31. Merangkai Keping Mimpi

42.6K 2.7K 24
                                    

Gerakan Ilyas membangunkanku setelah kami bercinta tadi. Ku lihat dia beranjak dari tempat tidur dan memakai pakaiannya. Dia tidak sadar sedang ku amati.

"Mau kemana?" tanyaku lirih. Sangat lirih bahkan hanya seperti gumaman saja. Tapi Ilyas tersentak, aku tak bisa menahan tawaku melihat Ilyas seperti itu.

"Turun. Naroh gelas," jawabnya.

Aku melirik gelas bekas aku minum susu tadi. "Kan bisa ditaruh besok"" ujarku.

"Aku laper, Jessica. Aku belum makan sejak pulang dari bengkel, malah diajakin menguras energi." Dia bersungut-sungut. Seperti ini semua kemauanku saja.

"Lah, 'kan kamu yang pengen."

"Itu karena kamu yang mancing," balasnya. Dia mengambil gelas namun tangannya segera ku raih.

"Ikut," pintaku.

"Ya, ayo." Ilyas meletakkan lagi gelasnya lalu memungut pakaianku yang terjatuh tadi.

"Kalau kita cuma tinggal berdua aja, aku lebih suka ngeliat kamu nggak pake baju. Tapi karena kita menumpang, kita harus menjadi manusia beradab. Ayo, pakai." Ilyas memakaikan pakaianku dan aku hanya tertawa mendengar kata-katanya. Setelah selesai Ilyas membantuku berdiri. Wajah kami berhadapan dan dia mencium bibirku sekilas.

"Aku merindukan saat-saat itu, Jess," bisiknya.

Dadaku sesak mendengarnya. Air mata menggenang di pelupuk mataku. "Aku juga, Sayang. Bukan berarti aku nggak suka tinggal dengan ayah atau kedua orang tuaku. Tapi aku rindu tinggal hanya bersama kamu dan nanti dengan anak kita. Percayalah, kita akan punya dunia kecil milik kita sendiri." Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya lalu tangan kananku mengusap pipi kirinya. Tuhan, akankah aku bisa bersama Ilyas lagi seperti dulu?

"Sebenernya maksud aku kangen ngeliat kamu setengah telanjang dan jalan ke sana kemari di dalam rumah. Itu aja, sih."

"Ihh Ilyas!" Aku memukul dadanya dan tertunduk malu. Ilyas malah tertawa. Dia itu pikirannya ... hem!

Setelah sampai di lantai bawah, Ilyas menaruh gelas kotor di tempat cuci piring. Sementara itu, aku duduk di meja makan dan semua sudah dipersiapkan. Aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi. Sebenarnya Ilyas suka semua masakan yang panas. Tapi sekarang sayurnya dingin. Ini karena tadi kami tidak langsung makan, tetapi main dulu di ranjang.

"Ini mau diangetin lagi?" tanyaku ketika Ilyas datang.

"Kan udah kamu angetin tadi di atas," jawabnya.

"Sayurnya!" ketusku.

Ilyas  tertawa geli. Pikirannya mesum saja. "Kamu 'kan cuma bilang 'ini', aku nggak tahu apaan. Makanya yang jelas dong kalau ngomong. Ya udah sini lah, aku makan." Ilyas masih tertawa kecil, aku mendengus kesal.

Ini yang aku suka dari Ilyas. Dia bawel minta ini itu, tapi saat tertentu aku tidak bisa memenuhinya, dia akan makan apapun yang aku suguhkan. Sejak di rumah ayah aku tidak pernah memasak, tapi aku selalu mengambilkan makanan untuknya. Menemani dia saat makan. Mendengarkan ceritanya di sela makan atau saat kita sedang menonton tv. Aku menikmati setiap waktuku bersama Ilyas. Bodohnya aku karena pernah mencari cinta lain selain dirinya. Sekarang akan ku lakukan apapun untuk mempertahankan cinta kita. Hingga Tuhan yang akan mencukupkan waktunya.

*

Tidurku nyenyak sekali. Mungkin karena aku memang dulunya tinggal di sini, jadi seminggu di rumah mami sudah merasa nyaman. Aku melihat Ilyas berdiri di depan jendela, menatap serius ke arah luar.

"Pagi, Sayang," sapaku.

"Pagi," jawabnya singkat.

"Liat apa sih?"

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang