23. Berjuang Bersama - (1)

55K 3.7K 133
                                    

Beberapa bulan kemudian...

Aku menatap pemandangan kota New York dari jendela kamarku di apartemen om Han. Beliau sudah pergi ke minimarket miliknya bersama tante Mida. Om Han memiliki usaha minimarket yang cukup laris di kota ini. Tante Mida membantunya hingga pukul dua belas siang, setelah ada pegawai paruh waktu datang, tante Mida akan pulang ke apartemen.

Sudah tiga bulan Ilyas menjalani perawatan juga terapi di rumah sakit. Baru seminggu yang lalu dia diijinkan pulang. Kami tidak langsung pulang ke Indonesia karena Ilyas masih bolak-balik untuk check up setiap dua hari sekali. Biaya untuk rumah sakit sekitar dua kali lipat dari biaya awal yang diperkirakan Faisal.

Setelah berdebat dengan ayah satu bulan yang lalu, aku belum menelponnya lagi. Tapi ya, aku selalu mengirimi kabar tentang Ilyas lewat email. Ayah memintaku menjual apartemen Ilyas. Jelas pada awalnya aku menolak. Apa yang akan Ilyas katakan nanti ketika tahu bahwa aku menjual apartemen tanpa seizinnya? Ayah bilang beliau sendiri yang akan bertanggung jawab jika Ilyas marah padaku nantinya. Nasehat orang tua tidak boleh dibantah. Aku yakin ayah melakukan yang terbaik untuk kami.

Hanya sepertiga sisa uang dari penjualan apartemen itu di rekening Ilyas sekarang. Selain bengkel yang omsetnya juga makin menurun karena tanpa pengawasan penuh dari Ilyas, kami tidak memiliki apa-apa lagi. Aku akan mempertahankan usaha milik Ilyas itu. Kita tidak hanya hidup untuk hari ini saja. Ada anak yang aku kandung, dia butuh makanan, pakaian dan pendidikan nantinya.

Aku hampir saja kehilangan calon bayiku. Saat mendengar ucapan dokter bahwa Ilyas akan lumpuh, aku pingsan dan harus rawat inap selama dua hari. Aku mati-matian memohon pada om Han dan tante Mida agar tidak memberitahu keluarga di Indonesia. Aku tidak ingin mereka cemas karena aku.

Sejak Ilyas bangun dari koma, dia tidak banyak bicara. Tidak ada masalah dengan pita suaranya, hanya saja dia lebih pendiam. Dia seperti menjaga jarak dariku.

Hatiku terasa teriris ketika mendengarnya kesakitan saat terapi. Rasanya duniaku hancur melihat Ilyas memaksakan diri untuk berjalan, namun dia gagal dan terjatuh. Paling menyakitkan dari semua itu, saat dia merasa putus asa, dia malah mengusirku. Ilyas tidak mau aku ada di sekitarnya atau menemaninya.

Aku tidak marah akan perlakuannya. Justru aku bisa merasa betapa kecewanya dia saat itu. Dia pasti sedih, dia juga terluka dengan keadaannya. Tapi aku tidak menyerah, aku selalu ada di sana untuknya. Meskipun dia mengusirku dari kamarnya, aku tetap berada di dekat pintu. Saat dia mulai tenang, aku masuk kembali untuk menjaga istirahatnya.

"Jessica!" Suara teriakan Ilyas mengagetkanku.

Aku segera berlari keluar mencarinya. Terakhir aku mendengar dia berteriak karena dia terjatuh di kamar mandi apartemen. Itu salahku. Salahku yang tidak menemaninya, aku tertidur dan tidak mendengar Ilyas bangun lalu berjalan sendiri ke kamar mandi.

"Ada apa?" Ku lihat Ilyas sedang duduk di ruang tamu apartemen. Tangan kanannya memegang koran. Wajahnya terlihat marah, cemas, napasnya tersengal. Dia pasti sedang menahan amarah.

"Aku nggak bisa baca ini," katanya dengan ekspresi seperti orang phobia yang sedang melihat benda yang ditakutinya.

Aku mendekat, koran itu di atas pangkuannya sekarang. Aku berlutut di depan Ilyas dan membaca. Ini koran berbahasa Inggris tentunya, apa Ilyas tidak bisa berbahasa Inggris?

"Ini New York Times, tulisannya pakai bahasa Inggris." Kalimat bodoh itu seharusnya tidak aku ucapkan. Benar saja Ilyas jadi tambah marah mendengarnya.

"Aku nggak bisa membacanya, bukan nggak bisa berbahasa Inggris! Aku nggak tahu rangkaian huruf ini. Dan mataku nggak rabun, tulisan ini jelas aku lihat. Tapi aku nggak bisa membacanya, aku lupaa!" Ilyas mengucapkan semuanya dengan nada tinggi. Dia melempar koran itu ke sembarang tempat dan beranjak dari kursi.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang