Gue masih bertahan, dan gue merasa hebat mampu berdiri di samping suami yang mungkin benar memiliki anak dari perempuan lain. Tapi gue sadar banyak perubahan dalam diri gue, baik cara gue menyikapi kehadiran Windy atau cara gue bersikap pada suami.
Terkadang gue berpikir, apakah gue berdosa sudah bersikap dingin pada Arga? Padahal dia tetap bersikap hangat pada gue.
Rasanya sulit terlihat seolah tidak terjadi apapun dalam rumah tangga kami, saat kenyataannya sedang ada badai besar menerpa. Berkali-kali gue berpikir mengakhiri ini, tapi sebanyak itu pula gue menyadari kehadiran Arga adalah segalanya. Pada akhirnya gue tetap bertahan, karena satu kata cinta.
"Lo punya mata ga sih?! Baju gue kotor jadinya!"
Sayup terdengar suara dari teras belakang, cacian terdengar jelas membuat dahi gue mengerut. Gue kenal suara wanita itu, Windy.
Siapa yang dia maki? Di rumah ini hanya ada gue, Ratih dan Elvan. Buru-buru gue menghampiri, dan yang gue dapati berhasil memancing amarah yang lama gue pendam.
Gue menarik Elvan yang sudah menangis ke dalam pelukan, membelai kepalanya menatap tajam pada wanita tak tahu diri di hadapan gue.
"Ga apa-apa sayang... Ratih, tolong bawa Elvan ke kamar."
Suara seguka Elvan seakan menyiram minyak dalam bara api.
"APA SALAH ANAK GUE SAMPAI LO TEGA BENTAK ANAK KECIL SEPERTI ITU?!"
"Ga usah bentak-bentak! Emang dia salah! Liat baju gue kotor semua!" jawabannya membuat gue berkeinginan besar menjambak dan menyeretnya keluar rumah jika tidak ingat dia sedang hamil.
"Oh-" gue mengangguk paham, "Hanya karena baju yang bahkan bisa lo beli lagi, lo membentak Elvan? Ingat Windy, dia juga anak Arga. Kalau lo pengen bapaknya, lo juga harus sayang anaknya."
Tawanya menggema meremehkan, "Dia ga perlu Elvan, dia bisa punya anak yang lebih lucu dengan gue nantinya. Toh Elvan cuma anak haram."
Gue maju menjambak rambutnya, kata-kata Windy berhasil menyulut amarah gue. Gue sudah tidak bisa menahan diri.
"Gue peringatkan lo, gue bisa menghancurkan lo kalau lo berani melangkah lebih jauh." gue melepas rambutnya, tapi tubuhnya terjatuh janggal, membuat gue heran. Gue sama sekali tidak mendorongnya, tapi dia seolah kesakitan memegangi perut.
"DILA!"
Terjawab sudah pertanyaan dalam kepala gue, Arga berlari menghampirinya mengecek keadaan Windy.
"Aku ga suka kamu kasar! Dia lagi hamil!"
"Aku ga dorong dia-"
"Tapi aku lihat! Kamu juga lagi hamil, harusnya kamu pakai perasaan kamu!"
Seperti ada beton menghimpit dada gue, sesak dan menyakitkan. Arga tidak percaya gue dan lebih percaya dengan Windy. Gue mengangguk mengerti kemudian berbalik berniat meninggalkan mereka berdua.
"Mau kemana kamu?!"
"Pergi-" gue menelan saliva yang terasa menyakiti tenggorokan. "Kamu bisa urus dia sendiri."
Gue berbalik mengucapkan kata yang mungkin bisa saja menjadi puncak kehancuran rumah tangga ini.
"Arga-kalau kamu ga percaya saya lagi, rumah tangga ini untuk apa?"
***
Jam terus berganti hingga gulita menyelubungi. Gue masih betah mengurung diri di kamar tamu, berpikir kembali tentang pernikahan ini. Alasan kenapa pernikahan ini harus tetap gue pertahankan, apakah hanya untuk Elvan? Atau untuk diri gue sendiri?
