37. Windy

564 103 7
                                    

Tidak banyak yang berubah setelah pernikahan kami, masih sama saja, hanya gue punya tuntutan untuk mengurus kebutuhan Arga bukan lagi Raka atau mas Dion. Tujuh hari setelah pernikahan gue mulai bekerja lagi, sebenarnya om Hermawan menawarkan untuk bulan madu yang gue tolak karena tidak mau meninggalkan Elvan. Lagi pula untuk apa bulan madu kalau sudah punya anak?

Tangan gue tiba-tiba menghangat membuat gue yang sedang melamun tersentak kaget, "Kamu melamun?" gue menoleh ke sebelah kanan. Arga menatap gue dengan kening berkerut.

"Ngga kok."

"Mikirin apa?" tanyanya lagi, ini akan berbuntut panjang kalau gue teruskan.

"Ngga ada apa-apa Arga." tekan gue.

Arga menghembuskan nafas panjang, "Ya udah kalau gitu." gue menatap sekeliling ternyata kami sudah sampai di depan kantor gue. Gue melepas sabuk pengaman kemudian kembali menghadap Arga dan menyalaminya.

Dia mengecup kening gue seperti biasa selama seminggu ini, "Have nice day hun." gue tersenyum simpul ke arahnya, "You too." setelahnya gue keluar dari mobil menyisakan pandangan kosong gue saat mobil Arga melaju meninggalkan daerah perkantoran.

Sesampainya di lobby, Hana, teman sekantor gue langsung menyapa. Dia juga baru sampai kantor dan hendak menuju lantai yang sama dengan gue. Hana ini anaknya supel dan mudah bergaul makanya dia cepat akrab dengan gue walaupun baru beberapa hari kenal. Dia sempat heboh sendiri saat tahu gue pindahan dari kantor pusat di London. Teman-teman sekantor kebanyakan malah terlihat segan, padahal gue tidak merasa bangga sama sekali. Memang, untuk lolos bekerja di kantor pusat berkali lipat lebih sulit tapi menurut gue siapapun bisa asal usaha.

Ada keuntungannya juga gue pindah dari kantor pusat, sesampainya di sini gue langsung menempati jabatan sebagai direktur bagian karena prestasi gue yang katanya dianggap memuaskan selama di kantor pusat.

"Eh, yang tadi suami lo ya?" tanya Hana saat kami sedang menunggu lift.

"Supir gue." jawab gue asal.

"Yee... Mana ada supir nyium majikan, ganteng pula. Kalau ada mah gue juga mau."

Gue tergelak mendengar nada betenya, "Makanya cari suami Han." ejek gue yang bikin dia misuh-misuh sendiri.

Setelahnya lift yang kami naiki sudah sampai di lantai sepuluh, ruangan gue terletak di ujung lorong sayap kanan, sedang hana di arah berlawanan sehingga kami berpisah setelah keluar lift. Pekerjaan gue sangat banyak hari ini, laporan keuangan bulanan harus gue cek lagi sebelum pertemuan dengan pihak Bank Indonesia nanti siang.

Sejak gue kerja di sini Arga selalalu mengantar jemput gue, sudah berkali-kali gue meminta izin menggunakan kendaraan masing-masing tapi dia keras sekali melarang. Gue harus mengalah karena dia selalu bawa-bawa status istri, padahal akan lebih efisien kalau kami berangkat masing-masing.

Otot-otot gue terasa kaku, terlalu lama duduk di depan laptop. Sudah hampir jam makan siang, berarti gue sudah menghabiskan hampir empat jam berkutat dengan laporan yang tidak ada habisnya. Masih banyak yang harus direvisi karyawan gue, mungkin di sini mereka tidak ditatar dengan keras sebelum bekerja berbeda dengan di sana.

Rasa lelah gue serasa menguap saat gue melihat bingkai foto di atas meja, foto keluarga kecil gue, Raka, Dion Elvan, Arga dan gue sendiri. Foto yang kita ambil tiga hari setelah hari pernikahan karena Dion yang harus segera kembali ke London. Gue rindu sekali dengan Dion, walaupun dia selalu menyempatkan memberi kabar tetap saja rasanya ada yang kurang dalam hidup gue.

Ketukan pintu menghentikan lamunan gue tentang Dion, apa itu Ranta -sekretaris gue- lagi yang mengetuk? Apa masih ada berkas lainnya yang harus gue cek? Gue mendesah pelan, rasanya lelah sekali. "Masuk."

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang