Gue berdecak sebal, Raka tidak bisa menemani gue membeli perlengkapan yang gue butuhkan untuk berangkat minggu depan karena mendadak dia dipanggil oleh dosen pembimbingnya dan geng bitchy juga sedang sibuk-sibuknya persiapan untuk seminar proposal mereka lusa. Gue tidak marah pada mereka karena tidak menemani gue, gue mengerti kalau pendidikan itu memang sangat penting, yang membuat gue sebal gue lupa membawa daftar belanjaan gue. Jadilah gue berkeliling tidak jelas di mall yang terletak tidak jauh dari apartemen.
Setelah lelah berkeliling, gue memutuskan untuk mampir di coffee shop dan menghabiskan waktu di sana. Tidak ada niatan untuk pulang lebih cepat karena tidak ada yang bisa gue kerjakan di sana. Nongkrong di mall rasanya lebih baik daripada tidur-tiduran.
Mata gue memandang ke arah luar yang menampakkan beberapa pohon yang tidak begitu besar dan juga lapangan parkir di bawahnya, coffee shop favorit gue ini memang terletak di lantai dua. Gue suka karena tempatnya yang tidak terlalu ramai dan suasananya cocok untuk menenangkan pikiran.
Seketika bayangan Arga muncul lagi dalam pikiran gue, apa yang dia lakukan sekarang dan bagaimana kabarnya menjadi pertanyaan yang kerap kali berputar di kepala memusatkan rindu pada orang yang tidak berhak gue rindukan. Gue masih setia mengulur waktu untuk bicara dengannya, jujur gue belum siap mendengar apa yang akan dia ucapkan setelah semua yang gue dan dia alami. Rasanya akan lebih baik berpisah tanpa sepatah katapun daripada mendengar Arga menyudahi apa yang belum sempat kami mulai.
Sebuah kaki jenjang tampak di hadapan gue yang membuat gue mengadah melihat pemiliknya, jantung gue hampir berhenti berdetak, baru saja hati gue mengucap rindu orangnya sudah muncul di hadapan gue.
"Bisa kita bicara sekarang Dil?"
Dia terlihat lelah, mungkin lelah mengajak gue bicara atau lelah gue menghindari dia terus-menerus. Kali ini gue tidak akan lari lagi, sudah saatnya gue terbangun dari mimpi gue. Jika diibaratkan, gue tidak akan pernah menjadi Luna yang akhirnya menyatu dengan Farrel. Gue tetaplah bayangan seorang Arga yang akan menghilang seiring surya tenggelam.
Gue menyunggingkan senyum yang gue rasa sudah cukup tulus, "Duduk aja." dia menuruti kata gue mengambil tempat di depan gue hingga gue lebih leluasa melihat pahatan sempurna wajahnya, "Mau minum apa?" tanya gue berusaha bersikap biasa saja.
"Caffe latte aja." jawabnya cepat.
"Caffe latte sama Caramel machiato ya." uvap gue pada pelayan yang sudah berdiri di samping meja.
Dia hanya diam sampai pesanan kami datang, bahkan sampai gue sudah menghabiskan setengah dari kopi yang gue pesan. Arga hanya memandang gue selama hampir setengah jam, gue tidak keberatan dan sesekali juga menatapnya.
"Jadi, mau ngomong apa?" tanya gue akhirnya.
"Let's stop here Dila." gue mendengar ucapannya ragu namun tegas.
Gue hanya tersenyum karena sudah tau akan seperti ini nasib hubungan gue dengan dia, sejak awal gue sudah mengatakan pada diri sendiri kalau Arga pada akhirnya akan kembali pada pacarnya, Windy.
"Kalau itu yang terbaik, oke."
Suara gue tercekat, padahal gue sudah mempersiapkan ini sejak jauh-jauh hari tapi rasanya masih semenyakitkan ini. Gue tau dia tidak pernah mencintai gue apa lagi sejak mendengar percakapannya dengan Dani. Memang sudah seharusnya kita berpisah.
Arga meraih tangan gue yang tergeletak di atas meja, menggenggamnya erat mungkin untuk yang terakhir kali, "Aku minta maaf untuk semuanya."
"Ga ada yang perlu dimaafkan karena ga sepenuhnya kamu yang salah. Lagian aku udah tau kamu akan tetap memilih dia nantinya."
"Dil, aku-" gue menggeleng menandakan dia untuk tidak mengatakan apapun. Arga kembali menunduk.
"Aku ga akan mengganggu kamu lagi setelah ini."
"Kita masih bisa jadi temen kan?"
Gue menggeleng lagi menolak keinginannya, "Kamu ga akan melihat aku lagi setelah ini, aku mau memulai semuanya dari awal dan berhenti jadi murahan kayak sekarang."
"Dil, aku waktu itu ga bermaksud merendahkan kamu." katanya tidak enak.
"Bukan, aku memang murahan kok. Ga perlu merasa ga enak gitu, biasa aja." ucap gue sambil tersenyum, "Aku pergi bukan karena kamu, tapi memang sudah seharusnya."
Arga menatap mata gue dalam, seperti ingin memastika kejujuran gue. Gue balik menatapnya, gue tidak ingin terlihat lemah di depan dia walaupun pada nyatanya hati gue sudah hancur sejak dia membuka suara tadi.
"Kamu mau kemana?"
"Kepo kamu, ntar kamu nyariin lagi." gue berusaha mencairkan suasana, ternyata tidak berhasil. Arga masih menatap gue dengan tatapan sendunya.
"Udah ga usah pikirin aku kemana, aku bisa jaga diri. Oh ya, Windy gimana? Kalian udah baikan?" tanya gue sesantai mungkin.
"Iya... udah." jawabnya terbata, "Let's talk about you and I."
Gue hanya mengangguk, bingung menaggapinya. Apa yang harus kita bicarakan lagi? Gue bingung.
Kalau diizinkan, bolehkah gue memiliki dia hari ini saja. Ini memang terdengar murahan dan gue memang pada dasarnya murahan. Gue ingin merasakan dia benar-benar menjadi milik gue walaupun hanya sekali.
"Aku punya permintaan, maybe it will be the last."
"Dila-"
"Just one day, please be mine. Bisa?"
Dia tampak membasahi bibirnya, gue tau banyak keraguan di hatinya untuk menuruti keinginan gue yang aneh ini. Jika pacarnya tau mungkin akan berakhir sama dengan kejadian beberapa waktu lalu.
"Ayo." Arga menarik tangan gue keluar dari caffe setelah menaruh dua lembar seratus ribuan di atas meja, gue sudah tau jawabannya.
Hari ini menjadi sangat berarti untuk gue, gue bisa memiliki Arga layaknya Windy dan dia memperlakukan gue seperti gue memang satu-satunya untuk dia. Walaupun hanya sehari, itu cukup bahkan lebih dari cukup untuk menjadi kenangan yang akan gue simpan sendiri nantinya. Gue sangat menikmati menjadi pacar seharinya, nonton, makan bareng, belanja, dan kegiatan lain yang biasa dilakukan pasangan normal.
Arga masih menggenggam tangan gue saat dia mengemudi, gue baru sadar tangannya sangat besar, jari-jarinya kokoh dan bisa menenggelamkan tangan gue dalam genggamannya. Gue hanya menunduk memperhatikan dan menyentuh tangannya, perasaan gue campur aduk. Gue tidak ingin berpisah dengan dia tapi gue memang harus.
"Arga."
"Hm?" gumamnya tetap fokus pada jalanan di depan.
"Can we do it for the last time?"
***
Part 12 aku private ya, karena ada adegan 21+. Part selanjutnya aku up jam 10 nanti
With love
~D.O's wife~
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
Tiểu Thuyết ChungWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders