33. Anugerah Dalam Hidupku

43K 2.8K 86
                                    

Oke, oke, biar kalian nggak galau dan bisa tidur nyenyak, wkwkwk, Pinn update dua bab hari ini, yeay!

Kasih vote dan komentar-komentar, ya, biar semangat.

Happy reading, kesayangan-kesayanganku!

❤❤❤

Aku memandang tempat tidur bayi yang ada di kamar kami. Ilyas ingin jenis kelamin anak kami dirahasiakan untuk kejutan. Akan tetapi, mami dan kak Gina yang mengomel. Mereka bilang akan kesulitan membeli perlengkapan bayi yang spesifik.

Senyumku mengembang ketika mengelus perutku. Dapat ku rasakan ada yang bergerak di dalam sana. Sebentar lagi kamu akan tidur di sini, Sayang. Dekat dengan papa. Tapi kalau mama tidak bisa menemanimu, kamu harus saling menjaga dengan papa, ya. Jadilah anak yang baik, anak kebanggaan papa, Nak. Mama sangat menyayangimu, walaupun kita akan berpisah nanti.

Ketakutan menyeruak dalam diriku. Tuhan, waktuku sebentar lagi. Izinkan aku melahirkan dan menjaganya, Tuhan.

Pintu kamarku diketuk. Aku buru-buru menghapus air mataku yang ternyata menetes saat berbicara dengan bayiku.

"Non, ada tamu," kata bi Narti yang kepalanya melongok dalam.

"Siapa?" tanyaku tanpa menoleh kepadanya.

"Bu Susan."

"Oh, iya. Suruh tunggu saja," perintahku.

Itu Susan istrinya Yudanta. Aku sedang tidak ingin bertemu siapapun. Tapi tidak enak, sudah berjanji mau ketemu Susan. Aku merapikan rambutku dan memoles sedikit make up. Jangan sampai kelihatan sedih, habis nangis. Yah walaupun tidak mungkin untuk tidak terlihat kacau.

Aku segera keluar kamar dan menemui Susan di lantai bawah. Wah Susan itu cantik, namun terlihat dewasa. Mungkin karena dia seorang ibu juga. Di sebelahnya ada anak perempuan, mungkin masih balita. Tubuhnya kecil, imut sekali. Dia memakai seragam sekolah dan memakai hijab. Seperti boneka saja mukanya!

"Eh ada tamu," ujarku.

"Mbak Jessie." Susan berdiri dan menjabat tanganku.

"Kasih salam," perintah Susan pada anaknya. Anak itu mengulurkan tangan kecilnya untuk bersalaman.

"Halo, namanya siapa?" tanyaku.

"Zahra," jawabnya.

"Oh, Zahra apa kabar? Sudah sekolah, ya?" tanyaku.

"Baik, Tante. Ini baru pulang sekolah. Zahra jawab dong. Ihh ditanya tante Jessie, malah malu," tegur Susan.

"Silakan duduk Susan."

"Makasih. Maaf mbak, aku jemput Zahra pulang sekolah dulu tadi. Jadi ke sininya udah siang gini," tutur Susan.

"Nggak apa-apa. Tadi aku kira nggak jadi ke sini makanya aku tiduran," dustaku. Padahal semakin besar perutku, semakin susah tidurku.

"Oh, ganggu nih, Mbak?"

"Nggak." Aku menggeleng. "Cuma tiduran nggak tidur beneran," candaku. Kami berdua tertawa.

"Eh ini Mbak, oleh-oleh. Buatanku sendiri. Semoga suka deh sama puding buahnya." Susan menyerahkan dus yang lumayan besar.

Aku memang sudah tahu kalau Susan ke sini mau bawain puding buah. Tapi aku kira itu puding ukuran cup terus beberapa biji saja. Eh ini puding buah pakai cetakan besar, mana hiasannya bagus banget! Sayang deh kalau dipotong.

"Ya ampun bagus banget! Jadi, kamu bikin kayak ginian, San?" tanyaku.

"Ya Mbak, aku menerima pesanan. Seringnya buat ngirim acara spesial gitu, deh. Kalau ulang tahun jarang, seringnya pada minta cake sih. Aku belum terlalu bisa kalau bikin cake," terang Susan.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang