27. Meredam Murka - (3)

41.4K 3K 165
                                    

"Ya Allah, Jessie! Jessie kenapa, Nak?" Ayah merengkuh tubuhku dan membantuku berjalan ke arah sofa di ruang tengah.

"Ilyas yang melakukan ini?" cecar ayah dan aku hanya bisa menangis tanpa menjawabnya.

"Kalian bertengkar?" desak ayah lagi. Kini aku mengangguk.

"Bibik!" Ayah memanggil bibik, tetapi aku yakin dia belum pulang.

"Tunggu di sini," perintah ayah kemudian pergi meninggalkan aku yang belum bisa mengentikan tangisku.

Ya Allah, kenapa aku harus emosi seperti tadi? Ini salahku. Aku yang mengacaukannya. Harusnya aku tidak memancing emosi Ilyas. Dia pasti kesakitan karena ulahku tadi. Jika terjadi sesuatu padanya, aku tidak akan memaafkan diri sendiri.

"Ini, minum dulu." Ayah membuatkan secangkir teh untukku.

Aku menyesapnya perlahan. Ayah pandai sekali menenangkanku. Mungkin karena beliau orang tua, sudah berpengalaman. Kenapa Ilyas tidak sabar seperti ayah?

"Ada apa Jessie?" tanya ayah setelah aku mulai tenang.

"Kami bertengkar, Yah. Ini karena Ilyas sibuk dengan dirinya sendiri. Jessie merasa diabaikan," aduku masih dengan suara serak karena menangis.

"Ilyas sibuk bekerja, bukan? Ada Ayah, bibik juga membantu kamu. Ayah akan menelepon mami kamu. Mungkin saat ini kamu butuh perhatian seorang ibu," usul ayah.

Aku menggeleng. "Bukan itu, Yah. Jessie ingin Ilyas, hanya dia. Tidak yang lain. Rasanya terasa sangat benar saat kami masih tinggal di apartemen. Jessie ingin merasakan seperti itu lagi." Tangisku tak bisa dihalau.

"Jessie ingin tinggal di apartemen?"

"Enggak." Aku menggeleng cepat. "Bukan itu, Yah. Hari-hari saat kami tinggal di apartemen itu yang Jessie rindukan," ungkapku. Aku memang menginginkan hubungan kami yang seperti dulu. Tertawa bersama, bertengkar tapi lekas berbaikan, aku rindu dunia kecil milik kami. Setidaknya aku ingin merasakannya lagi sebelum aku mati.

"Apa ini karena anak?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan ayah. Ya Tuhan, kenapa ayah tanya itu?

"Jessie tertekan karena mau punya anak?" tanya ayah lagi.

"Bukan," bantahku.

Iya, Yah. Jessie takut Jessie tidak bisa melihat anak ini tumbuh dewasa sehingga ingin merasakan kasih Ilyas sepenuhnya.

"Ayah pernah tinggal bersama seseorang yang mengandung anak-anak ayah. Ayah tahu bagaimana perasaan ibunya Ilyas saat itu. Apa yang membuatmu tertekan, Jessie? Bicaralah pada Ayah," desaknya.

Aku tak kuasa menahan air mataku mendengar kata-kata ayah. Mungkin ayah benar bahwa aku tertekan karena sedang mengandung. Namun, aku tidak boleh cerita masalah ini ke ayah. Tuhan, kuatkan aku. Lindungi anakku, Tuhan. Tidak akan aku biarkan mereka tahu yang sebenarnya. Aku tidak mau mereka mencemaskan aku.

Tangisku semakin menjadi. "Maaf, Yah." Hanya itu yang bisa kukatakan pada ayah di sela tangisku.

"Jessie, sudahlah. Mungkin kamu butuh istirahat. Biarkan Ilyas yang mengurus pekerjaannya. Ada banyak karyawan yang membantunya. Fokuskan saja pada dirimu dan anak yang kamu kandung, Nak," nasihat ayah.

"Jessie!" Ilyas memanggilku membuat aku dan ayah menoleh ke arahnya.

"Masuk ke kamar, sekarang," perintah Ilyas yang berjalan ke arah kami.

Aku melihat ke arah ayah dan ayah mengangguk seakan memintaku menuruti Ilyas. Aku segera bangkit lalu berjalan melewati suamiku.

"Ilyas, kita harus bicara," kata ayah.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang