26. Tetap Bertahan -(3)

36.5K 2.6K 39
                                    

Apotek terletak di samping dokter praktek sehingga aku tidak pergi terlalu jauh untuk menebus obat. Ya Tuhan, semua ini salahku. Aku pernah ragu untuk segera menikah karena takut, anak akan menjadi penghambat karirku. Ampuni aku Tuhan, karena lalai dalam menjaganya selama dalam kandunganku.

Aku mengelus perutku. Anakku, Mama akan lakukan apapun untuk mempertahankanmu. Jangan dengar apa kata dokter, ya! Mama akan cari dokter lain yang bisa bantu kita. Mama akan menjagamu hingga lahir ke dunia, Sayang. Ya Allah, jika kenyataannya harus seperti ini, aku ikhlas memberikan sisa hidupku untuk anakku.

"Jessica Elden?" Suara penjaga apotek mengagetkanku. Aku segera bangkit dari tempat duduk untuk mengambil obatku. Setelah selesai, aku menelpon Ilyas untuk menjemputku.

Tenang, Sayang. Kita rahasiakan ini dari papa, ya. Jangan bikin dia cemas. Aku mengelus lagi perutku, terasa ada gerakan yang sangat ringan dari dalam. Mungkin adik bayi juga berjanji untukku. Sementara itu, Ilyas belum juga mengangkat teleponku. Dia di mana, sih? Aku telepon pak Harjo saja, deh.

"Asalamualaikum, Ibu?"

"Walaikumsalam. Pak Harjo di mana?" tanyaku.

"Saya sudah pulang, Bu."

"Terus pak Ilyas?"

"Lah tadi katanya mau pergi, jadi saya nggak jemput. Saya taruh mobil di rumah pak Burhan, Bu."terang pak Harjo.

Aku memang mengizinkannya sering keluar dengan Yudanta setelah bengkel tutup. Tujuanku agar Ilyas tidak lagi minder dengan kondisinya, kondisi kami. Namun, belakangan dia sering sibuk bertemu orang daripada menghabisakan waktu bersamaku. "Pergi ama sapa?" tanyaku.

"Kurang tahu, Bu."

Bahkan Ilyas tidak bilang dulu jika ia pergi setelah dari tempat kerja. "Ya sudah, makasih." Aku memutuskan sambungan telepon setelah menjawab salamnya. Aku menelpon Ilyas lagi, tetapi tidak diangkat. Oh mungkin Wina masih di jalan. Telepon Wina aja.

"Halo?"

"Win, di mana?"

"Di jalan."

"Di jalan mana?"

"Depan rumah."

"Oh ya sudah, tadi mau minta jemput, biar pulang bareng. Tapi nggak usah deh, biar aku minta jemput ayah mertua aja."

"Ok, ati-ati, Jess!"

Aku memutuskan sambungan telepon. Hemm ya sudah deh, sms ayah saja. Mudah-mudahan ayah sedang ada di rumah.

Sekarang aku tahu mengapa Tuhan merahasiakan kematian seseorang. Karena ada rasa ketakutan saat tahu umur kita tak lama lagi. Tuhan, aku tahu semua makhluk hidup akan mati, tapi aku takut Tuhan. Aku takut sekali. Air mata tak sanggup ku tahan lagi. Maafkan semua dosaku, Tuhan. Aku mohon ampun. Ponselku bergetar, ayah mengirim sms katanya sudah dekat di sekitar sini. Aku buru-buru menghapus air mata, mengatur napasku, tak perlu ayah juga tahu.

*

"Kamu sudah makan?" tanya ayah setelah kami masuk rumah.

"Nunggu Ilyas aja, Yah," jawabku lesu.

"Telepon dia sekarang, Jess," perintah ayah. "Dia ke mana memangnya? Ayah kira pergi dengan kamu."

"Nggak tahu. Ini Jessie coba telepon," ujarku dan ayah mengangguk lalu berlalu meninggalkanku.

Ketika menunggu tersambung, bik Imung kebetulan lewat. Jadi, sekalian saja aku minta dibikinin jus. Ih Ilyas nggak angkat juga, deh! Telepon sapa ya? Yudanta mungkin tahu, nih.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang