2. Tired

989 149 10
                                    

Sudah berjam-jam Arga belum juga puas sampai gue mengeluh karena tubuh gue terlalu capek untuk meladeni hasratnya yang terlalu besar, tapi bukan Arga namanya kalau dia tidak menuntaskannya. Dia memberikan gue jeda namun kembali menyerang gue yang tidak gue tolak, gue tidak akan munafik kalau gue juga menikmati setiap sentuhan Arga ditubuh gue.

Gue menatap lampu jalan setapak di taman apartemen yang berada tepat di bawah apartemen gue, jam menunjukkan pukul 11 malam tentu saja sudah sangat sepi. Baru gue mematik korek api, rokok gue sudah di rebut dan di lempar dari balkon.

"Lo apa-apaan sih?" tanya gue tidak terima.

"Aku ga suka kamu menyebat kalau lagi sama aku." cerca Arga yang entah sejak kapan sudah bangun dan memakan bathrobe putih yang sama dengan yang gue kenakan.

Dia memeluk gue dari belakang, dapat gue rasakan bibirnya yang sesekali mengecup pundak gue yang memang gue biarkan sedikit terbuka. "You still mad at me?"

Gue tetap diam tidak menjawab, bukannya tidak mau menjawab tapi gue bingung harus mengatakan apa, "Aw! Kenapa digigit?!" pekik gue saat Arga menggigit leher gue.

"Karena kamu ga mau jawab."

Akhirnya gue membalikkan tubuh gue menghadap dia yang masih tidak melepaskan tangan dari pinggang gue. Rasanya gue bingung harus membahas apa karena memang tidak ada yang harus kami bahas. Ini cuma masalah gue dan hati gue yang belakangan ini terlalu sensitif. Masalah Papa yang tidak ada habisnya di tambah kecemburuan gue kepada Windy yang sebenarnya tidak pantas gue rasakan membuat semuanya tambah rumit.

"Arga, gimana kalau kita udahan aja?" gue dapat melihat Arga menatap gue meminta penjelasan.

"Kamu bisa cari yang lain dan masih segelan kan? Siapa yang bakal nolak dengan wajah kayak kamu, aku bakal nunggu sampai kamu dapat pengganti tapi setelahnya I wanna stop." Arga mengernyit terlihat tidak suka.

"Kenapa?"

Gue bisa lihat dengan jelas wajah Arga mulai memerah yang selama ini gue liat kalau dia lagi marah besar, suaranya pun terdengar dingin dan penuh penekanan seolah memperlihatkan kalau dia sedang marah.

"Ga ada yang perlu dijelasin Ga." gue membuang nafas yang terasa lebih berat dari sebelumnya lalu berusaha menatap matanya, "aku ingin mencari orang yang baik buat aku."

"Maksud kamu aku ga baik?!" suaranya mulai meninggi.

"Buka itu maksud aku. Aku capek ga dengan semua ketidakjelasan kita, aku juga perempuan yang butuh kepastian." Kata-kata gue berhasil membuat Arga bungkam namun masih terlihat jelas kemarahannya.

Gue berusaha tetap menatap matanya, kali ini gue tidak mau terlihat goyah dengan keputusan gue. "Kamu punya Windy, jadi bukan masalah kalau aku pergi." Gue hampir nangis saat mengatakan kalimat terakhir ini, tapi pada kenyataannya memang seperti itu.

"Dila, kita udah sepakat untuk tidak membawa-bawa Windy dalam hubungan kita." Ucapnya melembut seolah memberi pengertian.

"I know tapi pada akhirnya dia memang terlibat di sini."

"Ini cuma masalah aku dan kamu Dila! Dia ga tau apa-apa tentang kita!" Bentaknya yang membuat gue kaget, pembahasan tentang Windy memang sangat sensitif untuk kami berdua. Kami akan bertengkar hebat jika gue sudah mulai membahas tentang Windy, sebegitu cintanya dia dengan gadisnya sampai gue dibentak. Gue sakit hati, bukannya takut dibentak. Bentakan itu sudah menjadi makanan sehari-hari buat gue selama bertahun-tahun, gue tidak takut ataupun trauma tapi gue sedih menyadari cewenya lebih berarti daripada gue.

Tangan Arga di pinggang gue sedikit merenggang yang segera gue manfaatkan untuk meninggalkan dia di balkon sendirian, gue masuk ke dalam kamar mandi lalu mengguyur tubuh gue yang kotor karena perbuatan kami tadi. Ah bukan, gue sudah kotor sejak Arga menyentuh gue pertama kalinya.

Gue keluar dengan menggunakan minidress ungu dan rambut yang sudah diblow, gue duduk di kursi meja rias memoleskan wajah gue dengan make up tipis yang pada dasarnya gue memang tidak suka dandanan menor.

Arga terlihat sudah menggunakan kaos oblong dan celana pendek yang memang sengaja dia tinggalkan di apartemen gue karena sering menginap.

"Kamu mau kemana?" Tanyanya sembari berjalan ke arah gue. Gue memilih tidak menjawab karena perasaan gue sedang tidak karuan.

"Dila jawab." Gue tetap tidak merespon lalu memoleskan lipstick peach di bibir gue.

Kali ini Arga membalikkan paksa tubuh gue dan mencengkramnya, "Dila!" Nadanya sedikit membentak.

"Club."

Arga mengacak rambutnya frustasi mungkin karena mendengar jawaban gue yang sangat singkat sudah seperti jawaban teka-teki silang, "Let's talk Dila, jangan menghindar."

Gue menggeleng tidak setuju, "We never talk Arga. We just argue and always end up on the bed." Jawab gue pada akhirnya. Pada kenyataannya memang seperti itu, gue dan Arga tidak pernah benar-benar menyelesaikan masalah. Kami hanya berdebat dan Arga menyelesaikannya dengan mengurung gue di ranjang. It's simple and make me feel like a real bitch.

Arga ingin membuka suara saat dering ponsel gue menginterupsi, dengan sigap gue mengangkatnya lalu mengambil tas yang terletak bebas di atas meja.

"Aku pergi, udah ditunggu Raka di bawah."

Gue tidak menunggu respon dia , gue tidak mau memperpanjang urusan kami karena gue sudah capek dengan satu masalah saja.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang