27. Meredam Murka - (1)

53.9K 3.5K 166
                                    

Aku termenung memikirkan kata-kata dokter Ratna. Dokter yang direkomendasikan kak Gina, karena aku tidak yakin dengan diagnosa dokter Rina. Ini jauh lebih buruk. Dokter Ratna bahkan berpendapat bahwa kemungkinan anak ini akan lahir tak sempurna. Mungkin dia akan memiliki fisik yang lemah. Karena dalam kandungan dia sudah mengalami gangguan.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau membunuh anak dalam kandunganku. Dia tidak salah dan berhak lahir ke dunia. Aku tidak ingin membuat Ilyas kecewa.

Ku mohon Tuhan, izinkan aku melahirkannya. Aku ingin mengasuhnya, Tuhan. Ya Allah ... Tuhanku, apapun akan aku lakukan untuk anakku. Meski harus ku korbankan nyawaku.

Dadaku terasa sesak, perutku mulas dan aku mengerjap berulang kali agar tak sampai jatuh air mataku.

"Bu Cantik, hari ini ada pak Waldi." Yudanta melongok ke dalam ruangan ini.

"Oh, iya. Eh, Ilyas-nya mana?" tanyaku. Tadi Ilyas makan siang dengan Yudanta, sedangkan aku yang malas keluar hanya pesan makanan dan makan bersama Aulia di sini.

"Bukannya makan?" Yudanta malah bertanya lagi. Dia masuk dan duduk di hadapanku.

"Sama kamu bukan?" Ok, sekarang kami saling melempar pertanyaan.

"Saya makan sendiri, Bu Cantik. Pak Ilyas keluar sama temennya," jawab Yudanta santai.

"Pergi ama siapa dia?" tanyaku lagi. Ilyas kebiasaan, deh. Pergi tidak bilang padaku.

"Ya ... saya nggak tahu dong, Bu. Emang saya istrinya, harus tahu dia ke mana." Wajah Yudanta semakin menyebalkan saja.

"Kamu mau bilang kalau aku istri Ilyas, tapi malah nggak ngerti suaminya ke mana aja, gitu? Emang dasar dia tuh! Hhhhehhh!" Aku menggeram gemas dan meraih ponsel untuk menelepon Ilyas. Sedangkan Yudanta sukses terpingkal.

"Halo?"

"Kamu di mana?" tanyaku sebal.

"Di Fonte Cafe."

"Ngapain?"

"Ya makan lah, Yang."

"Sendiri?"

"Sama Rizal, Veno ama Dewi juga."

"Kok aku nggak diajakin?" Aku semakin kesal saja. Kenapa sih dia jarang mengajakku pergi bersama sekarang?!

"Tadi diajakin nggak mau, sekarang protes. Gimana sih, Sayang?"

"Aku 'kan nggak tahu kamu pergi sama Veno. Ada Dewi juga kan aku mau ikut," rengekku.

"Ya udah kapan-kapan aja."

"Ya," sahutku ketus. Sudah, aku langsung mematikan sambungan lalu meletakkannya dengan kasar.

Yudanta tertawa lagi. "Kok Ibu Cantik jadi tukang marah-marah sih sekarang? Inget lho, lagi hamil. Nanti anaknya jadi pemarah," oloknya.

"Biarin!" jawabku ketus. Entah kenapa semua yang aku ucapkan membuat Yudanta senang dan menertawaiku.

"Siapin tagihannya pak Waldi aja, Bu. Jadi, kalau orangnya ke sini 'kan tinggal dicocokin," usul Yudanta.

Benar juga. Aduh, sampai lupa dengan pak Waldi. Aku segera menyiapkan pekerjaanku lagi, mencoba untuk menghilangkan kekesalanku pada Ilyas.

*

Jika saja semua klien seperti pak Waldi, aku akan sangat senang sekali. Tagihan cepat beres, tidak terlalu banyak promosi yang ditawarkan, orderan juga sudah siap. Aku sedang menyelesaikan pelunasannya di komputer, sedikit lagi dan selesai! Ok, aku bisa pulang cepat, nih.

"Jessie harusnya aku janji dengan Gandhi 'kan besok, kenapa jadi sekarang?" protes Ilyas setelah mengantar pak Waldi ke depan.

"Ya," sahutku yang masih membereskan beberapa dokumen dan memasukannya ke map.

"Jessie, mbak Ika bilang besok," yakin Ilyas.

Aku menatap ke arah Ilyas yang berdiri di seberang meja kerjaku. "Ilyas, aku bilang sekarang."

"Sekarang nggak ada mbak Ika."

Dadaku mulai bergemuruh mendengar kata-katanya. "Kamu mau ketemu Gandhi atau Ika?" Aku bertanya dengan ketus dan menatapnya.

Dahi Ilyas berkerut dan tubuhnya dicondongkan ke arahku. "Maksudnya?"

"Dokter kamu tuh Gandhi, Yas. Bukan Ika! Aku udah tanya Gandhi, dia bilang hari ini kamu bisa check up. Aku juga mau ikut kamu ke sana," tegasku.

"Buat apa? Nggak usah," larang Ilyas.

"Aku mau denger apa kata Gandhi tentang kondisi kamu."

"Ya ... paling kayak gitu. Udah nggak apa-apa," balasnya cuek sambil menatap ponselnya.

"Kalau udah nggak apa-apa kenapa masih disuruh check up?" Aku berdiri dari kursiku dan semakin tersulut emosi.

"Maksud kamu apaan, sih?" Dia meletakkan ponselnya lalu balas menatapku.

"Aku tuh heran tau nggak. Kamu niat banget buat check up. Mana Ika selalu jemput kamu ke sini lagi. Pertama alasannya kebetulan lewat sini, berikutnya mau ke tempat di daerah sini. Pulangnya dianterin dia," aku menjeda dan menatap Ilyas yang memberi perhatian penuh pada kata-kataku, "kamu tahu, awalnya dia bilang bakal nyuruh sopirnya buat antar kamu pulang waktu aku mau menjemput. Tahunya, dia sendiri yang nganterin. Nanti alasan pulang larut karena kamu ada ikut makan malam sama keluarganya lah, anaknya ulang tahun lah, pasiennya lagi ramai juga," geramku.

"Emang kenyataannya seperti itu, Jess," potong Ilyas.

"Kalau Ika itu bener, dia juga pasti ngajak aku dong, Yas. Aku istri kamu. Mau kenal kamu juga harus kenal keluarganya. Liat itu Veno ngenalin istrinya—si Dewi—ke aku. Lina yang temen kamu mengenal aku. Febri juga gitu. Sedangkan Ika itu cuma butuh kamu. Nggak wajar dong, dia 'kan udah punya suami. Ngapain deketin kamu."

"Kalau masalahnya karena kamu nggak diajak, ya udah besok aku bilang mbak Ika buat ajak kamu," ujarnya.

"Masalahnya nggak sesederhana itu, Ilyas. Dan lagi, aku nggak mau deket sama Ika. Aku juga nggak pengin kamu deket lagi sama dia," tegasku.

"Aku nggak selingkuh, kalau itu maksud kamu!" Ilyas meninggikan suaranya.

"Belum, bukannya nggak," tuduhku.

"Jessie!" Ilyas membentakku sambil menggebrak meja.

Sesaat kemudian Aulia masuk setelah mengetuk pintu. Dia kebiasaan seperti itu. Mengetuk pintu lalu langsung masuk tanpa menunggu perintah untuk masuk.

"Maaf Bu, itu pak Harjo sudah nunggu di depan. Bu Jessie tadi ditelepon nggak diangkat katanya." Sepertinya Aulia tahu jika aku sedang bertengkar dengan Ilyas tadi.

Aku melihat ponselku. Ya jelas tidak diangkat, ponselku juga masih aku silent tadi.

"Ya, aku pulang sekarang, Li. Mau ngantar pak Ilyas ke dokter." Aku memberi penekanan pada kata 'dokter' lalu mengambil tas dan ponselku. Aku keluar ruangan tanpa memedulikan Ilyas yang berjalan mengikutiku.

 Aku keluar ruangan tanpa memedulikan Ilyas yang berjalan mengikutiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang