Side Story - Yoon Sena

1.9K 137 19
                                    

Side Story – Yoon Sena

Everyone wants happiness. No one wants pain. But, you can’t have a rainbow without little rain. –Yoon Sena-

***

Seoul – 19.17

Hari ini, bukan hari pertama aku bertemu dengannya. Tapi, rasanya setiap hari akan selalu jadi hari pertama bagiku. Sebab debum yang sama cepat dan besarnya selalu menginvasi hatiku. Rasa gugup dan ingin selalu terlihat sempurna, selalu terjadi setiap saat aku melihat wajahmu.

Saat itu turun salju, saat pertama kalinya aku dan kau bertemu. Aku, tahu betul siapa kau, siapa namamu, apa kesukaanmu, dan seperti apa dirimu. Sedangkan aku, hanya kau anggap sebagai satu dari banyak penggemar yang antri tanda tanganmu. Yang kau anggap bagai angin lalu. Yang kau cekoki dengan pujian romantis yang lantas detik berikutnya kau lupa bagaimana rupa mereka, siapa nama mereka, dan sejauh apa gombalan palsu yang kau lontarkan pada mereka.

Itu aku, dan kamu, saat kita pertama kali bertemu. Aku mengenalmu, sedangkan kau tidak. Kita melakukan pertemuan yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima, tapi kau tetap berada di keadaan dimana aku hanya segelintir dari orang yang hanya mampir sepersekian detik di memorimu.

Ini pertemuan kita keenam. Kali ini, aku berharap bukan lagi orang yang terlupa atau sekadar mampir saja di kenanganmu. Aku ingin terpatri di sana. Untuk itulah pertemuan keenam ini aku rencanakan dengan begitu apik. Dengan melibatkan banyak nama, banyak urusan, dan… banyak hati.

“Apa kita… pernah bertemu sebelumnya?”

Setelah sekian lamanya menit terlewat dengan keheningan kita berdua, akhirnya kau buka suara. Itu kalimat pertamamu yang kau ucapkan, selagi kita menunggu Appa dan Eomma kita sebelum makan malam pertemuan dua keluarga itu terjadi.

“Wajahmu terlihat tidak asing.” tambahmu.

Aku tersenyum lemah. “Kita memang sudah bertemu beberapa kali sebelumnya. Lima kali. Lima kali kita bertemu. Dan terhitung tiga kali kau selalu mengatakan padaku bahwa kau akan mengingatku.”

Alismu naik. Dahimu mengerut. Kau berpikir keras. “Aku beberapa kali datang ke acara jumpa penggemarmu.” tambahku cepat. Sebelum kau membentuk raut lain dan aku akan menamai itu sebagai raut paling indah di dunia.

Ya. Kau itu indah. Kau itu karya seni yang paling aku sukai. Yang paling aku nikmati. Yang paling membuatku berdebar. Yang paling aku dambakan.

“Ah… Maaf.” Kau menjawab pelan. Dengan ekspresi bak pinokio yang ketangkap basah sudah berbohong.

Gwaenchanha…” tukasku. “Toh memang seperti itu pekerjaan seorang artis.” bisikku lirih. Kau mendengarnya. Tapi kau memilih diam tak menanggapi.

Hening lagi. Kita berdua kembali pada keadaan dimana hanya ada suara samar klakson mobil dari jalanan. Kau kembali bungkam. Dan aku terdiam. Hingga tak lama, kau kembali buka suara.

“Namamu… Yoon Sena kan?” tanyamu pelan. “Kau pasti tahu pasti maksud dari makan malam ini… Makan malam yang bukan hanya sekadar menikmati hidangan. Makan malam yang bukan hanya mempertemukan dua keluarga, tetapi juga menyatukannya.”

Aku tahu itu. Aku tahu dengan pasti. Karena aku adalah dalang di balik makan malam ini. Aku ingin menempati ruang memorimu. Dan mungkin juga hatimu. Untuk itu aku ingin jadi kandidat istrimu.

“Maaf jika aku terdengar agak tidak sopan. Tapi… apa kau bisa bilang kalau kita berdua menolak pertunangan yang nanti akan orang tua kita sodorkan?” Katamu, pelan, tapi mematikan. “Kau bisa bilang jika…kau sudah punya orang lain, dan begitu juga aku… Ini mudah. Dan ini demi kebaikan kita.”

Sasaeng Fans [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang