Sepanjang perjalanan pulang, Ilyas tidak mau membahas tentang Ika—mantan Ilyas yang sekarang menjadi istrinya Gandhi, teman Ilyas. Mungkin Ilyas tak terlalu ingat karena untuk mengerjakan al-hal sederhana saja Ilyas masih lamban. Aku sendiri tidak terlalu mempermasalahkan Ika. Lagipula mereka hanya mantan. Ilyas pun tidak begitu berminat menceritakan, tetapi Damara menggoda terus. Ilyas bete jadinya.
"Mbak Ika tuh seniornya Ilyas waktu kuliah. Orangnya cantik, baik pula. Lihat dong fisik sempurnanya. Mereka dulu tuh pasangan serasi. Cocoklah satu sama lain. Mantan Ilyas tuh berkelas, Jess," kata Damara yang senang hati menceritakannya.
Ish ... Damara! Maksudnya apa gitu manas-manasin aku. Dia mau menunjukkan bahwa Ika lebih baik dari aku? Jika mantan Ilyas lebih baik dari mantanku, ya berarti Damara tidak berkelas. Mantanku kan cuma dia. Hemm menjelekkan diri sendiri, dasar Damara bodoh!
Tangan Ilyas dikaitkan ke tanganku, tetapi dia malah melihat ke luar jendela. Sedangkan Damara yang duduk di samping sopir masih saja mengoceh.
"Terserah. Ilyas kan sudah memilihku," sahutku santai menanggapi cerita Damara tentang masa lalu Ilyas. Damara menghentikan ocehannya, sekarang dia tertawa keras. Apa yang lucu, sih?
*
Ayah menyambut kami di rumah. Wajah ayah terlihat sangat bahagia karena sekarang Ilyas sudah berdiri kembali di hadapannya. Aku ingat betapa sedihnya ayah saat melepas kepergian Ilyas ke US dalam kondisi koma. Namun, kini kebahagiaan ayah berlipat ganda karena punya cucu laki-laki dari Aisey.
Kedua orang tuaku, Damara dan kak Gina serta kak Fajri ikut makan siang bersama di rumah ayah. Si kembar Iqbal dan Azis—anak kak Gina dan kak Fajri—ada di ruang lain bersama pengasuh mereka. Sedangkan Anastasya malah tidak bisa ikut karena belum pulang dari sekolah. Mereka berkumpul untuk mengucapkan kesyukuran atas sembuhnya Ilyas dan kepulangan kami ke Indonesia.
Aku bersyukur karena Tuhan sudah mengembalikan Ilyas ke tengah-tengah keluarga kami. Cinta dari keluarga dan teman-teman yang membuat kami bertahan dalam menghadapi cobaan hidup. Tak akan ku minta Tuhan untuk mengangkat bebanku, tapi selalu ku memohon agar aku selalu dikuatkan.
*
Aku membaca kertas-kertas tentang kepemilkan harta benda kami. Memang tidak sebanyak itu, tapi aku tidak mengeluh. Aku pasti bisa mendapatkannya kembali dengan berusaha lebih keras lagi. Di luar sana masih banyak yang hidup dalam kekurangan melebihi aku. Jadi tak ada alasan untuk tak bersyukur, kan?
"Minum ini, Nak." Ayah mengulurkan gelas berisi susu coklat.
Aku memang sedang berada di ruang tengah. Tadi Ilyas bilang mau tidur jadi aku tidak mau mengganggunya dengan mengecek semua ini di kamar. "Makasih, Yah." Aku menerima, meminumnya seteguk lalu ku letakkan di meja.
"Bik Imung yang membuatnya. Ayah tak tahu takarannya," ujar ayah sambil tersenyum.
Aku tersenyum pada pria paruh baya berdarah Arab itu. "Nggak apa-apa, ini sudah pas, kok ."
"Mami kamu yang membelinya saat tahu kalian akan pulang. Di sini ada bik Imung, jika butuh apa-apa panggil dia saja."
"Iya, Yah," sahutku.
Ayah duduk di sampingku. "Kasian sekali kamu, ya. Nadire sudah tidak ada. Seharusnya dia bisa mengurusmu yang sedang hamil. Atau kamu juga seharusnya tinggal dengan mami kamu. Aku salah meminta kalian tinggal di sini," sesal ayah.
Sebenranya aku tak ingin menjual apartemen Ilyas dan tinggal menumpang di rumah ayah. Namun, ini jauh lebih baik daripada ayah menjual rumahnya untuk biaya pengobatan Ilyas. Ini rumah warisan dari kakek Ilyas. Banyak kenangan di rumah ini, aku tidak berhak mengambil kenangan itu dari keluarga ini.
"Ayah, Jessie berterima kasih sudah diizinkan tinggal di sini. Lagipula jarak rumah mami ke bengkel Ilyas 'kan lebih jauh. Lebih deket dari sini ke bengkel. Jessie akan menemani Ilyas ke bengkel, Yah. Bantuin dia ngurus adminsitrasi keuangan bengkelnya. Ayah, mami 'kan menemani papi. Sedangkan jika Jessie di sini, Jessie bisa sekalian mengurus ayah." Aku memberikan senyum lebar pada ayah.
Mendengar hal itu, ayah justru tertawa. Apa aku salah bicara, ya?
"Nadire memang tidak salah memilih menantu. Kamu tidak hanya berbakti pada suami, tetapi memperhatikan ayah juga, ya? Anak perempuan ayah sendiri malah jauh di luar kota. Jessie, yang paling penting adalah kamu harus memperhatikan dirimu dulu. Kamu sedang hamil, jangan terlalu memaksakan diri, Nak. Sekarang, kenapa kamu tidak beristirahat tapi malah di sini?" tegur ayah.
"Belum ngantuk, Yah. Mungkin karena zona waktu di US. Tiga bulan di sana, Jessie mulai terbiasa. Karena kita membutuhkan waktu empat puluh lima hari untuk mengubah suatu kebiasaan, benar kan Yah?"
"Benar sekali, Nak," sahut ayah. "Maka dari itu Tuhan melatih kita berpuasa selama satu bulan, agar kebiasaan baik tertanam dalam diri kita. Sekarang habiskan minumanmu, Nak. Nanti keburu dingin" perintah ayah.
Aku menurutinya. Namun sebelum aku menyentuh gelasku, Ilyas sudah memanggilku.
"Jessie, sini," panggilnya.
"Ada apa?" jawabku menoleh ke arahnya.
"Mana piyama coklatku?" tanya Ilyas.
"Tadi siang bik Imung yang menaruhnya. Kamu tanya bik Imung saja, ya."
"Bik Imung nggak ada," kata Ilyas lagi.
"Ada, di belakang. Kamu panggil deh," usulku lagi.
Ayah menepuk bahuku dan aku menoleh ke arahnya. "Jessie, mungkin maksud Ilyas piyama yang lain," kata ayah dengan senyum di wajahnya.
Aku menatap ayah tak mengerti. Memang Ilyas punya berapa piyama yang berwarna coklat? Oh, mungkin maksud ayah, Ilyas ingin ditemani. Aku tersenyum dan ayah mengangguk seakan tahu bahwa aku sudah mengerti maksudnya.
"Iya, nanti aku carikan," ujarku pada Ilyas dan segera menghabiskan susu yang baru aku minum seteguk.
"Ilyas, kemari." Ayah menyuruh Ilyas mendekat dan Ilyas patuh menuruti.
Setelah menghabiskan susu, aku membereskan kertas-kertasku lalu meninggalkan ayah dan Ilyas yang sedang mengobrol. Biarlah boys talk. Eh, maksudnya men talk!
Di dalam kamar, aku mencari piyama yang di maksud Ilyas. Sekali membuka lemari, aku langsung menemukannya. Ilyas gimana sih, mencari sesuatu nggak teliti. Aku letakan piyama itu di atas kasur agar Ilyas datang langsung dipakainya. Sementara aku membasuh muka dulu.
Ilyas masuk ke kamar bertepatan aku keluar dari kamar mandi. Aku sudah membasuh wajah dan menggosok gigi.
"Itu piyama coklat. Emang cari piyama coklat yang mana lagi?" tanyaku.
Ilyas hanya senyum-senyum saja lalu memelukku. Kin wajah kami berhadapan.
"Kamu bohongin aku ya?" selidikku, Ilyas malah tertawa.
"Enggak," sangkalnya. Halah bilangnya aja sambil ketawa gitu, kelihatan banget lagi ngerjain aku.
"Hemm." Aku mendengkus dan melepaskan pelukannya. Aku mengambil piyama itu lalu menyerahkannya agar dipakai.
Setelah selesai memakainya Ilyas merebahkan tubuhnya, aku ikut meringkuk di sampingnya.
"Eh kamu gendutan ya, Yas? Ini piyama kelihatan sempit di badan kamu," ujarku. Piyama itu aku beli setelah seminggu kami menikah. Aku juga yang memakaikan piyama itu padanya pertama kali, sehingga aku ingat betul dulu tidak seketat ini seperti ini.
Ilyas menangkup kedua pipiku lalu jemarinya menyusuri rahang bawahku. "Kamu yang kurus," katanya.
Apa iya? Mami juga bilang begitu. Ya Allah, jika aku sedang hamil seharusnya tidak makin kurus dong? Semoga ini bukan pertanda buruk. Aku merebahkan kepalaku di dada Ilyas lalu memeluknya. Dia menarik selimut agar menutupi tubuh kami berdua. Tangan kiri Ilyas membelai puncak kepalaku. Tangan kanannya menjalar dan berakhir di perutku.
"Selamat malam, Jessie cantik. Selamat tidur, Adik bayi," ucapnya.
Aku tertawa kecil mendengar Ilyas menyebut 'adik bayi' pada calon anak kami. "Selamat malam, papa Ilyas," ucapku sebelum berdoa dan memejamkan mata.
****
REPOST 2 APRIL 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Suamiku!
RomanceJessica Elden selalu merencanakan semua hal dalam hidupnya. Dia bahkan berencana jatuh cinta pada Damara Setiadi--teman masa kecilnya. Namun, Damara lebih memilih Aisey sebagai pendamping hidup. Damara justru menjodohkan Jessica dengan Ilyas Ali Bur...