25. Hanya Kamu dan Aku - (2)

35.1K 2.6K 20
                                    

Vote dan komentar sangat membantu penulis untuk lebih bersemangat menciptakan karya-karya baru.

Kalian nggak tau mesti berkomentar apa? Cukup memberi vote, tap bintang kecil sebelah kiri.

Setiap kalian vote atau komentar, penulis akan tau lewat notifikasi. Penulis akan merasa jika karyanya ada yang baca, ada yang menyukai, ada yang mengapresiasi.

Sederhana untuk membuat penulis bahagia.

Happy reading!

❤❤❤

Cukup seminggu membiasakan diri dengan iklim Indonesia lagi setelah tiga bulan lebih di US. Memang aku terkesan berlebihan. Tetapi yang penting aku nggak lupa kok, berbahasa Indonesia yang baik dan benar meskipun pernah tinggal di US.

Hari ini aku akan ke studio, pamitan dengan Theodore dan teman-teman yang lain karena aku mau resign. Ilyas butuh aku untuk membantu di bengkelnya. Tentu saja untuk masalah pembukuan, administrasi keuangannya. Masalah bengkelnya aku tidak begitu tahu. Aku hanya tahu mengendarai mobil dan mengalahkan Theodore dengan kecepatan.

"Jessie, aku harus ketemu dokter kapan, sih?" tanya Ilyas yang baru saja masuk ke kamar.

"Nanti sore," jawabku sambil memilih terusan pendek warna peach.

"Kamu mau ke mana sekarang?" tanya Ilyas lagi.

"Studio. Aku mau pamitan sama Theo. Kan mau resign."

"Aku antar, ya?" tawar Ilyas,. Dia berjalan mendekat lalu menaruh kedua tangannya di pinggangku.

"Nggak usah. Aku sama sopir aja." Aku menyingkirkan tangan Ilyas lalu membuka jubah mandiku dan memakai baju di depannya. Sedangkan Ilyas hanya menatapku.

Mami meminjamkan mobilnya dan menggaji seorang sopir untukku. Aku terang saja menolak jasa sopir karena untuk menghemat biaya hidup kami. Lagipula aku masih bisa menyetir meski dalam keadaan hamil. Namun, mami memaksa dan aku juga tak dapat menolak ketika papi sudah turut serta mendukung keputusan mami.

"Kalau gitu, kamu diantar aku dan pak Harjo," katanya lagi.

Aku melirik ke arahnya, dia tersenyum padaku. "Itu sih bukan mau mengantar, tapi kamu mau ikut."

Mendengar kata-kataku Ilyas terkekeh. Dia itu ke mana-mana harus sama aku. Padahal dia sudah bisa mengingat orang-orang yang dikenalnya walaupun agak lamban. Kadang aku merasa ini alasan dia saja takut lupa sama orang, padahal cuma mau dekat denganku.

Ini baju siapa yang bikin, sih? Retsletingnya ditaruh di belakang, susah lagi ditarik. Ketika mengomel dalam hati, aku merasakan tangan Ilyas di punggungku kemudian membantuku menariknya.

"Mama Jessie kesulitan pakai dress ya? Hahaha." Ilyas menertawakanku lalu berlalu keluar.

"Ih, kayak kamu bisa aja. Coba aja pakai. Kalau kamu bisa, baru ngomong kayak gitu," gerutuku.

Tawa Ilyas makin keras. Dia itu asal saja kalau ngomong. Bukan bantuin malah ngeledekin. Tadi bantuin sih, tapi kan ngga usah pakai ngeledek juga. Amalannya hilang tuh menghina orang yang ditolongnya.

Aku buru-buru menyelesaikan riasanku lalu keluar menyusul Ilyas. Ini sudah pukul sepuluh lebih, Theodore tidak akan di studio seharian. Ada perusahaan lain yang harus diurusnya.

Setelah aku sampai di ruang tamu, Ilyas segera beranjak dari kursinya ketika melihatku. Aku bergegas memakai sepatuku. Saat ku lirik Ilyas, dia malah belum selesai memakai sepatunya. Ya jelas saja susah, dia pakai sepatu sambil berdiri. Aku menghampiri Ilyas lalu membantunya.

"Papa Ilyas kesulitan pakai sepatu?" olokku. Dia hanya tertawa saja mendengarnya.

*

Setengah jam kemudian kami sampai di studio. Aku masuk ke studio sendiri sementara Ilyas menunggu di mobil bersama pak Harjo. Aku menemui Theodore yang masih di ruang kerjanya.

"Theo," sapaku setelah mengetuk pintu dan langsung masuk.

"Hey, masuk, Jess. Jadi, ya resign-nya?" tanya Theo yang masih menatap komputer.

Aku duduk di hadapannya. "Jadi, aku mau serius ngantor di bengkel."

"Hemm kok aku nggak yakin," cibirnya.

"Ih Theo!" Aku kesal sama dia, sukanya merendahkan kemampuan orang lain.

Sekarang dia tertawa tanpa dosa. "Jess, aku kan nggak kasih batasan sampai kapan kamu balikin uang itu. Gimana kalau kamu nggak usah balikin cepet-cepet, tapi masih kerja sama aku," tawarnya.

"Nggak bisa, Theo. Ilyas butuh aku juga."

"Ya udah kalau gitu. Tapi kalau mungkin kamu sudah melahirkan mau gabung sama kita lagi, jangan ragu buat hubungi aku," ujarnya.

"Ok, makasih banget, ya." Setelah pamit dengan Theodore, aku juga pamit dengan teman-teman di studio. Aku sudah tiga tahun kerja di sini. Banyak kenangan bersama teman-teman, mereka sudah seperti sahabat baikku.

"Jejes!" Mila memanggilku saat aku hendak meninggalkan studio. Dia berjalan ke arahku membawa beberapa tas plastik berukuran beragam.

"Iya, kak Mila," sahutku.

"Eh, jangan pergi dulu. Ini aku sengaja beli buat kamu. Aku sibuk di studio jadi nggak sempet ke tempat kamu. Lagian kamu tuh ya, kok jadi kurus kering begini sih? Mana muka kamu kucel gitu. Jelek ih. Kamu kan pulang dari US, kenapa malah kayak abis turun gunung begini sih." Mila memberikan semua barang di tangannya padaku lengkap dengan omelannya.

Aku yang memegang dus berisi barang-barangku jadi kerepotan. Mila ini gimana, sih? Aku 'kan ke US juga nemenin Ilyas berobat bukan facial. "Makasih, Kak."

Mila menggauk dan tersenyum. "Kamu pulangnya ama siapa?" tanya Mila.

"Ada sopir, kok. Ilyas juga tadi ikut nganterin," jawabku.

"Oh, ya udah. Jadi, aku nggak usah nganter nggak apa-apa kan?"

"Ya, nggak apa-apa," jawabku.

Mila masuk ke dalam lagi setelah mencium pipiku.

Aduh aku bawanya gimana ya? Repot banget! Ah mungkin bawa separuh saja dulu deh, taroh di mobil, nanti aku balik ambil separuhnya lagi. Setelah beberapa tas aku taruh di lantai, Ilyas datang dan mengambil semua yang ada di tanganku juga mengambil yang ada di lantai tadi.

"Biar aku yang bawa," katanya.

"Makasih. ya." Aku berjalan lebih dulu lalu Ilyas menyejajarkan langkahnya denganku.

"Kok banyak banget sih? Resign atau pindahan rumah?" Pertanyaan Ilyas membuatku tertawa.

"Barang-barangku cuma satu dus kecil itu. Semua ini dari Mila. Kenapa dia yang belanja terus malah dikasihkan ke aku, ya?" tanyaku.

Ilyas hanya mengangkat bahunya lalu kami pun berjalan meninggalkan studio.


REPOST 15/12/21

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang