31. Decision

36.7K 2.8K 69
                                    

"Ibu Farshad penderita AIDS. Kamu mengerti kan maksudku?"

Flora diam sebentar, berusaha mencerna kata-kata Rissa. Tapi otak Flora seakan begitu penuh. Hanya air mata yang semakin deras mengucur dengan bibir terkatup rapat.

Flora jelas mengerti maksud dari perkataan Rissa. Bila seorang Ibu adalah penderita AIDS maka ada kemungkinan bahwa Farshad juga bisa menderita HIV/AIDS karena tertular oleh Ibunya.

"Apa... Farshad juga ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)?" Awalnya Flora ragu menanyakan hal ini, tapi sebisa mungkin ia terus menguatkan dirinya untuk melontarkan pertanyaan. Sekedar memastikan. Dan hal ini memang perlu dilakukan.

Rissa diam beberapa saat, kemudian ia mengangguk perlahan. Dunia rasanya menghantam kepala Flora bertubi-tubi. Entah kenapa dada Flora terasa begitu sakit. Air mata mengucur semakin deras tak terbendung. Flora menekan mulutnya kuat-kuat agar isak tangisnya tak terdengar. Perlahan, Rissa memeluk Flora dalam kebungkaman.

Kau tahu bagaimana rasanya mendengar seseorang yang begitu kau sayangi ternyata mengidap penyakit mematikan? Seperti ada pisau yang menikam berkali-kali tanpa henti tepat di dada. Perih. Sedih. Marah. Marah karena hingga saat ini sama sekali tak tahu bahwa ia menderita penyakit tak terduga seperti itu.

Tak terlihat sama sekali bahwa Farshad menderita penyakit seperti itu. Farshad terlihat baik-baik saja. Apa Flora sedang bermimpi? Flora masih tak bisa percaya, namun berapa kalipun ia bertanya, jawabannya tetap sama.

Farshad masih memejamkan matanya. Sementara Flora memandangi wajah laki-laki itu di sela-sela pelukan Rissa. Flora mengacak keras rok sekolahnya.

Apa yang harus ia lakukan?

~~~

Farshad membuka matanya perlahan. Silau. Bukan cahaya lampu, melainkan cahaya matahari yang masuk melalui jendela UKS langsung menerpa matanya. Farshad melirik jam dinding, pukul 3 sore. Sudah beberapa jam sejak jam 1 siang tadi ia tak sadarkan diri--tepatnya sepulang ujian mid semester--setelah insiden adu jotos. Sepertinya ini juga merupakan akibat terlalu lelah.

Farshad menengok ke arah kirinya. Seorang gadis dengan rambut tercepol tengah tertidur membenamkan wajahnya diantara tangan yang terlipat di ujung kasur UKS. Farshad tersenyum kecil, kemudian mengusap puncak kepala gadis itu perlahan. Sentuhan itu rupanya mampu membangunkan sang gadis. Gadis itu perlahan menegakkan tubuhnya dan menggosok matanya. Ia tersenyum.

Farshad terkesiap sesaat, kemudian matanya menatap leher sang gadis. Tak ada tahi lalat yang sering ia lihat. Farshad menatap mata gadis itu dalam, mata coklat itu bukan... milik kekasihnya.

"Udah bangun Farsh?" ujar gadis iru tersenyum.

"Flora mana?" Senyum kecil Farshad yang tadi merekah seketika menghilang. Wajahnya berubah jadi dingin.

"Ehm... dia... balik ke kelas... ada pelajaran tambahan sama Bu Siska..."

Farshad mencoba bangun dari posisinya berbaring. Nyeri. Tubuhnya masih terasa nyeri. Rissa mencoba membantu Farshad bangun, "Pelan-pelan Farsh..." namun Farshad menolak dengan kasar.

"Minggir."

Rissa menghembuskan nafasnya pelan. Farshad masih juga sulit memaafkannya.

Sebelum Farshad benar-benar beranjak dari sana, tiba-tiba handphone Farshad berdering tanda panggilan masuk. Farshad mengernyitkan keningnya ketika melihat nama seseorang di ujung sana yang meneleponnya. Ia sempat menatap wajah Rissa selama beberapa saat. Sementara, gadis itu sama sekali tak menngerti maksud tatapan Farshad.

Hear My VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang