Chapter 39

52 4 0
                                    

Aku tetap bergeming. Kini aku sedang ada dalam perjalanan. Entah menuju kemana aku tidak tahu. Aku tidak ingin membuat keadaan semakin kacau.

Aku membiarkan Nathan menenangkan pikirannya dulu. Aku juga masih mencerna dengan baik perkataan Tante Shanti. Perkataannya membuat hati ku sakit. Bagaimana bisa Mas Daffa melewati masalah dalam percintaannya macam ini? Ah? Iya aku lupa. Mas Daffa sempurna. Tante Shanti tidak akan pernah membenci Mas Daffa.

"Rev." Aku terkesiap mendengar suara Nathan. Aku langsung menoleh ke arahnya.

"Kenapa Nath?" Tanya ku.

"Kita kerumah kamu ajah ya?" Tanya Nathan. Aku mengangguk.
Suasana kembali hening. Aku dan Nathan terhanyut kedalam pikiran masing masing. Aku ingin meminta maaf kepada Nathan. Tapi,... ah? Sudah lah berpikir positive saja.

"Nath. Aku minta maaf." Ucap ku. Aku menunduk.

"Bukan salah mu sepenuhnya Rev. Aku baik baik saja. Tidak usah meminta maaf." Kalimat Nathan menenangkan hati ku. Tapi, tetap saja aku merasa bersalah. Nathan disuruh pergi dari rumah karna ku juga. Segitu buruk kah aku?

"Tapi ini salah ku juga. Andai saja aku tidak berkunjung ke rumah mu. Kau tidak akan diusir seperti ini Nath." Ucap ku.

"Tidak, ini bukan salah mu. Berhenti lah menyalahkan diri mu Rev. Aku tidak menyukai itu." Ucap Nathan yang berubah menjadi dingin. Jika Nathan sudah bicara seperti ini aku bisa apa. Hanya diam.

Mobil Nathan pun berhenti. Aku tidak tahu berhenti dimana, kan aku tidak melihat.

"Turun.!" Ucap Nathan.

"Baik lah. Bukannya kau ingin kerumah ku?" Tanya ku.

"Gak. Aku mau kerumah Faris saja. Mungkin aku akan bermalam dirumah Faris. Tidak usah khawatirkan aku." Ucap nya.

"Faris?" Tanya ku.

"Iya. Dia sahabat terdekat ku." jawabnya. Aku hanya bisa mengangguk dan keluar dari mobil Nathan. Lalu menutup pintu mobilnya kembali. Aku langsung masuk ke dalam rumah.

Rumah tidak pernah tertutup rapat semenjak aku tidak bisa melihat. Karna kata Papi agar aku bisa keluar masuk rumah tanpa harus meminta bantuan untuk membuka kan pintu.

Hei? Kalian tahu? Aku bosan seperti ini. Semuanya benar benar gelap. Aku ingin melihat kembali. Melihat semuanya, nelihat papi, mas Daffa, Mas Revo, Bunda, Tian, Bi Odah dan pak Hasan.

Sejak pertama pak Hasan bekerja aku belum melihat wajah Pak Hasan seperti apa. Tentu saja belum Pak Hasan mulai bekerja setelah aku tidak bisa melihat. Dan jadilah dia supir pribadi ku.

Menurut ku, aku masih menyusah kan. Lihat saja tadi aku meminta tolong kepada bi Odah untuk meminta diambil kan flat shoes tapi beliau malah memakaikannya dikaki manis ku. Hehe. Bi Odah sudah ku anggap ibu kandung ku. Karna dari sejak kecil bi Odah lah yang mengurus ku.

Kalian kan tahu sendiri saat lahir aku tidak memiliki ibu. Jadi, bi Odah lah yang mengurus ku. Papi tidak menolak itu. Bi Odah mengurus ku bukan karna disuruh papi. Tidak, bi Odah mengurusku karna inisiatifnya.

Kata papi, beliau lah yang selalu bangun tengah malam saat aku menangis ditengah malam. Sudah berpuluh - puluh tahun bi Odah tinggal bersama keluarga ku.

☆★☆

Seperti biasa, dimalam yang dingin aku duduk didepan teras. Kini aku ditemani secangkir kopi hitam. Entah,kenapa aku ingin sekali minum kopi hitam ini.

Setelah aku tidak bisa melihat kembali. Aku merasakan orang yang biasanya peduli dengan ku, kini mereka sibuk masing .asing dan mengacuhkan ku. Aku sih tidak masalah. Hanya sedih saja mengingatnya.

"Andai aku bisa melihat langit dan menatap bintang bintang yang bertebaran." Aku berbicara dengan diri ku sendiri.

Menatap langit pada malam hari adalah kebiasaan ku saat masih bisa melihat. Terkadang aku menatap langit hingga larut malam bersama Mas Revo dan Mas Daffa. Tapi, kini semuanya berbeda. Aku sudah lelah, aku tidak ingin menuntun mereka untuk menyayangi ku lagi. Biar saja aku hidup sendiri. Dan mungkin dimulai dari esok aku akan terbiasa sendiri. Tidak! Tidak bisa sendiri. Aku membutuhkan bantuan bi Odah dan Pak Hasan. Ya! Hanya orang itu yang setia kepada ku dan sabar saat sedang bersama ku.

Aku lebih baik tinggal digubuk tua dengan keluarga yang harmonis dari pada tinggal dirumah mewah nan megah tapi tidak ada penghuni yang peduli dengan ku dirumah itu.

Tiba tiba pikiran ku menjadi tertuju kepada Nathan. Apa dia pulang malam ini? Kan dia bilang dia akan bermalam dirumah Faris. Aku jadi merasa bersalah sekali dengan Nathan. Gara gara aku dia jadi dihukum dan disuruh pergi dari rumah. Tapi, Nathan masih saja membela ku.

Sekarang pikiran ku beralih kepada Azka. Setelah kejadian siang itu setelah Tian dan Valen memberi bogem mentah kepada Azka. Aku jadi tidak tahu lagi bagaimana kabarnya sekarang.

Tidak! Ternyata aku salah. Azka datang semalam dan menangkup pipi ku. Membuat kehangatan diseluruh tubuh disetiap sentuhannya. Setelah menyuruh ku untuk masuk ke dalam rumah aku belum berbicara atau bertemu lagi dengannya.

Kalian bingung ya aku pilih siapa? Jujur saja aku lebih memilih Azka. Karna hanya dengan bersama Azka lah aku merasa benar benar dan sangat nyaman. Hanya Azka seorang.

"Revi?" Aku terlonjak saat mendengar suara bunda. Bunda ini mengaget kan sekali. Tidak kah bunda tahu kalau anaknya ini sedang melamunkan seorang pria tampan. Oke cukup! Ini terlalu berlebihan.

"Iya bun?" Tanya ku.

"Disini dingin. Masuk yuk!" Ucap bunda. Ternyata aku salah, bunda peduli juga dengan ku. Terima kasih Ya Tuhan.

"Disini enak bun. Kena angin, rasanya damai, tenang dan sejuk." Jawab ku.

"Sejak kapan kamu menyukai kopi hitam?" Tanya bunda. Aku menggedik kan bahu.

"Entah." Jawab ku.

"Ya sudah bunda temani ya?" Ucap bunda. Aku langsung tersenyum lebar. Sangat lebar.

"Bunda serius?" Tanya ku.

"Iya Sayang." Jawab bunda. Aku mengangguk.

Aku menyesap kopi hitam yang hangatnya sudah menghilang. Belum! Belum dingin masih hangat tapi sedikit.

Dengan susah payah aku meneguk kopi hitam itu. Rasanya benar benar pahit. Sangat pahit, seperti kehidupan ku saat ini. Kalau secara didefinisan ya seperti rasa kopi hitam ini. Tidak ada manis, gurih ataupun semacamnya. Hanya pahit, pahit dan pahit.

"Tuh kan. Kamu sih sok sokan. Gak suka kopi kok minum kopi?" Ucap bunda. Aku hanya memberi cengiran kuda.

"Bun." Panggil ku.

"Iya Nak?"

"Bunda Kapan Revi dapat donoran matanya?" Mulut ku selalu saja tidak bisa diajak kompromi. Nanti kesannya aku tidak bisa mengikhlaskan keadaan. Semoga saja bunda tidak berfikir seperti itu.

"Semuanya lagi cari cari sayang. Sebentar lagi mungkin. Kamu udah gak sabar ya mau lihat lagi? Mau lihat siapa sih? Hah?" Tanya bunda menggoda ku.

"Hhmm... mau liat siapa ya?" Ucap mu menggantung dan meletak kan jari telunjuk didagu ku. "Mau lihat bunda." Pekik ku. Bunda tertawa aku pun juga.

Ya Tuhan! Aku ingin seperti ini sampai nanti aku sudah tak bernyawa lagi. Panjang kan umur papi dan bunda Ya Tuhan. Aku masih ingin melihat mereka tersenyum dan tertawa saat seperti sekarang ini.

"Yaudah, udah malam nih. Masuk yuk!" Ajak bunda. Aku mengangguk. Aku berjalan lebih dulu dan bunda dibelakang ku. Bagaimana aku bisa tahu? Ini lah kelebihan orang buta. Dia bisa tahu dimana orang orang berada. Karna derap langkah kaki bunda terdengar dari belakang. Bagaimana jika itu bukan bunda? Nah, seperti itu lah orang buta. Harus banyak banyak berpikir positive. Kan aku sudah sering bilang. Apa kalian masih belum mengerti juga?

☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆

Meet And Greet Jadi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang