa berjalan dengan keadaan seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE EXISTENCE [END]
Fantasía*Seri ke-1 The Existence Series* [15+] Pandangan orang-orang di tempat kelahirannya yang selalu menatapnya dengan sinis dan ketakutan, tanda lahir di punggung telapak tangan kirinya yang membuat dirinya dipanggil "Titisan Iblis" atau "Anak Pemb...