33. Break Up

40.5K 3K 155
                                        

Flora pikir, ia akan menerima dengan sabar dan lapang dada bahwa Farshad adalah seorang ODHA. Nyatanya, meski tadi malam ia tersenyum bahagia, ia tetap menangis di tengah malam saat dirinya terbangun. Aneh memang. Baru saja ia tersenyum bahagia, kemudian ia menangis lagi. Apa dirinya penderita bipolar?

Flora menatap dirinya di depan cermin. Matanya bengkak, tapi ia tetap mengulas senyum lebar. Saat bertemu Farshad, ia tak boleh sedih karena hanya akan menambah beban Farshad saja. Flora memutuskan agar ia berlagak seperti tak tahu apapun, ia akan menjalani hari-harinya bersama Farshad seperti biasa. Seperti tak terjadi apapun.

Flora mengambil handphone yang ia letakkan di atas meja belajar. Tak ada pesan masuk, bahkan Farshad belum membalas pesannya. Padahal sudah hampir pukul setengah 7, namun Farshad belum juga menjemput dirinya. Flora pun berusaha menelepon laki-laki itu, namun nomornya tak aktif. Ia mulai sedikit khawatir.

Apa gue samperin di rumahnya aja?

Flora mengangguk seakan meyakinkan dirinya sendiri, ia akan pergi ke rumah Farshad. Tak peduli bila ia harus terlambat ke sekolah.

Flora bergegas turun ke lantai 1 ketika dirinya hampir saja tertabrak pria tinggi berkaca mata yang melangkah berlawanan arah. Laki-laki itu nampaknya hendak naik ke lantai 2.

"Ayo berangkat sama Papa," ujar pria itu tiba-tiba. Entah angin apa yang membuat laki-laki itu berucap seperti itu. Yang jelas ucapan pria itu sukses membuat Flora terkejut bukan kepalang.

"Papa ngomong apa?"

"Ayo berangkat sama Papa."

Flora tertawa, padahal tak ada yang lucu. Entah kenapa menurut Flora ucapan barusan adalah hal terlucu yang pernah ia dengar. Lucu, karena sangat aneh bila Ayahnya bertindak seperti ini.

"Apa yang lucu?"

"Papa kira dengan Papa bertindak seperti ini, Flora akan menuruti Papa untuk pergi ke psikiater?" Flora tertawa kaku, bahkan tawanya saja tetdengar begitu menyedihkan.

"Apa kamu mau seperti ini terus? Kamu gak mau sembuh? Papa cuma pingin kamu sembuh."

"Bohong! Pasti ada sesuatu kan? Papa malu sama calon istri Papa yang baru itu kalau punya anak pencuri seperti Flora?"

"Tidak!"

"Terus kenapa baru sekarang Papa peduli? Kenapa gak dari dulu? Jelas ada sesuatu dibalik pedulinya Papa ke Flora. Kalau memang Papa malu, hapus aja nama Flora di kartu keluarga, bilang ke semua orang kalau Papa gak punya anak. Bilang sama semua orang kalau anak Papa itu meninggal sama istri Papa!"

Plak!!!

Ayahnya sudah tak bisa menahan amarahnya lagi mendengar ucapan anaknya barusan. Ketika ia berusaha ingin memperbaiki hubungan ini, selalu saja anaknya menyulut emosinya.

Flora memegangi pipinya yang panas. Tidak terasa sakit. Bisa dibilang dirinya telah mati rasa akibat terlalu sering ditampar oleh Ayahnya sendiri. Bahkan hatinya pun mati rasa. Ia sudah tak bisa membedakan yang mana ketulusan seorang Ayah, yang mana kepalsuan seorang Ayah. Di matanya, apapun yang Ayahnya lakukan hanyalah sebuah kepalsuan.

"Apa perlu Papa mati dulu supaya bisa membuktikan padamu bahwa Papa tulus melakukan ini?" Wajah Ayahnya merah padam, berusaha sekuat tenaga menahan amarah.

"Harusnya Flora yang bilang begitu! Apa perlu Flora mati supaya Papa menyesal sudah mengabaikan Flora selama satu tahun ini?" Air mata pun jatuh perlahan.

"Di saat Citra bisa ngerasain kehangatan pelukan Ayahnya, Flora cuma bisa diam sambil memandangi senyum hangat mereka. Flora lupa rasanya dipeluk Papa. Di saat Citra sibuk bercanda dengan Ayahnya, Flora malah bungkam. Flora gak tau rasanya dicandain Papa karena kita taunya berantem setiap ketemu. Di saat Citra bisa makan di ruang tamu dengan Ayahnya, Flora cuma bisa senyum kecut mengingat Papa hampir gak pernah makan di rumah lagi."

Hear My VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang