16. Dunia Kita - (2)

48.8K 2.9K 70
                                    

Lelah dan lapar adalah hal yang saat ini aku rasakan. Sudah jam satu lewat tiga puluh menit. Kami melewatkan jam makan siang karena aktivitas tadi. Ilyas tidak pernah melakukannya hanya sekali saat di ranjang. Jika aku tidak minta berhenti, bisa jadi seharian kami di dalam kamar.

Saat ini kami sedang mengantre giliran untuk memesan makanan cepat saji. Aku kira dia akan mengajakku makan siang di rumah makan Padang. Soalnya Ilyas sendiri yang mengatakan ingin makan rendang. Ternyata kami berakhir di sini.

Selera Ilyas sama dengan Anastasya. Anak itu sedang di rumah neneknya. Jadi, sudah empat hari tidak datang ke apartemen kami. Ada rasa kangen jika Anastasya tidak ada.

"Kalo cuma mau ayam goreng tepung 'kan aku bisa masakin buat kamu di rumah. Nggak perlu makan di luar gini. Mana ngantrinya lama," gerutuku.

"Kita keluar sekalian beli baju buat kamu," ujar Ilyas.

Aku berdecak. "Iya, tapi lebih enak makan di rumah, terus ke sininya langsung belanja." Lagipula jika belanja dengan perut kenyang, bisa mencegah laper mata dan membeli apapun yang sebenarnya tidak kami butuhkan. Ini tips jika sedang berhemat. Tetapi sekarang waktunya memanjakan diri. Tidak asyik jika belanjanya cuma sedikit.

"Emang kamu mau masak dulu? Kalo aku nggak bangunin juga, kamu bakal tidur terus," ejeknya.

Aku membela diri. "Itu 'kan karena kamu, aku jadi kecapean terus ngantuk."

"Sekarang aja ngomongnya capek. Tadi di kamar kamu mau aja waktu aku minta. Terus siapa yah yang teriaknya paling kenceng?" sindirnya.

Aku menahan malu karena kata-kata Ilyas. Bisa-bisanya dia berkata seperti ini saat kita mengantri di restoran. Memang, kami berbicara dengan berbisik. Jarak antrean kami dengan orang lain pun agak jauh. Tetap saja aku malu. Dasar Ilyas!

"Sudah. Aku nggak mau bahas." Aku berbalik badan karena dia sedang berdiri di belakangnku. Kudengar Ilyas terkekeh. Aku maju beberapa langkah karena orang di depanku sudah selesai dilayani. Aku memesan lalu membayar. Saat menunggu pesanan siap, Ilyas berbisik lagi ditelingaku.

"Mumpung kita masih berdua, aku mau puas-puasin teriak bareng kamu di ranjang," bisiknya.

Aku akan kembali merona mendengar kalimat terakhirnya. Namun aku justru menangkap awal kalimatnya. 'Mumpung masih berdua'? Emangnya dia mengharap berpisah? Aku berbalik menghadap ke arah Ilyas.

"Maksudnya masih berdua?" Aku menatapnya galak.

Tangan kanan Ilyas terulur ke perutku. Memainkan jarinya yang menelusup dibalik blus yang kupakai, hingga dia menyentuh kulitku. "Kita masih berdua saja kamu sudah sibuk mengurus rumah dan perhatianmu buat aku terbagi dengan pekerjaanmu. Apalagi jika ada yang mencuri perhatianmu dari aku. Seseorang yang akan hadir di dalam sini. Kita akan bertiga, mungkin berempat, jika kamu mau bisa jadi berlima ...." Ilyas berkata sambil menatap perutku.

Aku baru sadar ketika jemari Ilyas sedang menggesek-gesek kulit perutku dan aku segera menepis tangannya. "Ilyas, malu," tegurku. Dia malah terkekeh.

Oh ya, jadi maksudnya Ilyas tuh anak-anak kita nantinya. Memang beberapa istri memberi perhatian berlebih pada anak-anak mereka, yang justru membuat perhatian pada suami menjadi berkurang. Di kesempatan tertentu para istri tersebut malah menuntut 'me time' pada suami mereka karena telah menjaga anak-anak mereka.

"Aku nggak akan kayak gitu." Aku menangkup pipi kirinya dengan tangan kananku.

"Perhatian itu nggak bisa terbagi. Maaf jika selama ini aku tidak cukup memperhatikan kamu. Tapi aku akan mengasihimu lebih dari sebelumnya. Aku berjanji. Lagipula setiap orang selalu punya ruang sendiri-sendiri di hati," tekadku.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang