25. Let's Not

623 111 3
                                    

"Kamu kenapa belum tidur?"

Suara Arga mengalihkan atensi gue yang sedang menatap luar jendela. Kamar gue, Elvan dan Arga ada di lantai dua pondok yang kami sewa sedang Raka dan Dion di bawah. Tentu ini permintaan Elvan yang ingin tidur dengan gue dan Arga.

"Lagi susah tidur aja." Jawab gue seadanya. Ada alasan lain tentunya, tidak lucu jika gue bilang gue sedang memikirkan dia.

Arga sudah berdiri di samping gue menatap arah sama, bibir pantai diselimuti gulita. "Udah mikirin jawaban pertanyaan aku kemarin?" Senyum hambar melengkung begitu saja di wajah gue, sudah tau apa yang akan Arga tanyakan tapi rasanya sulit sekali membuat dia mengerti.

Gue menarik nafas dalam memenuhi paru-paru, memberanikan diri memberikan jawaban. "Aku ga bisa, Ga. Maaf." Entah mungkin gue salah lihat tapi Arga tersenyum setelah mendengar jawaban gue.

"Still the same reason hm?"

Tepat, gue mati kutu dengan pertanyaannya barusan jadi lebih baik diam. "Look at me." Pintanya seraya memegang kedua lengan gue, "Do you have same feeling like before to me? If the answer is yes, then back to me Dila. I promise to give you everything." gue hanya menatap iris coklatnya. Menikmati tatapan yang sama seperti saat dia memilih meninggalkan gue. Rasa bersalah.

"I love you Arga. So, let's not stay together."

Gue menangkap tatapan bingung dari Arga, ya itu jawaban gue. Gue mencintai dia dan itu yang membuat gue tidak ingin tetap bersama dia. "Bisa kasih alasan yang lebih logis?" Arga terlihat sedikit kesal.

Kaki gue melangkah mendekati dia, menjinjit meraih dua sisi wajahnya. Gue nyium dia, gila memang tapi gue yakin setelah ini dia mengerti. Mata gue tertutup rapat merasakan tiap inci kulit lembut yang gue rindukan. Dia membalas bahkan memberikan lumatan yang tidak gue lakukan tadinya, baru gue akan mengakhiri Arga menahan tengkuk gue dan memperdalam ciuman kami.

Dia mengangkat gue ke atas sofa yang tidak jauh dari jendela tadi, bibirnya mulai turun mengecup rahang dan leher gue dan masih gue biarkan. Gue merasakan nafasnya memburu menerpa kulit gue, hasratnya naik drastis. Sudah tau akan kemana ujung ciuman gue tadi, gue membiarkan dia mencium gue sampai waktu yang tepat untuk gue menghentikan dia.

Nafas Arga makin ga karuan, akhirnya gue menahan kepalanya dan membuat dia kembali menatap gue. "Don't make another Elvan, Arga." dia terpaku menatap manik gue. Tatapannya yang tadi menggelap menjadi sendu.

Arga masih di atas gue. Gue menggenggam tangannya mengarahkan ke dada kiri gue, "You feel it?"

"Debarannya masih sama seperti dulu, tapi..." suara gue semakin sumbang karena air mata yang melesak keluar. "Rasanya lebih sakit dari dulu." gue gagal menahan buliran air mata..

Mata Arga terpejam dan menghela nafas berkali-kali, "I'm sorry." katanya sambil memeluk gue.

***

Setelah malam tadi, Arga bilang dia akan memikirkan kembali keputusannya dan masih menunggu gue berubah pikiran yang hanya gue tanggapi dengan senyuman.

Mobil Dion memasuki pekarangan rumah, gue melihat perempuan dengan pakaian seperti gue yang dulu berdiri di depan pintu rumah. Gue mengernyit, gue tau benar siapa itu tapi untuk apa dia datang ke sini?

Perempuan itu mendatangi gue setelah gue keluar dari mobil, "Ngapain lo di sini?" tanya gue. Gue melihat Elvan semakin mengeratkan pelukan di leher Dion, anak gue pasti sudah tau tidak akan baik jika gue dipertemukan dengan perempuan dengan rambut ombre merah ini.

"Gue minta duit, kartu gue diblokir papa."

"Ngga, gue beliin tiket. Lu balik ke Jepang." tolak gue tegas.

"Ck! Ga usah sok ngatur! Gue males di atur!" bentaknya membuat darah gue mendidih.

Gue memejamkan mata berharap gue masih waras untuk tidak membentak dia di depan anak gue, "Mas, bawa Elvan ke kamar." pinta gue. Dion langsung membawa Elvan ke dalam rumah, dia tau benar gue tidak tahan dengan kelakuan saudara tiri gue ini.

"Kenapa lagi?" tanya Raka dingin.

"Eh Hai Raka, makin cakep aja. Sayang nolak nikah sama gue." katanya kemudian memeluk lengan Raka.

Raka mengendus kesal melepaskan paksa tangannya dari cewe itu, dia pernah dijebak sama cewe ini supaya nikah sama dia. Saudara tiri gue ini tergila-gila sama Raka kalau menurut gue terobsesi. Dan asal kalian tau, papa selalu melakukan apapun untuk memenuhi keinginan anak tidak tau diri ini sampai Raka hampir dia dapatkan.

"Ada mainan baru lo Dil? Cakep juga." Adel menatap Arga genit. Cowo itu menatapnya tidak suka, jelas saja Arga ga suka cewe semacam ini dari dulu.

"Lo kira gue pecun?"

Dia malah tertawa sini, "Kalau bukan, ga mungkin punya anak haram."

"Shut the fuck up!" bentak gue akhirnya tidak dapat menahan emosi, gue tidak masalah dia mengatai gue tapi jangan anak gue.

"Lo keterlaluan!" timpal Raka marah. "Mending lo pergi!"

"Oke, tapi kasih gue duit dulu." ucapnya ga bersalah.

Nafas gue mulai ga beraturan menahan emosi, gue bisa digampar bokap kalau dia lecet di tangan gue. Gue kembali menghembuskan nafas panjang dan melirik Arga tidak enak, dia tidak pantas melihat ini. "Please pulang ke Jepang ya, papa sama mama lo pasti khawatir lo kabur lagi." harga diri gue turun drastis seketika.

"Gue males, pengen bebas tanpa mereka."

Sial! Mata gue panas dengan kata-katanya, dia tidak tau betapa gue menginkan posisi dia.

"Pulang Del, gue mohon."

"Lo aja sana!" bentaknya "Gue ga butuh tuh tua bangka!"

Gue mendelik marah, darah gue semakin mendidih. "ANJING! LO GA TAU RASANYA DIBUANG ORANG TUA LO HA?! BERAPA KALI PAPA GAMPAR GUE KARENA KESALAHAN LO?!" gue sudah tidak tahan, air mata gue sudah sangat deras. Gue mengambil beberapa lembar uang dan melempar ke wajahnya, "Ambil tu duit! Awas kalau papa nyalahin gue lagi!!!" gue masuk ke dalam rumah tanpa perduli umpatan dan cacian dia.

Sakit di dada gue semakin menjadi, Adel ga pernah ngerasain posisi gue yang tidak pernah diinginkan dan selalu berbuat seenaknya kemudian menjadikan gue satu-satunya yang salah padahal gue tidak tau apapun. Gue masuk ke kamar tamu agar Elvan tidak mendengar isakan gue yang sudah tidak terkendali.

Kamar tamu tiba-tiba dikunci dari dalam yang sudah pasti itu Raka. Gue langsung berhambur memeluk dia dan semakin terisak, dia pun semakin mempererat pelukannya tanpa berbicara apapun. Rasanya sesak dengan semua kenyataan yang muncul kepermukaan, kenapa orang yang beruntung malah menyia-nyiakan diri untuk rusak seperti gue? Demi Tuhan gue pengen berada di posisi Adel yang diinginkan papa dan mamanya. Dia terlalu banyak dimanja sehingga menjadi pembangkang hanya dengan sedikit tekanan.

Mungkin Tuhan harus membuat dia terbuang seperti gue supaya dia mengerti, posisi dia sudah berkali-kali lipat lebih baik dari gue yang dia irikan hanya karena Raka bersama gue.

"Gue bakal disalahin lagi Ka." kata gue terisak.

Raka mengecup puncak kepala gue, "Ga, lo ga salah. Tuhan tau yang bener."

Gue hanya mengangguk, Raka memang benar tapi bokap gue akan tetap memandang gue sebagai orang yang salah.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang