Selama tiga bulan ini, Arga menjadi sosok yang sangat perhatian dan manis dan gue pun mulai mencoba mempercayai dia karena apapun yang terjadi gue akan tetap menjadi istrinya sesuai dengan janji kami di hadapan Tuhan. Perasaan akan rumah tangga yang hambar perlahan terkikis, gue mulai mencoba terbuka dengan Arga walaupun tidak semua hal yang gue ceritakan tapi hampir sebagian besar Arga sudah tau.
Hubungan gue dan Raka juga masih dekat seperti biasa, Arga tidak memberikan batasan untuk itu. Dia mengerti gue tidak bisa jauh dari Raka dan selama ini gue menggantungkan hidup gue pada Raka. Bahkan Arga memberikan kepercayaan penuh pada Raka sehingga dia bebas mengakses rumah kami dengan kunci cadangan, menginap pun tidak perlu izin.
Gue terperanjat saat tiba-tiba lengan kokoh melingkar di pinggang gue, "Masak apa?" bisik Arga yang membuat gue merinding geli karena hembusan napasnya.
"Omurice, Elvan pengen katanya."
"Daddynya ga ditanya mau apa?"
"Oh iya, daddy mau apa?"
"I want you hun." bisiknya.
Gue memukul tangannya kesal, otak mesumnya semakin ga bisa kekontrol aja setelah kami menikah. Gue ngoceh lagi menyuarakan kekesalan gue karena otak kotornya itu, dia malah ketawa-tawa dengan omelan gue.
"Kamu dari pada ngerecokin aku mending panggil Elvan sarapan."
"Kan ada Raka ntar juga turun." gue menatap tajam. "Oke oke, aku panggil. RAKA ELVAN SARAPAN!"
"Iya bentar!" sahut Raka dari lantai atas.
Kebiasaan malesnya dia, untung gue ga budeg. "Aku mintanya kamu ke atas malah teriak, duh dengung kan." gue mengusap telinga gue yang memang berdengung akibat teriakan menggelegarnya tadi.
"Maaf sayang." dia cengengesan. Selanjutnya yang dia lakukan membuat gue menahan napas, dia meniup telinga gue mengecupnya berkali-kali.
"Ehem... Ada anak di bawah umur di sini."
"Ck! Ganggu aja lo bro." dia melepaskan tangannya dari gue kemudian mengecup pipi Elvan sebelum mendudukkannya di kursi.
Raka terkekeh mendengar protes Arga, "Sukur ada gue, kalau ga ternoda tu mata anak lo." timpalnya bercanda.
"Elvan suka daddy deket-deket momy." ujar Elvan.
"Bukannya Elvan marah ya daddy deket-deket mommy?" kata gue sambil menata makanan di atas meja.
Elvan menggeleng, "Daddy bilang kalau mau punya dedek, Elvan harus suka daddy deket mommy."
"Mmppffftt." Raka menahan tawa.
"Arga kamu ajarin apa ke anak aku!"
***
Gue membuka sabuk pengaman begitu sampai di depan kantor kemudian menyalami Arga. "Aku nanti lembur, Raka yang jemput kamu." kata Arga yang gue iyakan.
"Jangan lupa makan, jangan kebanyakan minum kopi juga." ujar gue mengingatkan, dia mengangguk lalu menangkup wajah gue lantas mengecup bibir gue kemudian tersenyum lebar memeluk gue.
"Aku sayang kamu."
Tangan gue terulur membalas pelukannya, jantung gue berdetak ga karuan mendengar ungkapannya. Kali ini Arga terdengar begitu tulus, membuat gue hampir menangis haru, "Aku juga." dia melerai pelukan kami kemudian mengecup kening gue sebelum gue keluar mobil.
Fokus gue benar-benar kacau beberapa hari ini, karena mual hebat yang melanda setiap pagi badan gue terasa kurang sehat membuat mood bekerja gue turun drastis.
"Na, ada lagi jadwal saya hari ini?"
"Tidak bu, rapat gabungan tadi yang terakhir."
"Saya izin pulang cepat."
Setelah berpamitan dengan sekretaris gue, gue pulang menggunakan taksi dan juga mengabari Raka supaya tidak menjemput gue.
Sesampainya di rumah gue hanya berkurung dalam kamar, kepala gue pusing. Cuma perlu waktu sebentar gue sudah terlelap dengan segala kegelisahan di dada. Sampai gue merasakan pipi dikecup membuat gue membuka mata.
"Mommy." Elvan berhambur dalam pelukan gue kemudian mengecup bibir gue. Gue tersenyum, Elvan selalu bisa membuat gue lebih baik.
"Hi queen."
Raka ikut masuk mengacak rambut gue, "Tumben pulang cepet."
"Loh kok lo ga langsung balik kantor?"
"Diusir nih?" gue tergelak melihat Raka cemberut.
"Ngga gitu, emang lo lagi ga sibuk?" tanya gue. Gue membiarkan Elvan keluar kamar menuju tempat mainnya, mungkin bajunya tadi digantikan oleh mbak Ratih atau Raka.
"Ngga, udah kelar semua. Lagian kesayangan gue kayaknya lagi ga enak badan."
Dia menarik gue ke dalam pelukannya, gue kangen pelukan Raka. Hangat dan nyaman, wangi khas maskulinnya selalu menyenangkan di hidung gue.
"Lo kenapa?"
"Gue juga ga tau Ka, dari tadi perut gue kayak diaduk-aduk."
"Mual?"
Gue mengangguk lemah, kepala gue masih pusing padahal gue rasa sudah cukup istirahat tadi. "Kok bisa?" Tanyanya lagi.
"Ngga tau, ngerasa ada yang aneh aja ga tau apa."
"Mungkin lo ada telat makan, mending lo istirahat muka lo pucet banget."
"Kayaknya, tapi beberapa hari ini gue lemes terus suka pusing."
"Arga ga minta jatah tiap malem kan?" Tanya Raka terkekeh geli. Gue langsung memukul dia, mulutnya terlalu vulgar.
"Gila lo, ga bisa kerja gue ntar." Raka tergelak.
"Terus apa lagi yang lo rasain?"
"Selera makan gue turun, tapi sekarang gue pengen bengkuang."
Raka langsung menjauhkan badan dari gue kemudian menatap gue dari atas ke bawah. "Dil lo lagi hamil?" pertanyaan Raka sukses membuat gue berpikir gejalanya memang mirip seperti saat gue hamil Elvan, ditambah gue yang tidak suka bengkuang malah pengen makan itu. Gue menggeleng menandakan gue tidak tau.
"Udah datang bulan lo? Harusnya siklus lo minggu lalu."
Apa gue hamil? Gue memang belum datang bulan padahal harusnya memang minggu lalu seperti yang Raka bilang. "Belum Ka." dia menghembuskan nafas panjang. Sebelum memberikan titah mutlak untuk gue.
"Kita ke dokter sekarang."
***
Aku salah ngepublish kmrn😅 malah yg part 40, 39nya blman wahahah.. Baca ini dulu br yg 40 ya😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
General FictionWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders