Side Story – Han Yoora
Mencintai tidak perlu memiliki. Hanya perlu melihatmu bahagia, itu sudah cukup. –Han Yoora-
***
-Yoora pov-
Jakarta
Sejak kecil, aku terlatih untuk mencintai tanpa memiliki. Seperti ibu yang selalu mencintai ayah meski tahu tak bisa memilikinya. Seperti aku yang selalu mencintai ayah, meskipun tahu jika diriku tak bisa memiliki ayah.
Sejak kecil diriku begitu terlatih untuk bahagia melihat orang yang kusayangi bahagia. Seperti ibu yang bahagia melihat ayah bahagia bersama keluarganya, meskipun bukan ibu yang disayanginya. Seperti aku yang bahagia, meskipun aku tahu bukan diriku yang dipanggil ayah sebagai anak kesayangan.Kalian tahu pasti, aku hidup di keluarga yang bisa dikategorikan amat sangat malang. Ibu hanya menikah siri dengan seorang pengusaha korea. Membuatnya hamil diriku tanpa adanya seorang ayah. Membuat ibu diusir dari rumah dan harus membesarkanku hanya dengan kasih sayangnya.
Aku tak pernah mengeluh sekalipun Tuhan memberikanku hidup semalang itu. Meskipun kadang aku meringkuk menangis di balik selimutku, setidaknya aku harus menunjukkan diri kalau aku baik-baik saja.
Ibu melewati hal yang lebih malang, begitu tegurku saat diriku mulai lemah. Kalau diriku menangis hanya karena beban yang tak seberapa, bagaimana Ibu bisa bertahan? Maka dari itu aku selalu meneriakkam dalam hati untuk tetap kuat.Meskipun aku selalu cemburu ketika melihat potret Ayah tersenyum bahagia dengan keluarganya yang lain. Meskipun aku selalu berandai-andai jika saja aku yang tersenyum di sebelahnya. Andai saja Ibu adalah wanita yang dipeluknya.
Bahkan saat ibu menemukan sosok ayah baru untukku. Aku terus saja berandai-andai. Andai yang tengah mengantarku sekolah kini adalah ayah kandungku, apakah semuanya akan terasa lebih indah?
Aku terus berandai-andai. Bagaimana jika yang ada di sisiku sekarang adalah Ayah kandungku? Bagaimanakah rasanya? Apakah diriku tak perlu menjadi pura-pura kuat? Apakah aku bisa bermanja-manja dengan Ayahku?
Aku terus berandai-andai, bahkan saat kemalangan lain terus menimpaku. Ibu kandungku, dan ayahku yang baru harus pergi meninggalkanku secepat kilat. Mereka meninggalkanku, dengan seorang adik perempuan.
Aku menangis. Dalam diam tentu saja, karena setidaknya harus ada yang terlihat kuat di sini. Cukup Via, adik perempuanku itu yang menangis tersedu di pelukan sang Bibi. Aku jangan.
Bahkan, saat melihat jasad Ibu dikebumikan, aku masih terus berandai-andai. Bagaimana kalau Ayah ada di sini juga? Apakah Ayah akan menangis kencang? Apakah Ayah akan memelukku, membisikiku dengan kata-kata manis supaya aku tegar?
Aku terus berandai. Karena hanya sebatas itu yang bisa kulakukan. Tak ada yang mungkin terwujud. Karena Ayah tak mungkin tahu Ibu pergi. Atau mungkin Ayah tak peduli kemalangan apa yang tengah menyelimutiku.
***
Diriku menjadi dewasa lebih cepat dari anak seumuranku. Secepat kilat aku harus menjadi kepala keluarga untuk adik perempuanku. Menggantikan sosok Ibu dan Ayah yang baru saja pergi.
Tapi, sekuat apapun diriku berpura-pura. Sebesar apapun keinginanku untuk bertahan. Tetap saja aku hanya gadis biasa yang terus menerus ingin menyerah.
Ada sebagian diriku yang menginginkan khayalanku bukan hanya sekedar khayalan. Sebagian diriku ingin merasakan bagaimana rasanya bersama dengan Ayah. Untuk itulah aku bersikap egois.
Aku pergi ke Korea saat memiliki kesempatan. Meninggalkan Via yang membenciku tanpa ingin mendengar alasanku. Meninggalkan kenangan berat yang hanya berisi hal-hal penuh tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sasaeng Fans [2]
FanfictionKetika sang bintang terkenal sudah vakum dari dunia entertainer-nya. Ketika mereka yang dulunya lelaki, kini berubah jadi pria sejati. Ketika pernyataan tentang "aku menyukaimu" kini berubah jadi "menikahlah denganku". Apakah Sasaeng masih bertebar...