10. Sandaran Hati

61.7K 4.1K 40
                                    

Aku ngga konsentrasi dalam bekerja. Farah yang menjadi modelku, sudah mulai bete karena aku memintanya berbagai macam pose namun hasilnya tetap saja tidak memuaskanku. Kalau seperti ini terus bisa ditegur Theo nih. Wina ijin dua hari karena kekasihnya akan melamar. Dia malah menganggap pernikahanku membawa kebaikan baginya. Karena dia jadi ketularan akan segera menikah. Syukurlah! Aku seneng banget karena Wina dan Soni saling mencintai. Ngga seperti aku.

"Tumben kamu lama ngambil fotonya tadi?" Theo sudah ada di depanku.

"Kayak ngga bagus aja hasilnya. Aku pengen lebih maksimal lagi."

"Kalau kamu motret kota atau pemandangan sih ngga apa-apa. Ini kan anak orang yang kamu foto. Bisa pegel juga lah dia."

"Ya, maaf." Aku mendengus lelah.

"Istirahat, Jess! Jangan diforsir! Aku ngga mau kalau hasilnya malah jelek."

"Ya ini juga mau istirahat."

"Ini alasan kenapa kamu sekarang tiap istirahat pulang?"

"Ya. Ilyas penginnya kita makan siang bareng. Jadi aku pulang dulu buat makan bareng dia. Ngga apa-apa kan?"

"Aku ngga apa-apa lah, Jess. Kan ngga ganggu kerjaan kamu selama ini."

"Iya, aku aturin kok. Kalau ada pemotretan jadwalnya sebelum makan siang atau sesudahnya sekalian. Jadi ngga buru-buru pengin pulang kalau lagi kerja."

"Sipp!"

"Ya udah, aku balik dulu." Aku meninggalkan Theo dan segera pulang ke apartemen.

.

Biasanya aku pulang pukul dua belas siang. Ini sudah jam satu lewat karena tadi aku belum selesai memotret. Aku mengecek ponsel tidak ada panggilan atau pesan dari Ilyas. Kita ngga mesti makan siang di apartemen sih. Kadang Ilyas pengen kita makan di restaurant, jadi dia menelponku dulu untuk bertemu di tempat makan yang kita sepakati. Kayak orang pacaran saja ya. Ya memang ngga pernah pacaran sih. Kalau ini ngga telpon mungkin kita akan makan di apartemen saja. Itu pasti dia yang memencet bel.

"Hai Jejes, sayang!" Nenek sihir! Untuk apa kesini?

"Aku ngga disuruh masuk nih?" Aku memiringkan tubuhku agar si Mila rese masuk.

"Darimana kamu tahu aku tinggal di sini."

"Ini sambutan kamu untuk istri bosmu?" Aku hanya mendengus kesal.

"Ada perlu apa kesini?" Aku masih judes kepadanya. Emang si Mila itu ngga pantes dibaik-baikin sih.

"Aku hanya ingin mengunjungi pengantin baru. Eh masih baru atau udah lama sih? Ngga jelas sih nikahnya kapan."

"Maaf rasanya aku ngga pengin menerima kunjungan dari kamu sekarang.... Hingga selamanya."

"Oh Jejes! Itu kasar sekali. Harusnya kita bisa berteman dong. Kan kita sudah sama-sama jadi nyonya. Oh kalau aku sih jelas, istri Theodore Hartawan. Pemilik studio foto terbaik di kota ini. Siapa yang tidak kenal Theo, pengusaha yang sukses di usia muda dan dia anak sulung dari seorang gubenur."

"Aku kenal Theo dari SMA, kamu ngga usah menjelaskan siapa dia."

"Oh bener juga! Gimana kalau kamu ceritain suami kamu aja yang belum aku kenal? Well Jejes, kamu tinggal di apartemen, terus aku liat ini kok kayak apartemen ngga berpenghuni. Dingin banget. Mana foto kalian? Kalau menikah kan ada foto pernikahannya. Kecuali kumpul kebo!" Mata Mila mengelilingi sekitar apartemen. Entah dia sedang menyelidiki apa. Mana mulutnya pedes banget kayak merica.

"Bukan urusan kamu, Mila. Kalau ngga ada hal penting yang mau kamu omongin, mending kamu pergi aja deh." Sudah mulai tersulut emosiku pada kelakuan Mila.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang