4. Ayo Menikah

70.9K 5.2K 121
                                    

Aku berbaring nyaman di tempat tidurku. Ketika teringat kata-kata Ilyas, aku bergegas terbangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. Menghela napas panjang kemudian aku menoleh ke arah nakas untuk mencari ikat rambut. Aku mengerang sebal karena tak kutemukan di sana.

Bayangan wajah Ilyas kembali berkelebat. Apa benar pria itu jodohku? Bukannya Damara? Tetapi Ilyas benar-benar orang asing bagiku. Aku yakin Ilyas juga merasakan hal yang sama. Mungkinkah pernikahan tanpa cinta itu bisa bertahan?

Mungkin aku harus menelepon Damara saja untuk mencurahkan isi hatiku. Eh, pernikahannya 'kan besok, pasti dia sedang sibuk. Lebih baik aku menyiapkan gaun untuk menghadiri acara resepsi saja. Rasanya aku menyimpan gaun yang layak.

Aku beranjak menuju lemari pakaian dan memilah-milah gaun yang cocok untuk aku pakai nanti. Pokoknya aku harus tampil cantik. Tidak boleh kalah dengan mempelai wanitanya.

"Jessie, Mami boleh masuk?" Terdengar suara mami setelah pintu kamarku diketuk.

"Masuk, Mi. Jessica belum tidur," sahutku seraya mengepaskan gaun ke tubuhku.

Mami membuka pintu, menutupnya kembali kemudian duduk di tepi ranjang. "Sedang apa?" tanya mami.

"Nyiapin gaun untuk ke acaranya Damara nanti." Aku menunjukkan dua gaun di kedua tanganku.

Mami memerhatikan keduanya lalu menatapku dan bertanya, "Mau pakai yang mana?"

Aku mengulurkan gaun panjang berwarna krem di tangan kananku. "Yang ini gimana?"

"Bagus."

Aku tersenyum dan berbalik badan untuk menaruh gaun di tangan kiriku ke lemari. Setelah menutupnya, aku menggantung gaun berwarna krem yang akan kupakai.

"Jessie, Mami tak ingin memaksa dengan siapa kamu akan menikah. Itu terserah kamu. Kami--orang tua--hanya mengarahkan saja. Sejauh ini, Mami menilai Ilyas sebagai pria yang baik. Papimu juga sudah mengenal keluarganya. Sudah pasti mereka adalah keluarga baik-baik. Jika kamu masih enggan, kami tidak memaksa."

Aku menghela napas dan duduk di samping mami. Kepalaku tertunduk ketika tangannya merapikan rambut panjangku yang berantakan. "Masalahnya Jessie enggak cinta, Mi. Jessie ngerasa asing aja dengan dia."

"Nak, cinta itu bisa tumbuh pelan-pelan. Cinta juga akan hadir jika kamu mau menumbuhkannya. Ilyas itu punya bengkel di kota ini. Kalau kamu menikah dengannya, dia akan meminta kamu tinggal bersama di apartemennya sendiri. Pekerjaan Ilyas tidak menuntutnya untuk pergi ke luar kota, maka kamu akan setiap hari selalu bertemu dia. Cinta akan timbul jika kalian sering bersama, Nak." Mami masih berjuang untuk membujukku.

Aku menatap matanya, mencari kebenaran akan kata-katanya. "Mami yakin?"

Mami tersenyum dan mengangguk. Kedua tangannya menangkup pipi kanan dan kiriku. "Tentu. Jessie sendiri belum, ya?"

Aku menggeleng pelan untuk menjawabnya.

"Enggak apa-apa, Sayang. Mami berharap, jika kamu tidak berjodoh dengan Ilyas, kamu tetap bisa berjodoh dengan pria lain yang baik pula."

"Amin," ujarku.

"Selamat malam, Sayang." Mami mengecup keningku lalu beranjak untuk pergi.

"Selamat malam. Makasih, Mi."

Senyumku mengembang. Aku merasa lega setelah bicara dengan mami. Aku kembali berbaring dan menutup tubuhku dengan selimut.

Ya Allah, jika Ilyas jodohku, dekatkan. Kalau bukan, dekatkan aku pada yang berjodoh denganku. Amin.

***

Keluarga Damara tinggal di Banten sekarang. Dulu memang mereka tinggal di sebelah rumah kami. Sedangkan keluarga Aisey masih di Jakarta. Setelah menikah, sepertinya Aisey akan tinggal di Banten. Sudahlah, untuk apa aku memusingkan tempat tinggal mereka.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang