44. Foolish

42.4K 3.1K 47
                                    

"Wanita ini namanya Dhena. Seharusnya dia jadi psikiatermu selama di sini. Tapi, kamu selalu menolaknya." Ayah Flora menarik lengan Flora agar kali ini berhadapan dengan wanita cantik di depannya ini, "dari awal Papa gak ada hubungan apapun sama dia. Papa sering ajak ke rumah buat konsultasiin kamu. Papa khawatir sama kamu. Tapi, kamu sama sekali gak ngasih Papa kesempatan buat jelasin kesalahpahaman ini." Ayahnya terlihat menghela nafas.

"Maafin Papa, Flora. Memang salah Papa yang gak bisa menjalin komunikasi yang baik sama kamu sejak Mama kamu gak ada. Maafin Papa yang selalu nyalahin kamu dan selalu emosi sama kamu. Kondisi perusahaan Papa sedang buruk, itu sebabnya Papa jarang di rumah dan setiap pulang udah capek dan gak hiraukan kamu. Papa emang salah. Emosi Papa labil karena stress. Maafin Papa, Flora. Maafin Papa kamu yang egois dan jahat ini." Ayahnya mendekap Flora begitu erat, Flora membalas dekapan itu dengan isak tangisnya. Akhirnya, ia bisa mendengar suara Ayahnya yang mengucap maaf.

Sekacau itu masalah yang ditimbulkan bila terjadi putus komunikasi dan kesalahpahaman. Flora yang selama ini selalu menganggap Ayahnya membencinya kini mulai paham mengapa Ayahnya berbuat seperti itu. Seandainya dari awal Ayahnya menjelaskan, mungkin masalah mereka tak akan menjadi sebesar ini.

"Maaf, Papa bilang kamu pembunuh. Setiap Papa liat kamu, Papa selalu keingatan gimana Mama kamu mati. Padahal ini bukan salah kamu. Maafin Papa, Flora."

Flora menarik nafasnya pelan, ia kesulitan berbicara karena isak tangisnya yang semakin menjadi-jadi, "Flora ju-juga minta maaf Pa... Flora harusnya ngertiin Papa..." Flora semakin menenggelamkan wajahnya ke dekapan Ayahnya. Ayahnya membelai lembut puncak rambut kepalanya.

"Gak papa sayang, kita mulai semuanya dari awal lagi." Flora mengangguk.

Kemudian, perlahan Flora menengok ke arah Dhena, psikiaternya. Dhena tersenyum tanpa kata. Flora melepaskan pelukannya dari Ayahnya perlahan. Flora melangkah mendekati Dhena sambil menghapus air matanya.

"Maaf selama ini saya berbuat kasar pada Anda. Maafin saya ya-" Flora menggantungkan kalimatnya di udara, bingung ingin memanggil Dhena dengan panggilan apa.

"Panggil aja Mbak Dhena." Dhena tersenyum dan mengacak lembut puncak kepala Flora, "kamu baik-baik ya di Australi. Di sana psikiaternya lebih handal dari saya. Kamu pasti bisa sembuh." Dhena kemudian memeluk Flora selama beberapa detik dan melepaskannya.

"Mas, Flora, saya pulang dulu ya. Saya gak mau mengganggu momen kalian berdua. Lagipula ini sudah malam." Ayah Flora mengangguk. Flora kemudian menyenggol lengan Ayahnya.

"Mbak Dhena dianterin Papa aja, sekalian ucapan terimakasih dari kami berdua. Ini sudah malam Mbak, susah cari taksi."

Ayah Flora mengangguk. Awalnya Dhena menolak, namun Flora dan Ayahnya memaksa. Akhirnya, Dhena pun setuju.

Flora tersenyum sambil menatap punggung mereka bedua yang lama kelamaan menghilang di dalam mobil. Tiba-tiba, handphone-nya bergetar.

Nino : Besok saya aja yang antar kadonya.

Flora : Iya, makasih banyak ya Nino. I'm begging you.

Nino : Sebagai gantinya, saya juga yang harus antar Kak Flora ke bandara.

Flora : Hahaha ngerepotin mulu. Iya deh iya sesukamu aja No.

Flora tersenyum, menatap jam dinding. Pukul 10 malam. Padahal, dirinya sudah merasa sangat bahagia ketika telah berbaikan dengan Ayahnya. Tapi, ada ruang kosong yang mengisi hatinya. Seperti separuh hatinya telah menghilang.

Handphone Flora bergetar lagi, sms dari Citra.

Citra : HAH? LO KE AUSIE? LO ANJ*NG BANGET SUMPAH WOYY GAK IKHLAS GUEE!! KOK LO PERGI GITU KENAPA TIBA-TIBA?!

Hear My VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang