Sinar matahari pagi sudah menerangi kamar ketika aku membuka mata. Di samping kiriku ada Ilyas yang masih tertidur dengan lelap. Kedua alisku bertaut ketika mengira-kira kapan dia pulang. Aku membangunkannya, tetapi dia hanya menggumam. Karena kesal, aku meneriakinya.
"Ilyas, bangun!"
"Apa? Kenapa?" Ilyas berusaha bangun dengan wajah mengantuk dan duduk berhadapan denganku.
"Ada yang sakit?" tanya Ilyas seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh perutku, namun segera kutepis.
"Kamu dari mana?" tanyaku geram.
"Maksudnya?"
"Kamu nggak pulang semalam. Kamu dari mana?!" Aku membentaknya.
"Aku pulang waktu kamu udah tidur, Yang." Ilyas menyentuh pipiku, tetapi aku memundurkan tubuhku menjauhinya.
"Aku bangun tadi pagi, tapi kamu nggak ada. Kamu pulang barusan, 'kan? Kamu bener-bener keterlaluan!" teriakku. "Sibuk sampai nggak kenal waktu, sekarang udah mulai nggak pulang. Terus aja kamu kayak gitu nyakitin aku. Mungkin kamu bakal puas kalau aku mati!" Aku beranjak dari tempat tidur dan Ilyas menyusulku.
"Jess, kamu ngomong apaan, sih?" Dia menahan kedua tanganku. Sekarang posisi kami sudah berdiri berhadapan.
"Aku ke Bogor. Harusnya pak Abbas, tapi dia mendadak sakit. Aku segera pulang lagi ke Jakarta setelah urusan di Bogor selesai, tapi di jalan kena macet. Aku tiba di Jakarta jam dua pagi. Aku nggak enak bangunin mami atau kamu selarut itu. Aku tidur di rumah ayah, Jess," tuturnya.
"Terus kenapa kamu nggak bilang?" Aku berusaha melepaskan tangannya yang menahanku. Sekarang kedua tangan Ilyas malah dilingkarkan di pinggangku sehingga posisi kami saling berdekatan.
"Aku telepon kamu pas subhuh tadi, tapi nggak diangkat. Aku udah telepon mami. Tolong percaya sama aku, jangan marah, Yang," bujuknya.
"Kamu yang paksa aku tinggal di rumah mami. Giliran kamu pulang larut, dijadikan alasan untuk nggak pulang sekalian. Bagus banget!" sindirku.
"Jessica, aku ker ...." Ilyas menangkup pipiku, tetapi sekuat tenaga aku mendorongnya dan mundur beberapa langkah.
"Cukup! Aku nggak peduli. Terserah kamu mau ngapain!" Aku meninggalkan Ilyas dan masuk ke kamar mandi.
"Jessica! Dengerin dulu, Jess! Jess!" Ilyas masih berteriak dan menggedor pintu kamar mandi.
Tak kupedulikan dia dan luruh ke lantai lalu menangis sepuasku. Ilyas sama sekali tak mengerti bahwa semalam tadi aku diliputi kecemasan karena menunggunya. Hatiku sakit karena perhatianku justru disepelekan olehnya.
***
Cukup lama aku menangis sebelum membersihkan diri. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Ilyas sudah tidak ada. Setelah mengganti pakaian, aku bergegas keluar kamar dan turun ke lantai bawah untuk sarapan.
Di ruang makan sudah ada mami yang tengah duduk di meja makan. Sementara papi belum pulang dari Cirebon sejak dua hari yang lalu. Mami tidak ikut mendampingi papi, alasannya karena ada aku. Yang benar saja! Aku sudah biasa ditinggal mereka bepergian. Mungkin karena aku sedang hamil. Tapi aku juga sudah punya suami. Suami yang lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan aku.
"Jessie, kenapa mata kamu?" Mami membuyarkan lamunanku.
"Nggak apa-apa," jawabku.
"Matamu bengkak, Jessie," tutur mami.
"Mami kira apa? Aku menangisi Ilyas yang nggak pulang semalam, Mi. Aku ini sedang hamil, tapi dia lebih peduli dengan dirinya sendiri daripada aku." Mataku kembali memanas ketika mengadukan kekesalanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You, Suamiku!
RomanceJessica Elden selalu merencanakan semua hal dalam hidupnya. Dia bahkan berencana jatuh cinta pada Damara Setiadi--teman masa kecilnya. Namun, Damara lebih memilih Aisey sebagai pendamping hidup. Damara justru menjodohkan Jessica dengan Ilyas Ali Bur...