26. Tetap Bertahan - (2)

37.2K 2.6K 47
                                    

"Jess, janjian dengan dokter Gandhi jam berapa, sih?" tanya Ilyas yang baru saja masuk ke kantor.

"Jam lima," jawabku seraya menatap layar komputer.

"Ini udah setengah lima lewat," kata Ilyas.

Aku melirik jam digital di monitor. Benar juga, sudah setengah lima lewat sepuluh menit. Tapi kerjaanku belum selesai. "Nanti lah, bengkel juga tutup setengah enam."

"Tapi kan janjinya jam lima, Jess," tegur Ilyas.

"Ibu bisa pulang dulu. Biar saya selesaikan," kata Aulia menengahi. Sebenarnya meja Aulia di depan ruangan Ilyas, tapi karena aku masih bingung dengan kerjaanku, Aulia aku suruh kerja pakai laptop dan satu ruangan denganku.

"Mobilnya nggak ada. Pak Harjo tadi aku suruh beli makanan. Udah tenang aja. sih. Nanti juga ke sana," ujarku pada Ilyas lalu fokus lagi ke pekerjaanku.

"Hemm ... Jessie." Ilyas mendengkus kesal lalu duduk di samping Aulia. Sedangkan Aulia hanya melirik lalu dengan cueknya berkutat dengan laptop. Ih, si Ilyas mau ke dokter kayak mau ke mall. Niat banget.

Sekitar setengah jam kemudian, Aulia masuk ke ruangan setelah tadi dia memilih ke ruang arsip menyelesaikan pekerjaannya yang lain. Tapi sepertinya itu karena Ilyas yang tanya ini itu, Aulia jadi tidak konsentrasi bikin neraca saldo.

"Bu, ada yang nyari pak Ilyas," kata Aulia yang berdiri di dekat pintu.

"Siapa?" Ilyas bertanya.

"Bu Ika, katanya," jawab Aulia.

Ika? Dia tahu kami ada di bengkel? Ya mungkin tahu sih, secara dia sang mantan. Pasti tahu kegiatannya Ilyas. Eh, tapi itu mantan kuliah kan? Kok bisa tahu setelah beberapa tahun kemudian?

"Suruh masuk, Li. Itu istri temen aku," kata Ilyas. Aulia mengangguk mengerti.

Tak lama Ika masuk dan menyapa kami. "Hai, Ilyas. Eh Jessica di sini."

"Iya, Mbak. Aku kerja di bengkel," balasku.

"Tadi Gandhi telepon aku, katanya Ilyas belum sampai sana. Jadi, aku samperin aja mumpung aku di sekitar sini. Yuk, kita ke tempat prakteknya Gandhi," ajak Ika.

"Ok," sahut Ilyas. "Jess, aku sama mbak Ika aja deh ke tempat Gandhi," pinta Ilyas padaku.

"Iya, setelah tutup bengkel, aku jemput kamu di sana," ujarku. Ilyas mengangguk dan mengikuti Ika keluar lalu Aulia masuk lagi.

"Siapa, Bu? Bu Ika itu dokternya Pak Ilyas?" tanya Aulia.

Aku menggeleng. "Bukan, suami Ika yang dokter."

"Oh, kirain," kata Aulia lalu ia meemriksa pekerjaanku lagi sebelum aku pulang.

Ini sudah setengah enam lebih. Bengkel juga sudah tutup. Aku diantar pak Harjo mau menjemput Ilyas di tempatnya Gandhi, tetapi ponsel Ilyas malah mati. Jadi, aku menghubungi Ika saja.

"Halo?"sapa Ika di ujung telepon.

"Mbak Ika, Ilyas udah selesai periksa atau belum? Aku mau ke sana," ujarku.

"Wah kayaknya sih belum, Jess. Masih lama," jawab Ika.

Lama? Kan udah janjian tadi. Apa karena lewat dari jam janjian makanya ada pasien-pasien lain?

"Berapa lama lagi?"

"Nggak tahu ya, Jess. Kamu nggak usah ke sini, Jess. Nanti Ilyas diantar sopirku aja," kata Ika.

"Oh, ya udah deh. Makasih." Aku memutuskan sambungan telepon dan meminta pak Harjo untuk mengantar pulang saja. Pak Harjo hanya sampai jam enam saja kerja sama aku. Dia tidak menginap di rumah ayah. Ya sudah, kasian pak Harjo sudah mau pulang juga. Lagian ini aku bawa makanan harus segera dihidangkan.

*

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang