"Jessica."
Aku tersentak meskipun Ilyas sudah berbisik lembut untuk membangunkanku.
"Pesawatnya akan landing," katanya lagi.
"Oh, ya?" Aku membetulkan posisi duduk.
"Kata pramugari yang itu." Ilyas menunjuk seorang wanita dengan pandangannya. "Dia ke sini tadi, dia istrinya temanku, lho. Kamu sih tidur," keluhnya.
Aku melihat ke arah pramugari yang ditunjuk Ilyas. Mungkin wanita itu merasa diperhatikan sehingga menoleh ke arah kami dan tersenyum. Ketika aku menoleh ke arah Ilyas, dia juga tersenyum. Oh, berarti pramugari itu tersenyum ke Ilyas saja, kirain ke aku juga. Hemm ya sudah lah!
Anganku melayang ketika menatap awan dari jendela pesawat.Kecemasan kembali melingkupi ketika memikirkan apa yang akan terjadi di Indonesia nanti. Setelah Ilyas sadar dari komanya waktu itu, dokter menyarankan untuk melakukan beberapa terapi. Belum sempat dokter mengatakannya, aku sudah pingsan duluan. Ya Allah, tak kusangka kami hampir tak memiliki apa-apa karena biaya yang tak sedikit untuk terapi tersebut.
Hatiku kembali merasakan sesak. Apa kami sanggup mendapatkan kembali sesuatu yang telah kami lepas? Tangan Ilyas menangkup tanganku, membuat aku menoleh ke arahnya. Senyum Ilyas seakan menguatkanku saat ini. Kubalas tersenyum padanya dan mengecup sudut bibirnya.
"Sehat selalu ya, Sayang," bisikku, dia mengangguk.
Untungnya kelumpuhan Ilyas saat itu hanya karena kinerja otak yang belum berfungsi dengan maksimal pasca kecelakaan. Aku masih bisa bersyukur karena kondisi fisik Ilyas yang lain tak mengalami masalah yang serius.
Jangankan harta, bahkan nyawaku pun akan kuberikan untuk melihat Ilyas bahagia. Ya Allah, maafkan aku yang selama ini mendustakan nikmat-Mu. Tak akan kusia-siakan lagi suamiku.
*
"Itu mami dan papi."Aku menunjuk ke arah orang tuaku yang menjemput kami di bandara.
"Sayang! Alhamdulillah." Mami memelukku.
Setelah melepas pelukan mami, aku berganti menyalami papi. Sementara Ilyas mengikuti apa yang aku lakukan. Di tengah kami bercakap-cakap, ada pramugari yang menyapa Ilyas. Pramugari yang tadi ditunjuk Ilyas di pesawat. Aku dan Ilyas menjauh dari mami dan papi untuk menyapa wanita itu.
"Hai, Ilyas. Maaf ya, baru bisa menyapa kamu di sini. Aku sedang tugas tadi," ujar wanita itu.
"Iya," sahur Ilyas. Dia menoleh ke arahku. "Jess, ini." Ilyas mencoba untuk mengenalkanku padanya.
Aku segera mengulurkan tangan pada wanita itu. "Saya Jessica, istrinya Ilyas."
"Ika," balasnya. "Suamiku yang teman Ilyas. Kalian sudah lama menikah? Denger-denger nikah di luar negeri, ya?" tanya Ika.
Aku tidak mengerti mengapa Ika menyangka kami menikah di luar negeri. "Oh, nggak. Ilyas mengalami kecelakaan dan luka di kepalanya cukup parah. Jadi, harus berobat ke US. Setelah operasi dan terapi, keadaannya membaik. Jadi, untuk check up-nya nanti bisa dilakukan di Indonesia," terangku.
"Iya," kata Ilyas.
"Oh, aku turut prihatin ya, Jess. Gandhi juga dokter. Aku rekomendasi dia aja untuk merawat Ilyas." Ika menyentuh tangan ilyas, membuatku berpikir apa yang sedang terjadi di sini. Dia mengeluarkan kartu nama lalu diberikan pada Ilyas.
"Ini kartu namaku, nanti hubungi aku saja kalau ada perlu dengan Gandhi," ujar Ika seraya menggenggam tangan Ilyas.
Nanti dulu, dia 'kan pramugari kenapa merekomendasikan perawatan lewat dirinya?
"Gandhi itu suamiku, temen Ilyas, Jess," terangnya seraya menoleh ke arahku. Namun tangan lainnya memegang lengan Ilyas sekarang.
Ok, masuk akal untuk masalah kartu nama itu. Tapi itu tangan kok betah di lengan Ilyas lho.
"Iya, Jess," kata Ilyas mengiyakan kalimat Ika.
Ika menoleh ke arah Ilyas lagi. "Kita udah lama nggak ketemu, ya? Kira-kira sejak Gandhi pindah tugas di rumah sakit lain," kenang Ika yang sepertinya lebih nyaman berbicara pada Ilyas tanpa aku.
Aku mengedarkan pandangan ke arah lain dan melihat sosok Damara. Ternyata dia ikut menjemput dan kini berjalan ke arah kami.
"Damara," lirihku.
"Maaf, aku permisi." Aku pamit pada Ika dan tak lagi memedulikannya yang terus berbicara pada Ilyas.
"Damara, kamu di Jakarta?" tanyaku.
Damara langsung memeluk pinggangku. "Abis nganter ayah, kemarin ayah dari Banten. Kan Aisey sudah melahirkan putra kami," katanya. Damara tersenyum lalu mengusap kepalaku.
"Oh iya, selamat ya. Anak cowok pasti ganteng kayak kamu, pujiku. Aku memang sudah mendengar tentang Aisey yang sudah melahirkan, ayah memberitahuku.
"Ya pasti lah. Eh, tapi jangan sampai deh anakmu nanti sipit kayak kamu." Damara mengelus perutku.
"Enak saja," gerutuku lalu kami tertawa bersama.
"Jessie, sini," pinta Ilyas yang ternyata sudah ada di dekatku. Ika malah sudah menghilang entah ke mana.
"Kenapa, Yas? Cemburu? Tadi kamu diem aja tuh dipegang-pegang mbak Ika," goda Damara sambil cengengesan.
Ku lihat wajah Ilyas malah datar saja. Aku segera melepaskan pelukan Damara di pinggangku.
"Jessie!" tegur Ilyas lagi.
"Iya ... Iya," sahutku seraya menjauhi Damara dan berdiri di samping Ilyas lagi. Sekarang giliran Ilyas yang merangkul pinggangku.
Aku hanya menebak Ilyas tidak benar-benar menyadari arti perlakuan Ika padanya tadi. Sementara ketika Damara memeluk pinggangku, naluri Ilyas saja yang mungkin tak ingin aku melupakannya. Akibat dari kecelakaan itu, Ilyas jadi lebih lambat merespon sesuatu. Untuk itu, aku akan lebih bersabar dengan semua tindakan Ilyas nanti.
Sedangkan Damara justru terpingkal melihat tingkah posesif Ilyas padaku. Dia itu memang menyebalkan. Dulu Damara sering mempermainkanku. Sekarang malah mengerjai Ilyas yang belum benar-benar merespon segala sesuatunya dengan baik.
"Kok kamu kenal Ika?" tanyaku pada Damara.
"Kan mantannya Ilyas," jawab Damara enteng.
Mataku melebar saat mendengar kalimat itu. Hah? Mantan?
***
REPOST 10/12/21
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Suamiku!
عاطفيةJessica Elden selalu merencanakan semua hal dalam hidupnya. Dia bahkan berencana jatuh cinta pada Damara Setiadi--teman masa kecilnya. Namun, Damara lebih memilih Aisey sebagai pendamping hidup. Damara justru menjodohkan Jessica dengan Ilyas Ali Bur...