Selama bertahun-tahun Elvan tumbuh bersama gue, tanpa Arga sebagai ayahnya. Gue yakin tanpa harus bersama, kami bisa membesarkan Elvan tanpa membuat Elvan kekurangan kasih sayang.
Lantas apa yang membuat gue bertahan sejauh ini?
Bibir gue bergetar melontar isakan, hati gue kesakitan tapi tidak juga bisa berhenti mencintai Arga.
"Dil." suara itu pelan sekali menyapa pendengaran gue. Tapi tetap saja enggan menatap Arga. Helaan napas terdengar samar, tapi gue masih enggan menatapnya
Arga mendekat kemudian membaringkan tubuhnya di samping gue yang masih memejam tidak mau menatap Arga, ranjang bergerak, gue tahu Arfa posisinya lalu pelukan hangat menyelimuti tubuh gue yang terisak kecil.
"I'm sorry, aku nyakitin kamu."
Arga mengecup pundak gue berkali-kaki sambil menggumamkan kata maaf pada gue. Tapi hati gue terlalu sakit, dan butuh waktu untuk sembuh.
***
Dua bulan pernikahan gue layaknya neraka, setiap tapaknya membakar habis menyakiti gue tanpa ampun. Hubungan kami semakin dingin sejak Arga terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaannya pada gue. Sikap hangatnya tidak lagi bisa mencairkan hati gue yang membeku.
Wanita mana yang mampu bertahan di tengah ketidakpastian, terombang-ambing dalam luka yang menghancurkan tanpa ampun. Yidak ada wanita yang mampu bertahan di saat wanita lain mengaku mengandung anak suaminya.
Begitu pula gue, gue bukan malaikat yang tidak membenci, bukan juga Tuhan Yang Maha Pemaaf. Gue hanya perempuan biasa yang berharap suatu saat gue bisa bahagia sebelum saatnya gue kembali pada Penguasa.
Maka dari itu, dalam kesakitan ini gue masih berusaha keras mempertahankan bahtera rumah tangga yang rasanya sudah di ujung tanduk. Kedatangan Windy dan janinnya terus menghadirkan perdebatan, pertengkaran antara gue dan Arga tidak bisa lagi dielak.
Gue yang tidak bisa lebih sabar menghadapi cobaan dan Arga dengan semua janji yang semakin gue ragukan kebenarannya. Hanya kata 'cerai' yang belum terucap, karena pada nyatanya gue tidak pernah sanggup melepaskan dia. Gue dan cinta bodoh yang gue punya.
Kemarahan Arga akhirnya pecah, kami sama-sama lelah bertengkar. Hingga bantingan pintu meluruhkan air mata yang sejak tadi gue bendung.
Siluet seorang wanita mampir di hadapan gue, wajah angkuhnya menggambarkan kepuasan atas apa yang dia lihat barusan.
"Tolong-tinggalkan saya sendiri..." suara gue tercekat menahan perih dalam dada.
"Sakit? Gue udah bilang, cara termudah menyudahi ini cuma dengan lo ngelepasin Arga buat gue."
Ucapannya tepat menyayat hati gue, membayangkan hari yang gue lalui tanpa Arga sekali lagi. Gue menggigit bibir mencegah tangis gue yang semakin pilu.
"Pikirin baik-baik, karena gue ga akan melepaskan Arga."
Tepat saat langkahnya berbalik gue memanggilnya, "Windy." ia terhenti sebelum sempat menutup pintu kamar.
"Saya harap, dengan siapapun kamu menikah nanti. Kamu tidak mengalami apa yang saya alami." yang jelas tidak dengan Arga, karena gue juga tidak akan pernah melepaskan dia.
Arga harus bertanggungjawab mengobati luka yang sudah dia toreh sejak lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
Aktuelle LiteraturWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders