15. Man from The Past

753 127 4
                                    

Gue setengah berlari dan hampir menabrak beberapa orang yang memadati tempat tujuan gue, kepala gue menoleh kesana-kemari mencari orang yang sudah gue tunggu kedatangannya.

"Dil!" Gue membalikkan badan melihat orang yang berteriak memanggil nama gue, seketika itu semyum gue terkembang dengan lebarnya. Gue berjalan kearahnya lalu memelukknya.

"Lama nunggu ya mas? Maaf tadi kerjaan numpuk banget." Ucap gue masih memeluk dia.

"Ga apa, tadinya mau nyuruh kamu jemput Elvan dulu malahan."

Gue nelepas pelukan, tersenyum menatap Dion. "Tadi aku udah nelfon gurunya minta tolong jagain dulu."

"Ya udah, yuk ntar dia kelamaan nunggu."

Dion menggenggam tangan gue dengan tangan sebelahnya menggeret koper berukuran sedang membawa gue ke tempat parkir.

"Raka nginep kan selama aku pergi?" tanyanya setelah mulai melajukan mobil.

"Iya, ntar malem dia masih nginep. Mau ngobrol sama mas katanya."

"Mas yang nyuruh, udah lama ga ketemu." jelasnya, "Elvan gimana? Lupa pasti sama aku kalau udah ada Raka." tanyanya setengah merajuk

"Ngga kok mas, Raka aja yang jago bujukinnya."

"Sama kayak momynya ya, lebih mempan bujukan Raka." timpalnya yang membuat gue tertawa tapi tidak menyanggah karena pada kenyataannya memang benar seperti itu.

Gue mendehem menghentikan tawa, "Oleh-oleh mana mas?" tanya gue sambil mengadahkan tangan ke arahnya.

Dion melirik gue sinis lalu kembali fokus pada kemudinya, "Dih diem, ga beli apa-apa pasti nih." kesal gue.

"Ngapain? Pada ngelupain mas ini."

Ternyata dia ngambek karena kita jarang ngabarin, padahal itu karena gue yang menang terlalu banyak pekerjaan belakangan ini. Untung ada Raka yang membantu menjaga Elvan dan siap menjadi supir pribadi dadakannya.

"Ih males, kan udah bilang aku lagi sibuk makanya jarang ngabarin."

"Lah kok malah kamu yang ngambek sih?"

"Bodo ah bete."

Dion mendecih lalu menarik pipi gue pelan, "Aku beliin kamu jaket adidas keluaran terbaru di sana."

Mata gue berbinar seketika, gue paling suka yang gratisan begini. Apalagi pilihan Dion, dia punya selera yang tinggi jadi pasti pilihannya tidak pernah sembarangan.

"Bener mas?" tanya gue excited. Dia menjawabnya dengan anggukan singkat tetap fokus pada jalan. "Aaaa... Aku sayang mas." kata gue memeluk lengannya.

"Ck! Kalau ada maunya aja sayang." sungutnya, gue hanya nyengir lebar.

Mobil yang kita tumpangi memasuki area sekolah Elvan, dia belum benar-benar sekolah baru playgroup karena dia bilang bosan hanya mengikuti gue, Dion atau Raka bekerja. Jadi kita sepakan menyekolahkannya, hitung-hitung dia dapat ilmu dan juga teman baru.

"Kamu duluan aja masuk, aku angkat telfon sebentar." ucap Dion, gue tidak bertanya karena biasanya di jam seperti ini dia masih sibuk dengan urusan pekerjaannya dan gue tebak tadi itu masih berhubungan dengan pekerjaan. Gue melangkahkan kaki menuju taman bermain yang biasa di jadikan tempat Elvan menunggu.

Dari kejauhan gue sudah melihat Elvan yang sedang duduk di ayunan dengan seorang laki-laki yang gue tidak tau siapa karena posisinya membelakangi gue menghadap Elvan.

"Elvan." panggil gue, dia langsung melihat gue dan dengan cepat berlari ke arah gue.

"Momy!" Elvan berhambur kepelukan gue, gue langsung menggendongnya yang masih memeluk leher gue. Mata gue beralih penasaran pada orang yang menemani Elvan bermain, tidak biasanya ada yang datang kesini jika tidak mengantar atau menjemput murid disini.

Seketika kaki gue melemas, jantung gue berdegub kencang hingga nafas gue hampir tidak beraturan, mata gue melebar melihat siapa yang sedang menatap gue dengan sama kagetnya. Gue menggenggam tangan gue hingga buku-bukunya memutih memulihkan kesadaran gue agar tidak gentar.

"Mom?" suara Elvan menyadarkan gue.

"I-iya sayang?"

"I meet Indonesian, namanya om Alga." katanya dengan girang, "Itu orangnya mom." lanjutnya sambil menunjuk laki-laki yang masih mematung di dekat ayunan.

"Halo jagoan."

"Papiiiii!!!!" pekiknya, Dion segera mengambil Elvan dari gendongan gue.

"Miss you mine."

"Miss you too papi."

"Dil? Kamu kenapa?" tanyanya, gue tetap tidak bergeming lalu menundukkan kepala.

"Eh A-arga?" gue dapat mendengar suara Dion yang sepertinya juga kaget tapi gue tidak dapat melihat ekspresinya karena gue masih menunduk dalam.

"Hai bang, lama ga ketemu." suaranya semakin mendekat membuat gue semakin membeku di tempat, "Hai Dil, apa kabar?" katakan gue salah dengar, tapi dia terdengar sedih saat menanyai gue.

Dengan segenap kekuatan yang gue punya, gue memberanikan diri melihatnya dan memberikan senyuman tipis. "Baik, apa kabar Ga?" tanya gue balik. Dia tidak menjawab dan hanya memberikan senyum yang terlihat dipaksakan.

"Papi sama momy kenal om Alga ya?" gue menjawabnya dengan anggukan.

"Papi, tadi om Alga yang nemenin Epan main loh. Om Alga tell me so many think about Indonesia. Lain kali Epan juga mau kesana pi." katanya yang masih memeluk leher Dion di gendongan Dion.

"Lain kali ya sayang, kalau momy juga ga sibuk." ucap Dion santai, gue hanya tersenyum kaku.

"Elvan lucu ya bang, pinter banget ga nangis padahal tinggal dia sendiri yang nunggu."

"Iya, dia pengertian juga. Soalnya Dila emang udah sibuk dari dia masih kecil banget."

Gue tidak banyak bicara, pikiran dan hati gue masih sibuk berperang di dalam sana. Pertanyaan Raka tempo hari menjadi kenyataan, Arga muncul di hadapan gue dan Elvan.

Dion melirik ke arah gue yang masih memasang mode silent, sepertinya dia tau kegelisahan gue dan perasaan gue yang campur aduk.

"Ga, kita balik duluan ya. Lain kali ngobrol lagi, udah sore kasian Elvan." alasannya.

"Iya bang, hati-hati."

Dion sudah mendahului gue membalikkan badan dan berjalan keluar dari taman, gue baru akan membalikkan badan saat mendengar bisikan yang membuat pompaan jantung gue semakin cepat.

"Nice to meet you, Dila." bisiknya.

Sesampainya di rumah gue masih enggan membuka suara, gue sudah meminta Raka memandikan Elvan langsung masuk ke dalam kamar. Gue kacau setelah bertemu dia lagi, gue masih belum siap bertemu dia lagi walaupun ini sudah lima tahun lamanya gue bersembunyi dari dia. Kenangan yang sudah lama gue kubur muncul lagi kepermukaan hanya dengan sekali pertemuan singkat dengannya.

Gue menengok sedikit dari cermin meja rias saat mendengar kamar gue dikunci dari dalam. "Are you okay?" tanyanya. Gue menggeleng lemah lalu kembali menunduk, air mata gue hampir jatuh hanya dengan satu pertanyaan yang terlontar dari Raka.

Dia menarik gue untuk pindah duduk di atas kasur, gue dapat merasakan tatapannya yang dalam dan menuntut. Gue tebak, Dion pasti sudah menceritakan semuanya pada Raka dan gue rasa Raka sebenarnya juga sudah tau Arga ada di sini mengingat pertanyaannya waktu itu.

"Ini maksud pertanyaan lo waktu itu?" tanya gue to the point.

"Maaf, gue ga bilang secara gamblang ke lo. Gue takut lo belum siap."

"Kapan lo ketemu dia?" Gue menatap Raka meminta penjelasan.

"Waktu gue jemput Elvan, gue ga sengaja liat dia tapi kayaknya dia ga liat gue."

Raka menghela napasnya berat menatap gue dalam, tidak membiarkan gue mengalihkan pandangan sedikitpun. "Dila, listen. Mau sampai kapan lo bersembunyi kayak gini, dia punya hak untuk tau keadaan lo."

"He is not, Raka." Tegas gue sedikit emosi.

Dia menggeleng tidak setuju, "Tell him everythink, dia berhak!" Kali ini gue tau Raka tidak ingin dibantah.

"If you wouldn't, then I will do it for you."

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang