14. Peluk Aku, Ku Angkat Bebanmu - (1)

67.6K 3.9K 127
                                    

Kak Gina mendekat padaku. Dia memegang kedua bahuku, tangisnya pecah lagi. "Ibunya Ilyas udah nggak ada. Tante Nadire meninggal, Jess ...."

Ya Tuhan! Ibu meninggal .... Seperti dalam dimensi lain, aku tidak merasakan sekelilingku. Hening. Aku tak mendengar apapun, sedetik kemudian aku merasakan bahuku diguncang kak Gina.

"Jess, aku nggak bisa hubungi Ilyas. Dia di mana? Tadi aku nyuruh dia pulang. Biar aku yang gantian jaga tante."

Ilyas pasti masih di rumah. Kenapa dia nggak meneleponku?

Kak Gina terlihat mengatur napasnya sebelum dia melanjutkan, "Kamu dari mana, Jess? Kenapa kamu ke sini sendiri, Ilyas nggak bareng kamu?"

Rentetan pertanyaan dari kak Gina seperti menampar hatiku. Aku baru saja dari tempat Matthias. Ya Tuhan, jika saja aku tetap di rumah .... Lututku terasa lemas sekarang. Rongga dadaku mulai menyempit sehingga bernapas saja seakan sulit.

Ibu ... maafin Jessica. Ibu berjuang hingga napas terakhir di sini, sedangkan Jessica justru sedang bersama orang lain. Bukan di samping anak ibu, bukan di dekat suamiku. Jessica nyesel, Bu. Ibu maafin Jessica.

Rasa nyeri kembali menghantam hatiku. Tubuhku terasa ringan dan sepertinya kedua kaki ini tak mampu menahan tubuhku. Perlahan, aku melangkah mundur dan menyandarkan punggungku di tembok rumah sakit.

Para perawat mendorong kereta pasien keluar dari kamar ibu. Aku dapat melihat tubuh ibu yang terbujur kaku. Mataku pedih dan pandanganku mulai kabur.

"IBU!" Teriakan Ilyas membuatku terhenyak. Wajahnya sangat ketakutan. Aku segera berhambur ke arahnya. Kupeluk tubuh pria itu erat-erat.

"Ibu kenapa, Jess? Mau dibawa ke mana?!" Ilyas meninggikan suaranya. Dia menangis seakan tidak ingin menerima keadaan. Aku bisa merasakan bahwa  Ilyas sangat terpukul.

"Jessica, minggir!" Ilyas menyingkirkan aku dari hadapannya. "Kak Gina, ibu mau dipindah ke mana?" tanya Ilyas yang tak mendapat jawaban dari kak Gina. IBU ... BANGUN!" Dia berteriak dan  menangis. Aku masih menahan tubuh besarnya dengan memeluk erat. Ayah dan kak Gina ikut membantu memegangi tubuh Ilyas.

"Ilyas jangan seperti ini. Ikhlaskan ibu." Ayah menasihati.

"Nggak! Lepasin, Ayah! Kak Gina... Kak Gina! Tolong bawa ibu kembali. Ibu ... Aku ikut, Bu. IBU!" Ilyas masih histeris dan menangis meraung-raung seperti anak kecil.

Ya Allah, tak ku sangka reaksinya akan seperti ini. Aisey yang seorang wanita saja masih bisa menahan diri. Kenapa Ilyas bisa sangat terpukul?

"Ya Tuhan, Ilyas! Ilyas!" Aku berteriak saat tubuhnya luruh ke lantai. Aku tidak kuat menahannya sehingga aku ikut jatuh terduduk masih memeluk Ilyas.

"Ibu, Jess ... ibu!"

"Ilyas, sabar. Jangan kayak gini!" Air mataku jatuh. Aku ikut terisak bersamanya. Kudengar suara Tasya yang ikut menangis. Mungkin dia ketakutan melihat Ilyas yang berteriak histeris. Kak Gina masih berusaha menenangkan anaknya. Ilyas memeluk tubuhku. Wajahnya ditenggelamkan di leherku.

"Ibu, aku ikut ...." Ilyas mengatakan itu disela tangisnya.

"Ilyas ...." Aku semakin erat mendekapnya. Kurasakan beban tubuh Ilyas semakin berat.

"ILYAS!" Aku berteriak ketika dia menjatuhkan tubuhnya di pelukanku. Aku kehilangan keseimbangan dan terjungkal ke belakang. Kak Gina segera memegangi tubuhku dan ayah menahan tubuh Ilyas yang sudah tak sadarkan diri.

***

Sedetikpun Ilyas tidak mengizinkan aku pergi dari sisinya. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, dia selalu menempeliku. Padahal aku harus membantu ayah dan kak Gina mengurus pemakaman ibu. Aisey tentu saja tidak bisa diandalkan. Dia sendiri sedang hamil muda, kondisinya pun memprihatinkan karena kehilangan ibu. Kami semua berduka. Kepergian ibu begitu mendadak. Ayah bahkan tak menyangka jika ibu akan terkena serangan jantung.

I Love You, Suamiku!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang