34. First Night

852 113 3
                                    

Warn! Mature Content! Kemungkinan akan di privat!

"Kamu mau mandi duluan?"

"Iya, aku gerah banget pake kebaya."

Arga mengangguk mengalah, dia duduk di atas sofa hotel yang papanya sengaja sewa untuk kami. Sebenarnya menurut gue tidak usah, gue lebih memilih tidur bertiga sama Elvan dibanding buang-buang uang menginap di hotel berbintang ini.

Acara pernihakan gue dengan Arga beru selesai beberapa jam yang lalu, semua berjalan lacar dan banyak kerabat yang datang serta beberapa kolega bisnis Arga dan om Hermawan. Yang tidak lancar hanya restu sari tante Rasti yang sudah pasti jadi orang pertama yang menentang pernihakan kami. Selama pesta berlangsung gue sama sekali tidak melihat kehadiran Windy, wajar saja mengingat gue merebut miliknya tapi rasa bersalah gue malah semakin besar.

Badan gue terlalu capek dan rasanya remuk sehingga gue segera berbaring setelah membersihkan diri dan memakai piyama lengan panjang yang sudah gue siapkan. Mata gue berat banget, bahkan gue sudah tidak perduli lagi dengan apa yang Arga lakukan setelah gue memberikan pakaian ganti.

Pikiran gue masih sama seperti sebelumnya, ini buat Elvan jadi ga ada yang spesial buat gue. Hanya status saja yang berubah, gue sudah menjadi istri Arga Fernando. Hati Arga masih sama dan gue tau. Senyumnya selama acara tadi tidak menunjukkan kalau dia bahagia, dia malah terlihat tertekan di mata gue.

Entahlah gue terlalu lelah untuk berpikir sekarang, sebaiknya gue tidur memulihkan tenaga.

Tidak tau berapa lama gue tertidur, gue merasakan pergerakan risih di samping gue hingga gue terbangun. Gue membuka ponsel mengecek jam, sudah jam dua pagi berarti gue sudah tidur kurang lebih lima jam. Gue menoleh melihat Arga yang sepertinya tidak tenang.

"Kamu kenapa? Ga bisa tidur?" tanya gue.

Dia sepertinya kaget gue terbangun, dia malah mengalihkan pandangan dari gue yang membuat gue heran sendiri.

"Kamu kenapa sih Ga?" tanya gue sekali lagi.

"Ng-ngga kok, udah kamu tidur lagi aja." gue tidak menuruti kemauannya, memiringkan posisi supaya bisa melihat dia lebih jelas dan mencari tau ada apa dengannya.

Tangan gue bergerak menyeka buliran keringat di dahinya, kenapa dia keringatan? Gue saja merasa dingin karena pendingin ruangan yang gue stel di angka dua puluh dua. Dia menggenggam tangan gue yang menyentuh dahinya.

"Dila please, balik tidur lagi." titahnya dengan rahang mengeras.

Nafasnya memburu, gue sadar karena dadanya naik turun ga beraturan. Gue masih saja menatapnya sampai dia menggeram kesal, "Ah! Sial!" dia langsung memunggungi gue.

"Arga, kamu kenapa sih? Aku khawatir kamu kayak gini." tanya gue setengah kesal.

"Kayaknya papa naruh perangsang di kopi aku tadi! Udah kan?! Sekarang kamu tidur!" titahnya tegas.

Gue melongo dengar jawabannya tadi, teganya om- ah papa ngasih itu ke dia. Pasti nyeri banget, gue tau karena dulu Dani pernah melakukan hal yang sama membuat gue terkurung di atas ranjang sama dia seharian. Dia cerita sendiri gimana rasanya gara-gara dikasih obat itu.

Apa gue harus nuntasin hasratnya?
Gue ragu. Tapi gue istrinya yang harusnya melayani dia kan? Bukan soal cinta tapi kewajiban. Gue dosa kalau membiarkan dia tersiksa gini. Ragu-ragu gue menyentuh lengannya menarik dia menghadap gue, gue agak takut karena sudah sangat lama tidak melakukan hal seperti ini.

"Tuntasin aja." ucap gue berbisik.

"Apa?" tanyanya dingin.

"Nyeri kan? Kamu boleh tuntasin sama aku, bagaimanapun itu kewajiban aku."

Ekspresi dia ga bisa gue baca, yang jelas gue tahu dia sudah diselimuti hasrat, "Kamu serius." tanyanya dengan nafas terengah. Gue menelan saliva susah payah sebelum akhirnya mengangguk.

Dia beneran udah nafsu, langsung aja dia membekap bibir gue dengan miliknya mencium gue tapi dia masih menahan diri. Ciumannya lembut dan hati-hati, gue tidak ragu untuk membalas. Gue sadar dia tersiksa nahannya karena nafas dia tersengal-sengal di tengah ciuman kami. Gue mangangkup wajahnya menjauhkan sedikit dari gue.

"Ga usah ditahan, kamu yang kesiksa." kata gue.

"Kamu istriku, aku ga mau nyakitin kamu."

Pipi gue bersemu merah mendengar ucapan sederhananya tapi manis di telinga gue, dia menyampirkan rambut gue di belakang telinga. "Aku tau maksud kamu, tapi semua udah beda dengan dulu. Kamu bukan pemuasku, tapi pendampingku." dia mengecup kening gue dalam dan lama. Kemudian membalikkan posisi menindih gue.

"Boleh?" tanyanya. Gue mengangguk mengiyakan, dia melumat bibir gue lagi pelan, lembut dan hati-hati. Lama-lama dia mencium rahang gue lalu beralih ke leher, melumat dan mengecup tanpa bekas.

"Kissmark?" tanyanya meminta izin.
"Do it." balas gue.

Dia menghisap kuat, menjilat dan menggigit leher gue menimbulkan erangan gue yang tidak bisa dicegah lagi. Dia menuntun tangan gue untuk melepas kancing piyamanya yang sama dengan yang gue gunakan. Perlahan gue membuka satu persatu kancingnya hingga menampakkan perut sixpacknya yang dulu belum ada, tanpa sadar gue menyentuhnya kagum akan bentuk tubuhnya sekarang.

Arga mengusap pipi gue dengan ibu jarinya sembari tersenyum, "Kamu suka?" gue paham maksud pertanyaan dia mengarah kemana. Malu-malu gue mangangguk lemah, dia mendekat ke arah gue. "Itu milik kamu." bisiknya tepat di telinga gue.

Rona wajah gue semakin tidak bisa dihindari, dari mana dia belajar kata-kata manis dan perlakuan seperti ini? Tapi gue tidak munafik kalau gue suka perlakuannya. Dia melakukan hal yang sama dengan gue, melepas kancing piyama yang gue gunakan. Arga mengelus dada gue memperhatikannya lamat-lamat.

"Kamu ngasih ASI ke Elvan?" tanyanya.

Gue terkekeh mendengar pertanyaan anehnya, "Iyalah sampe dua tahun malah, ASI kan lebih sehat. Emang kenapa?" tanya gue balik.

Wajahnya mendekat mengecup dada gue berkali-kali, "Pantes makin gede." sontak gue memukul lengannya, gue malu banget dengan pembicaraan seintim ini. Dia malah ketawa melihat kekesalan gue.

"Aahhh Arga!" gue kaget saat dia menggigit gemas puncak payudara gue. Arga terkekeh lagi. Sialan lagi hasrat tinggi aja dia masih sempet godain gue!

Gue menggigit bibir merasakan lidah dan bibir Arga menyapu permukaan kulit dada gue, nafas gue mulai memburu ga karuan sampai dada gue naik turun.

"Desah aja, kenapa ditahan? Dulu aja desah sampe ga tau tempat." gue kesel banget dia ngingatin gue waktu dia memaksa foreplay di dalam mobil, untung ga digrebek kita berdua.

"Loh? Marah ya?" tanyanya ga tau diri.

"Ga tau ah, males." dia malah ketawa kemudian mengecup bibir gue.

"Aku cuma mau bikin kamu rileks. Aku mau nanya." tanyanya tepat di leher gue saat dia masih sibuk membuat tanda di sana. Arga memposisikan dirinya lagi di depan gue.

"Pernah sama yang lain?"

Pertanyaannya sukses membuat gue bete, dia pikir gue cewe apaan gampang banget dipakenya. "Lima tahun lalu yang terakhir." mata Arga membulat menatap gue tidak percaya tapi setelahnya dia tersenyum senang lalu kembali melumat bibir gue.

"Aku mulai ya."

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang