41. Sorry

635 101 7
                                    

"Sayang."

Arga terus mengikuti gerak-gerik gue yang sedang menyiapkan sarapan, raut frustasi terpampang jelas di wajahnya namun sayangnya gue sama sekali tidak tergerak untuk membuka mulut. Perasaan gue masih tidak karuan, entah karena gue tidak suka dibohongi atau karena gue terlalu sensitif yang jelas gue tidak berminat meladeninya.

Dia membalik paksa badan gue menghadapnya, gue miliriknya sebentar tapi saat dia mau membuka suara gue menepis tangannya kembali membalikkan menghadap penggorengan.

"Dila-"

"Mending kamu liat Elvan, aku lagi masak." ucap gue memotong pembicaraan.

Helaan nafas panjang terdengar dari bibirnya, dia mendekat kemudian mengecup pipi gue. "Kita ngomong lagi nanti." gue tidak menjawab bahkan sampai dia menaiki tangga gue masih diam.

Elvan turun bersama Arga yang menggendongnya, obrolan ringan khas ayah-anak terdengar oleh gue. Itu cukup membuat gue berpikir panjang tentang penikahan ini, gue ragu dengan Arga. Yang membuat hati gue perih, bukan hanya bau alkohol tapi parfum wanita. Ngga kan? Arga tidak akan melakukan hal seperti itu di belakang gue.

Memang sakit dan itu salah gue karena harusnya dari awal sampai kapanpun gue tidak menggantungkan harapan terlalu tinggi pada dia.

"Mom..." panggil Elvan yang sudah turun dari gendongan Arga dan duduk di kursi. Gue mendekat setelah selesai menata makanan, dia mencium bibir gue sekilas seperti biasanya kalau dia sudah rapi untuk ke sekolah.

Elvan menelengkan kepala menatap Arga sebal, "Kok hari ini daddy ga cium momy?" mom ga mau dicium daddy sayang batin gue menjawab. Memang sudah kebiasaan jika kami baru berkumpul di pagi hari, Arga akan mencium gue tapi kali ini tidak dan gue juga tidak mau. Dia seperti sungkan karena sejak tadi gue terang-terangan tidak mau bicara dengannya.

Dia mendekati gue tapi masih enggan gue tatap, tidak lama Arga menarik dagu gue mencium gue lembut, sangat lembut. Gue hampir saja lupa diri jika tidak ingat di sini ada Elvan. Gue menjauhkan wajah kemudian menunduk. Sial mata gue panas. Buru-buru gue memalingkan wajah dan berjalan ke konter dapur mengambil sepiring telur gulung pesanan Elvan.

Arga terus memperhatikan gue yang sedang menyendokkan nasi goreng untuknya, saat gue meletakkan piring di hadapan Arga dia menarik tangan gue dan mengecup punggung tangan gue. Rasa sesak di dada gue semakin menjadi, sebisa mungkin gue tahan karena Elvan masih di sini. Tidak etis jika gue menunjukkan kalau gue punya masalah di depan anak gue.

"Makan yang banyak sayang." kata gue setelah menaruh masi goreng di hadapannya dan mengecup pipi gembulnya gemas.

Selama makan, kami hanya mendengarkan ocehan Elvan tentang sekolahnya dan beberapa anak perempuan yang memberikannya coklat dan sebagainya. Gue sudah tau kemarin, tanpa sengaja gue menemukan beberapa batang coklat yang entah dari siapa dan Elvan menjelaskan. Anak zaman sekarang terlalu cepat dewasanya bahkan seumuran Elvan saja sudah berani menunjukkan rasa sukanya.

***

Suasana hening menyelimuti pajero milik Arga setelah kami mengantarkan Elvan, biasanya akan ada saja yang kami bahas baik masalah kantor ataupun Elvan. Tapi hari ini gue tidak dalam keadaan baik untuk membuka pembicaran. Gue sedang mudah terpancing, bagaimanapun Arga suami gue dan gue tidak boleh membentaknya.

Arga menghentikan mobil jauh dari lobby, gue bingung tapi tidak bertanya apapun sampai dia memiringkan badan menghadap gue. Dia tampak menimbang apa yang akan dikatakannya sedang gue masih menatap jendela yang memantulkan bayangan Arga menatap gue.

"Sayang, aku minta maaf. Aku... Bohongin kamu."

Tangan gue menghangat ketika Arga menggenggamnya, entah kenapa gue ingin menangis. Gue tidak suka dibohongi tapi biasanya tidak sampai sesensitif ini. Tanpa gue sadari gue menggigit bibir bawah gue cukup kuat menahan bendungan air mata yang mendesak keluar.

"Aku lagi banyak pikiran dan butuh pelampiasan."

Gue menoleh menatap Arga, dia kelihatan kaget melihat mata gue berkaca-kaca. "Sayang jangan nangis, aku minta maaf." lirihnya sambil menyeka air mata gue.

"Arga, aku ini apa buat kamu?" tanya gue dengan suara parau.

"Kamu istri aku, ibu dari anakku."

"Istri? Apa menurut kamu istri hanya untuk teman di ranjang dan membesarkan anak kamu?" Arga terdiam membuat gue menghela napas pendek akibat tangisan. "Kalau aku memang istri kamu, harusnya kamu berbagi kalau ada masalah. Kamu seperti ga percaya sama aku Ga."

"Bukan gitu sayang, maaf aku ga bermaksud seperti itu. Aku percaya sama kamu."

Gue menggeleng tidak percaya dengan ucapannya, dengan cepat Arga menangkup wajah gue agar menatapnya. "Sayang, aku akan berusaha lebih terbuka sama kamu. Please aku ga sanggup kamu diamin terus." lirihnya.

"Don't you ever broke my trust anymore Arga. Can you promise me?"

Dia mengangguk sembari tersenyum, "A kiss?" pintanya yang gue angguki. Arga mengecup bibir gue tiga kali sebelum benar-benar menyatukan bibir kami, menggerakkannya dengan lembut. Gue pun tidak ragu membalas.

Satu hal yang gue sadari setelah berbulan-bulan pernikahan kami, perasaan yang tidak gue harapkan semakin membesar dalam diri gue.

Ada rasa takut yang ikut membesar sebesar perasaan yang gue berikan dan percayakan pada Arga, takut akan dikecewakan dan takut menjadi yang tersakiti lagi. Gue cukup peka untuk menyadari hatinya belum sepenuhnya untuk gue. Atau mungkin memang tidak untuk gue.

Ketakutan akan perasaan Arga yang hanya sebatas tanggung jawab dan rasa kasihan masih sering menghantui. Ragu menjadi semakin membenamkan keyakinan gue untuk memberi taukan berita kehamilan gue yang sebenarnya ingin gue sampaikan tadi malam. Mungkin nanti, jika keadaan kami sudah semakin membaik. Semoga Arga tidak mengecewakan gue, ya, semoga.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang