3. Pria Yang Baik

97.7K 6.3K 180
                                    

Hari ini aku sarapan tanpa kedua orang tuaku. Salahku juga sih, bangun terlambat. Aku melakukannya dengan sengaja. Karena selain kelelahan, hari ini rasanya tidak terlalu banyak pekerjaan.

"Mi, papi ke mana? Udah di depan, ya?" tanyaku pada mami yang datang dari arah dapur. Sepertinya mami akan pergi karena penampilannya rapi.

"Papi 'kan udah berangkat dari jam delapan tadi," jawabnya seraya menuang jus jeruk ke gelasku.

Waduh ... ini sudah hampir setengah sembilan pagi. Pantas saja aku ditinggal. Tapi, kok ekspresi mami biasa saja? Hello, aku bangun kesiangan gitu lho! Biasanya mami akan marah. Kenapa sekarang wajah mami malah terlihat ... sumringah?

"Yaah," keluhku. "Jessica mau bareng berangkatnya. Padahal udah bilang papi, kalau Jessica bakal berangkat agak siang. Jessica naik bus aja deh, Mi. Nggak apa-apa."

"Eh, jangan!" tegur Mami. Itu udah ditungguin Ilyas, kok?"

Aku tersedak jus jeruk. Sebelum mami menyadari, segera kubersihkan mulutku dan meredam suara batuk. "Ilyas? Dia di sini dari jam berapa?" tanyaku penasaran. Pantas saja mami penampilan berbeda.

"Pagi, sebelum papi berangkat. Dia malah Mami ajak sarapan bareng," tutur Mami. Dia duduk di hadapanku sambil tersenyum.

"Pagi bener," lirihku. "Kok enggak bangunin Jessica?" Aku beranjak, membawa piring dan gelas ke wastafel, kemudian mencucinya.

"Tadinya mau bangunin kamu, tapi papi ngelarang. Ilyas juga bersedia menunggu kok."

Aku selesai mencuci, kembali memandang mami. "Baiklah, Jessica berangkat dulu, Mi." Aku mengambil tasku dan menghampiri mami untuk mencium tangannya.

Ku lihat Ilyas berdiri di teras. Dia sedang menelepon. Penampilannya cukup rapi. Pasti dia juga akan berangkat kerja. Dia buru-buru mengakhiri pembicaraannya begitu melihatku.

"Hai," sapanya. Dia tersenyum dan berjalan mendekatiku. "Udah mau berangkat?"

Aku mengangguk, kemudian menjawab, "Iya."

"Ok, yuk," ajaknya. Ilyas berjalan lebih dulu menuju mobilnya. Dia membuka pintu penumpang untukku. "Silakan," tawar Ilyas. Dia sopan sekali!

"Makasih," ucapku seraya masuk mobil. Untuk membalasnya, aku membuka kunci pintu di samping kemudi untuknya.

Ilyas tersenyum lagi. Dia memberikan sesuatu untukku. "Buat kamu," katanya.

Ini tanggal berapa, sih? Ulang tahunku, ya? Rasanya bukan. Tahun baru juga masih lama. Lalu kenapa aku diberi hadiah? Dari paper bag-nya, aku menebak isinya handphone. Benar saja, isinya dus handphone.

"Ini isinya handphone?" tanyaku meyakinkan diri.

Dia mengangguk dan menjawab, "Tentu saja. Masa aku tega ngasih dusnya doang!?"

Tiba-tiba aku teringat dengan handphone-ku yang rusak. Mungkin Ilyas membelikan ini setelah mendengar ceritaku. "Kamu nggak perlu beli ini buat aku." Kita baru saja kenal. Aku merasa enggak enak jika dia memberiku barang mahal.

"Mungkin," kata Ilyas setelah ia selesai memasang sabuk pengamannya. "Tapi aku sudah membelinya untuk kamu. Jadi, aku harap kamu suka dan mau memakainya." Ilyas tersenyum lalu mulai menyalakan mesin mobilnya.

Sadar dengan hal itu, aku buru-buru mengenakan sabuk pengaman. Sepanjang perjalanan aku memerhatikan kotak itu di tanganku. Entah kebetulan atau Ilyas pernah bertanya kepada mami, pemberiannya ini model favoritku. Saat ini tentunya aku merasa sangat senang memiliki handphone baru!

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang