43. One Hope

40.7K 3K 72
                                    

"Gue prosopagnosia," ulangnya.

"Apa?"

Farshad menghela nafasnya sementara Flora masih memperlihatkan wajah bingung, "Pro... prog... apa?"

"Pro-so-pag-no-si-a." Farshad mengejanya satu per satu. Wajah Flora yang tadinya marah sekaligus kecewa berubah menjadi sebuah cengiran lebar dan polos.

"Itu apaan ya? Hehehe. Gue baru dengar penyakit begituan." Flora menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya terlihat polos, ah... bukan. Lebih tepatnya terlihat bodoh.

"Penyakit 'buta wajah'. Penderitanya susah ngenalin wajah orang."

Flora memelototkan matanya serta membuka mulutnya. Raut wajahnya berubah seketika. Detik berikutnya ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Apa Farshad sedang bercanda?

"Lo becanda? Gak lucu sumpah."

"Apa muka gue keliatan becanda?"

"Ta-tapi lo kenal gue..."

Farshad kembali menghela nafasnya, "Intinya, lo gak pantas memberikan hati lo seutuhnya ke cowok yang bahkan gak bisa mengenali wajah lo. Ke cowok yang gak bisa muji lo cantik karena dia juga bahkan gabisa ngeliat mukanya sendiri." Farshad mengalihkan pandangannya dari Flora sambil tersenyum getir, "Ini udah ngejelasin semuanya kan? Kenapa gue meluk Nanda, kenapa gue gak kenal teman kita, semua pertanyaan lo itu.

"Karena gue udah jelasin semuanya, gue harap lo ngerti. Tinggalin gue. Cari cowok yang lebih baik, jangan mencintai cowok cacat kayak gue."

Flora menatap lurus Farshad yang saat ini memalingkan wajahnya, "Lo sayang gue?" tanya Flora tiba-tiba. Seandainya Farshad berkata 'iya', maka Flora tak akan pernah mengambil keputusan untuk meninggalkan Farshad.

"Enggak," jawabnya singkat dan dingin, masih tak mau menatap Flora.

Jawaban Farshad membuat Flora lagi-lagi terjatuh. Sebagian hati Flora berkata bahwa Farshad masih memiliki rasa padanya. Tapi, bukankah ini hal bodoh lainnya? Sebuah harapan bodoh. Flora tertawa kaku, "Gue udah gak ada harapan lagi?"

"Lebih baik ngeliat lo sakit hati sekarang Flor. Gimana kalau suatu saat nanti gue gak bisa ngenalin lo? Lo bakal tambah sakit hati lagi. Jangan tanya gue tentang harapan itu. Karena, gue sendiri juga gak punya harapan apa-apa lagi." Suara Farshad terdengar bergetar. Apa laki-laki itu menahan air mata? "Gu-gue gak pantas ngerasain cinta kalau suatu saat gue gak bisa mengenali wajah orang yang gue cintai. Gue gak punya harapan hidup. Bahkan, sejujurnya gue lebih berharap mati ditangan Ayah gue dibanding se--"

Ucapan Farshad terpotong karena detik berikutnya, gadis berambut coklat itu telah mendekap erat tubuhnya. Kehangatan menjalar ke seluruh tubuh Farshad yang dingin. Gadis itu menangis pelan. Bahkan Farshad terkesiap mendengar tangisan gadis itu.

"Asal lo tahu, gue juga gak punya harapan hidup. Tapi, sejak gue menjalin hubungan dengan lo, gue berharap gue bisa hidup lebih lama bersama lo. Itu salah satu harapan hidup juga kan?" Isak tangis Flora terdengar begitu pelan seperti desisan, "lo itu manusia Farsh. Lo pantas buat ngerasain cinta. Gak peduli lo bisa ngeliat wajah orang yang lo cintai atau enggak, asalkan hati lo buat orang itu, gue yakin hati lo juga yang menuntun lo kembali ke dia.

"Seandainya lo gak bisa kenalin dia, lo punya seribu satu cara lain untuk mengenali dia. Bukankah cinta itu mengajarkan untuk saling menerima kekurangan? Gue yakin. Orang yang beneran tulus sama lo gak akan peduli lo bisa ngeliat dia atau enggak, dia bakal terus mencintai lo. Seperti gue." Perlahan, Flora melepaskan pelukan itu.

"Gue gak bisa maksa lo untuk sayang balik ke gue. Tapi, asal lo tahu, lo gak sendirian. Ada gue yang selalu mendoakan lo yang terbaik. Seandainya kita emang gak bisa sama-sama, gue berusaha nerima walaupun sakit.

Hear My VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang