17. Tiap Detik Bersamamu - (2)

41.4K 2.7K 44
                                    

"Ini." Aku menyerahkan mangkok yang baru tadi aku ambil.

"Nggak, Sayang. Aku makan bekas kamu saja. Kamu 'kan udah ambilin yang baru," ujarnya lalu kembali menyantap dessert.

Ya Allah, manis banget! Aku tersenyum mendengarnya. Ilyas sudah pernah menyatakan cintanya padaku. Cinta dalam penghormatan membuat hatiku menghangat. Hal kecil seperti yang dilakukannya tadi, salah satu bentuk cinta dalam penghormatan. Pantas saja teman-teman Ilyas bilang bahwa banyak perempuan yang mengincar posisiku sekarang. Posisi sebagai istri Ilyas Ali Burhan.

Aku kembali duduk di sebelahnya dan kami makan desert dalam damai. Namun, tak lama senyum di bibirku karena Ilyas mengesalkan hatiku. Dia menyuruhku mengecilkan volume tv, sekarang dia menonton video youtube di laptopnya dengan suara yang kencang. Mana nontonnya acara top gear lagi, berisik sekali! Aku tidak bisa dengar berita di tv dong. Isi mangkok aku sudah habis, lebih baik aku cuci saja ke dapur. Nonton tv juga digangguin Ilyas. Huft!

Setelah selesai mencuci, aku duduk kembali di sampingnya yang masih asyik menatap laptop. Mangkoknya sudah diletakkan di atas meja dengan isi yang masih setengahnya.

"Abisin dulu," tegurku.

"Nggak suka, ah. Nggak enak. Ada aroma jahenya, aku nggak suka jahe," katanya.

Oh, dia tidak suka jahe. Tapi bilang tidak enak setelah buburnya habis separuh, ya? Dasar Ilyas!

"Taroh mangkoknya di wastafel, sana! Nanti aku yang cuci."

"Nanti," sahutnya.

"Nanti ada semut, kalo dianggurin di meja gitu," desakku.

"Ya, bentar lagi."

Aku geram mendengar jawabannya. "Ilyas! Tinggal naroh aja kok males bener sih. Nanti aku yang cuci."

"Kalo kamu mau cuci ya sekalian aja kamu yang bawa ke belakang, 'kan? Kenapa nyuruh-nyuruh aku," sahutnya santai.

Demi apa ... dia sudah membuat  aku marah!

"Ilyas!" bentakku.

"Apa?" sahutnya seraya menoleh ke arahku.

Aku hendak menumpahkan kemarahan, tetapi ponselku berbunyi. Dari nama yang muncul di layar, kutahu itu telepon dari mami.

"Telepon, tuh. Mami, ya? Angkat buruan!" perintahnya sengaja mengalihkan emosiku.

Aku masih merengut padanya, sedangkan dia hanya nyengir. Melihatku tak bereaksi dan hanya menatap marah ke arahnya, Ilyas segera mengambil ponselku, menerima panggilan mami, lalu menempelkannya di telingaku.

"Bilang 'halo'," bisiknya.

Aku membuka mulut untuk menyapa telepon mami. Namun, Ilyas membungkam mulutku dengan bibirnya. Lidahnya memaksa masuk mencari lidahku. Aku menggeram dan memukul-mukul pundaknya agar dia menjauh.

"Halo ... Jess? Jessie?" Suara mami di ujung sana.

Jangankan menjawab panggilan dari mami, bernapas pun aku tak bisa. Aku memekik saat tangan Ilyas meremas bagian depan tubuhku. Aku semakin meronta hingga Ilyas menjauhkan dirinya.

"Gila!" jeritku ketika Ilyas melepaskan ciumannya.

"Jessica Elden!" bentak mami di ujung telepon.

Mulutku segera kututup dengan kedua tangan. Aku tidak sadar jika Ilyas masih menempelkan ponsel di telinga kiriku dengan tangan kanannya.

Aku meraih teleponku dan menjawab, "Eh, nggak, Mi. Maaf ... Ilyas .... Jessie lagi nonton bola terus tiba-tiba dikasih telepon." Aku sudah hampir menangis karena bakal dimarahi mami.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang