38. Couldn't Forget

39.4K 2.8K 34
                                    

"Maaf ya No, harusnya tadi gue gak usah aja iya-in ajakannya Rissa buat double date." Flora sedikit merasa tidak enak pada Nino. Rasanya semua rencana mereka hancur karena si gila Farshad itu. Apa maunya?

"Bukan salah siapa-siapa kok." Nino tersenyum, "Mendingan kita jalan lagi aja. Anggap aja ulang semua. Gak masalah kan?"

"Gak masalah sih. Cuma, gue gak mau nonton film yang sama lagi."

"Siapa bilang kita nonton?" Nino tersenyum kecil, kemudian menarik lengan Flora, "Kita main kok."

Flora menautkan alisnya bingung, namun ia menurut saja ketika Nino membawanya kembali naik ke lantai atas mall ini.

Mereka sudah berada di depan Timezone. Nino terlihat begitu antusias dan terus menarik lengan Flora. Ia ke meja kasir dan membeli kartu untuk bermain.

Flora terdiam. Entah kenapa, kenangan bermain di Timezone bersama Farshad terputar lagi. Ketika mereka sama-sama membolos dan pergi ke sini. Flora masih ingat tawa Farshad dan tawanya. Rasanya ia ingin kabur dari sini, tapi ia tak enak dengan Nino.

"Main lempar basket yuk Kak!" ajak Nino. Flora tersenyum dan mengangguk saja.

Rasanya berbeda. Ada yang berbeda. Bermain lempar basket dengan Nino tak membuatnya tertawa bahagia seperti saat ia bermain dengan Farshad. Hanya Nino saja yang terlihat bahagia, sementara sesekali Flora tersenyum paksa saja. Flora melempar bola basketnya dengan tak bersemangat. Ah sial, kenapa harus keingetan sama lo sih Farsh?

Semua wahana permainan ini mengingatkan Flora dengan Farshad. Bahkan, boneka yang mereka tukarkan dengan kupon juga mengingatkan Flora pada Farshad. Bila Flora tersenyum bahagia ketika mendapatkan boneka itu dulu, berbeda hari ini. Ia sama sekali tak bahagia. Flora diam saja memandangi boneka beruang yang ada di tangannya itu.

"Gak suka ya? Mau diganti sama hadiah lain?" ucapan Nino itu kembali menyadarkan Flora.

"Seneng kok hehe," kata Flora sambil nyengir lebar.

"Setelah ini mau kemana?"

"Pulang aja boleh No? Gue capek."

Wajah Nino terlihat sedikit kecewa, namun ia akhirnya menuruti permintaan Flora saja.

Selama di perjalanan, Flora hanya diam sambil menatap jalan dari kaca mobil. Tak seperti saat mereka berangkat. Suasana yang hangat berubah jadi dingin, atmosfir canggung menyelimuti mereka. Nino bingung ingin berbicara apa karena Flora terlihat tak ingin berbicara. Akhirnya, Nino juga diam.

Flora baru saja hendak membuka pintu mobil ketika mereka sampai di depan rumah, namun Nino terlebih dahulu menahan lengannya, "Sebentar Kak. Saya mau bicara sebentar."

Flora menoleh ke arah Nino. Wajah Nino tampak begitu serius, tak seperti biasanya, "Ada apa No?"

"Di mata Kakak, saya seperti apa?" tanya Nino tanpa basa-basi. Flora terkejut mendengarnya. Sempat selama beberapa saat ia terdiam, namun setelah itu ia berusaha nyengir seperti tak ada apapun.

"Ya kayak adik gue lah."

"Apa pernah Kakak melihat saya sebagai laki-laki?" Mata Nino menatap lurus bola mata Flora, membuat Flora mati kutu. Ia tak tahu harus menjawab seperti apa. Karena memang selama ini, Flora hanya mengagumi Nino yang begitu ramah. Menganggap Nino seperti adik sendiri. Tidak lebih.

"Ehm... maksudnya gimana No?" tanya Flora pura-pura bodoh.

Nino menghela nafasnya, "Apa masih ada cukup ruang di hati Kakak untuk saya? Apa masih ada kesempatan untuk saya?" Nino menarik nafas perlahan sebelum melanjutkan ucapannya, "Saya jatuh cinta sama Kak Flora."

Hear My VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang