42. You have Me

561 103 8
                                    

Satu alis gue terangkat saat menatap HR-V putih yang sudah terparkir rapi di depan rumah kami, pagi ini sungguh mengejutkan sampai-sampai gue mengecek suhu tubuh suami gue berkali-kali. Mimpi ada gue dia membelikan mobil dan memperbolehkan kami berangkat terpisah. Padahal saat baru menikah dia manusia paling cerewet saat gue menginginkan kendaraan sendiri.

"You like it?" katanya setelah berhasil memeluk pinggang gue dari belakang.

"Ofcourse, tapi kamu yakin?"

Dia mencium pipi kanan gue kilat, "Ya, aku rasa aku terlalu mengekang kamu. You need time with your friends too. Itu ga akan bisa kalau aku antar-jemput terus."

Apa yang dikatakan Arga memang ada benarnya, selama tiga bulan lebih pernikahan kami dan masa kerja gue di kantor baru tidak sekalipun gue mengikuti acara makan kantor di luar jam kerja karena terikat dengan jam pulang Arga dan juga tidak punya kendaraan sendiri.

Sebenarnya itu bukan masalah lagi untuk gue, toh gue malah semakin merasa diperhatikan olehnya. Yah, apa boleh buat kalau Arga sudah memutuskan untuk menggunakan kendaraan sendiri. Dia sering terlambat karena harus mengantarkan gue terlebih dahulu. Walaupun dia pimpinan bukan berarti dia boleh seenaknya, dia harus menjadi contoh untuk karyawannya.

Meski selain alasan itu dalam pikiran jahat gue memikirkan hal buruk cepat-cepat gue tepis, tidak baik berperasangka burip pada suami sendiri. Bisa saja dia hanya berusaha membuat gue senang dengan memenuhi keinginan gue beberapa bulan lalu.

"Thanks Arga." kata gue sambil mengecup bibirnya sekilas.

Dia ikut mengecup bibir gue, "Anythink for you hun."

"Wih momy punya mobil baru, nanti kita bisa jalan-jalan bedua lagi ya mom?"

"Bisa sayang." balas gue mengecup pipinya gemas.

"Eh, kok berdua? Daddy ga diajak?" protes Arga.

"Ngga, habis daddy boong."

Alis Arga terangkat bingung, "Kapan daddy bohongin Elvan?" tanyanya sambil menggendong Elvan yang sudah memasang mode merajuknya.

"Daddy bilang kalau daddy deket-deket mommy bisa cepet dapet dedek bayi. Buktinya dedek Epan belum ada tuh." gue dan Arga spontan tertawa keras.

Gue mendeham menetralkan tawa gue yang hampir meledak lagi, "Sayang, kalau mau dedek itu harus nunggu dulu sembilan bulan." jelas gue.

"Lama ya mom?" Tanyanya cemberut.

"Sabar ya."

Elvan mengangguk beserta senyum yang terkembang lebar di wajahnya. Tak lama Elvan memaksa turun hendak meminum susunya yang mungkin sudah mulai dingin di meja makan, meninggalkan gue dan Arga yang menatap Elvan dari teras rumah.

Arga menggenggam tangan gue, "Kamu udah hamil yang?" gue bergeming. Rasanya ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahukan Arga, gue harus memastikan sesuatu terlebih dahulu.

"Kepo kamu." Jawab gue sambil berlalu, dia dengan sigap mengikuti langkah gue.

"Kok kepo sih? Aku suami kamu sayang, dan berhak tau kalau kamu memang hamil."

"Supaya Elvan ga ngambek aja." kata gue asal, Arga hanya menangangguk namun ekspresi yang dia berikan sangat mengganggu gue. Dia terlihat lega dengan jawaban gue, apa dia tidak menginginkan anak ini? Atau hanya perasaan gue saja? Gue sedikit kecewa hanya dengan memikirkannya.

***

Raka tampak berkedip beberapa kali saat dia menjemput gue untuk makan siang bersama geng bitchy lainnya. Berulang kali dia menatap mobil putih yang terparkir di samping range rovernya dan gue secara bergantian.

"Sejak kapan Arga ngizinin lo?" tanyanya bingung.

"Sejak kemarin, dia yang beliin malah."

Kening Raka menampakkan kerutannya namun tubuhnya tetap bergerak membukakan pintu bangku penumpang mobilnya untuk gue, mungkin dia sama bingungnya dengan perubahan Arga baru-baru ini yang seperti memberikan gue jalan untuk menjalani kehidupan gue sendiri.

Ada baiknya gue menghilangkan pikiran buruk tapi tidak terlalu cuek juga, mungkin sesuatu terjadi dan Arga belum siap menceritakannya pada gue.

Raka mengintrogasi gue selama perjalanan, tidak ada satupun yang gue sembunyikan termasuk pertengkaran kami karena Arga mabuk waktu itu. Sahabat gue itu hanya diam mendengar cerita gue tanpa menimpali dan tampak memikirkan sesuatu. Entah apa, yang gue tau Raka selalu berusaha melindungi gue selama ini.

Makan siang dengan genk ga berfaedah kesayangan gue cukup membantu meringankan pikiran gue yang beberapa hari ini digeluti pikiran negatif. Awalnya mereka sempat menanyakan keadaan gue yang terlihat sedikit lebih kurus dibanding bulan lalu. Tapi tidak lama mereka mengalihkan pembicaraan setelah menyadari gue tidak ingin membahasnya.

Meskipun kami sama-sama disibukkan dengan kehidupan masing-masing, kami masih menyempatkan waktu setidaknya sebulan sekali untuk berkumpul walaupun kadang tidak lama. Seperti saat ini, kami hanya berkumpul satu jam karena jadwal yang padat. Tidak apa itu terasa cukup karena kami tidak renggang sama sekali.

Diperjalanan kembali ke kantor gue, Raka masih banyak diam. Meskipun kami sangat dekat dalam beberapa tahu terakhir ini, dia tetap saja laki-laki paling sulit ditebak pikirannya. Sampai gue tidak tahan dengan keheningan, gue memutuskan bertanya.

"Ada masalah Ka? Kok diem aja sih?"

Dia masih diam, terlihat melamun membuat gue jengah sendiri.

"Raka." panggil gue seraya menyentuh lengannya. Dia tersentak kaget, "Oh iya apa Dil?" sebelah alis gue terangkat mendengar Raka tergugup. Gue yakin ada yang dia sembunyikan, tapi apa gue tidak tahu. Setelahnya gue tidak bertanya apa-apa lagi, malah dia yang sibuk bertanya gue sudah minum susu dan vitamin atau belum dan gue jawab seadanya.

Begitu sampai di lobby gue akan turun sebelum dia menahan gue, "Dil, apapun yang terjadi jangan lupa lo masih punya gue. Kalo ada apa-apa lo bisa cerita ke gue, oke?" imbuhnyabyang membuat gue semakin tenggelam dalam kebingungan gue tapi gue tetap mengangguk, dia tersenyum mengacak rambut gue pelan sebelum gue keluar. Tanpa dia sadari gue membalikkan badan setelah mencapai pintu lobby. Gue melihat dia mengusap wajahnya kasar lalu memukul stir, benar dugaan gue kalau ada sesuatu yang dia sembunyikan.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang