15. Kamu Milikku - (1)

87.5K 4.1K 133
                                    

Rasa sakit di punggung tangan membuatku terbangun. Ruangan asing yang kukenali sebagai ruang perawatan. Aku yakin ini rumah sakit setelah melihat ada jarum infus yang menancap. Kejadian sebelum aku pingsan kembali terbayang. Mungkinkah sakitku parah hingga mereka mengharuskanku dirawat?

Pintu dibuka kemudian sosok Ilyas masuk dengan wajah pucat. Dia terlihat sangat kelelahan. "Hey," sapanya lirih. Senyum tipis di wajah Ilyas saat aku tersenyum membalas sapaannya. "Kamu masih sakit?" tanya Ilyas setelah dia duduk di kursi dekat ranjang pasien.

"Nggak. Kenapa aku harus pakai ini segala? Ini yang bikin sakit." Aku menunjukkan infus yang tertancap di punggung tanganku.

"Ini vitamin. Biar kamu nggak lemes," terangnya seraya menelusuri buku-buku jariku. "Aku menunggu hasil tes dokter untuk ini." Tangan kiri Ilyas meraba perutku. Matanya tertuju pada tangannya yang mengelus perutku.

Aku meletakkan tangan kiriku di atas tangan kiri Ilyas. Kulit kami terlihat sangat kontras. Tangan Ilyas besar, berbulu dan kulitnya jauh lebih gelap dari kulitku. Jari-jari lentikku memainkan jari-jarinya yang kasar. "Kamu mengira aku hamil, ya?" tanyaku lalu menatap wajahnya.

Ilyas balas menatapku lalu tersenyum malu. "Ibu suka muntah-muntah waktu hamil Aisey. Mungkin aja, 'kan?" Dia malah balik bertanya padaku.

Tanganku menyusuri struktur wajahnya. Ilyas menutup mata saat aku menangkup pipinya. Ibu jariku menyentuh lingkar hitam di bawah matanya. "Nggak tidur semalaman pasti, nih."

"Kan nungguin kamu tidur. Kamu tidurnya nyenyak banget. Jam segini baru bangun."

"Udah jam berapa sekarang?" tanyaku.

Ilyas melihat arloji di tangan kirinya. "Jam sepuluh lebih." Dia memperlihatkan arlojinya padaku.

Aku membelalak berekspresi sangat terkejut. Meskipun tidak terkejut sebenarnya. Ilyas justru tertawa melihat ekspresiku.

"Kenapa kamu nggak bangunin aku?"

"Aku kasian, kamu pasti sakit karena dari kemarin nemenin aku," tuturnya.

"Ilyas, aku istri kamu. Aku bakal nemenin kamu seumur hidup aku, 'kan?"

"Ya. Kemarin aku nggak memperhatikan kondisimu. Aku malah sibuk dengan perasaan aku sendiri. Maaf ya, Jessica cantik." Ilyas mengecup keningku.

Aku tertawa mendengar rayuan Ilyas yang seperti remaja. "Nggak apa-apa. Mestinya kamu ikut tidur bersamaku, Yas. Jadi ngga lesu begini."

"Aku takut ganggu kamu. Dulu juga gitu."

Ya ampun, dia sensitif sekali. Dulu memang aku pernah marah karena Ilyas tidurnya enggak anteng hingga membuatku susah terlelap. Tak ku sangka dia masih ingat saja.

"Ya itu kan kamunya juga yang ngga bisa diem. Aku mau tidur, gerak-gerak melulu. Sekarang kamu pulang saja sana! Tidur di apartemen, nanti siang atau sore ke sini lagi. Istirahat."

"Ngga mau ah! Di sini aja. Jessica mau makan jeruk? Tadi pagi ayah besuk, bawain ini." Aku hendak menolaknya namun tidak jadi karena Ilyas menawarkan untuk mengupas kulitnya.

"Ini aku kupasin ya? Kamu tinggal makan aja. Eh aku suapin sekalian deh biar tangan kamu ngga kotor. Mau ya?" Aku tersenyum mengangguk. Aku suka Ilyas membujuk, bukan memaksa. Bisa kebetulan banget ya aku ngga suka kupas kulit jeruk, dia ngupasin kulit jeruknya buat aku.

"Ada bijinya? Muntahin!" Ilyas menadahkan tangan kirinya. Ya Allah, suamiku baik banget. Makasih! Aku selalu berharap dia selalu bersikap baik, penuh perhatian, tapi aku juga mohon dikuatkan. Agar aku selalu sabar menghadapi sikapnya kalau lagi ngga mood.

"Manis kan?" Tanya Ilyas.

"He em. Kamu cobain juga gih!"

"Nanti setelah kamu abisin yang ini. Kalau abis berarti beneran manis. Kamu kan testernya." Aku mengerucutkan bibir mendengar ucapannya. Dia malah tertawa geli.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang