21. I'm Bad

774 120 4
                                    

Gue pasti sudah gila karena membalas ciuman dari calon suami orang, ini ga bener tapi gue malah terbawa suasana dan membalas lumatannya. Sudah lama sekali gue tidak merasakan letupan dalam diri gue seperti saat ini. Gue sadar, gue memang jalang perusak hubungan orang.

Tanpa gue sadari gue sudah terbaring di atas sofa dan Arga menindih gue tanpa melepas pagutannya, gue semakin tidak tau diri saat mengalungkan tangan gue di lehernya memperdalam ciuman yang gue rindukan selama bertahun-tahun. Hingga bayangan Windy terlintas dibenak, dengan cepat gue mendorong tubuh Arga sebelum terlalu jauh.

Arga melepas bibirnya dari bibir gue tapi tidak merubah posisinya yang masih menempelkan dahi kami dengan nafas terengah. Matanya menatap gue dalam namun sarat akan kesedihan yang dapat gue rasakan dia kasian sama gue.

"Kenapa?" tanyanya kemudian.

Gue tersenyum lalu membelai wajahnya, "You make me feel bad." jawab gue jujur. Gue mendorong tubuhnya lagi tapi tidak berefek apapun, tenaga dia terlalu besar untuk gue lawan.

Bersyukur ponsel gue berdering membuat Arga menjauhkan tubuhnya, nama Raka terpampang di layar ponsel membuat gue menggingit bibir gelisah. Kalau dia tanya macam-macam gue bingung mau jawab apa. Tapi gue tetap mengusap layar menyambungkan telfon.

"Halo mom, whel al you now? It's 8.30 pm and you still wolking?" cerca Elvan.

"No no honey, mom will back home soon. Sorry, I make you waiting."

"Ok mom, I'm waiting." Elvan memutuskan sambungan telfon sepihak.

Buru-buru gue mengambil tas dan beranjak menuju pintu keluar, "Aku anter." ucap Arga menahan tangan gue.

"Ga usah, aku naik taksi aja." tolak gue yang sayangnya tidak dihiraukan karena dia menyeret gue ke parkiran.

Diam adalah pilihan terbaik sepanjang perjalanan, perbuatan kami barusan membuat perasaan penuh dosa tumbuh lagi di dalam sana. Atau mungkin selama ini memang semuanya tidak pernah hilang, hanya terkunci dalam sudut hati gue.

Tapi ada hal yang membuat gue penasaran, kenapa Arga bisa kepikiran untuk tes DNA dan apa yang membuat dia curiga serta pertanyaan-pertanyaan lain tentang apa yang akan dia lakukan setelah ini bermunculan menghantam kepala gue yang sudah pening dengan kejadian hari ini.

"Kenapa kamu bisa kepikiran buat tes? Apa ada yang ngasih tau?" pertanyaan itu muncul juga setelah gue tahan sejak di apartemen tadi.

Mata Arga melirik gue sebentar lalu kembali fokus pada jalan raya, "Feeling, mungkin semacam ikatan batin. Aku ga begitu suka anak kecil, tapi beda dengan Elvan rasanya pengen dekat terus sama dia. Ditambah kamu selalu mengelak kalau aku tanya ayahnya. Kalau dihitung umur Elvan sesuai ditambah 9 bulan lebih dari terakhir kita... tidur." jelasnya memelan di akhir kalimat.

Harusnya gue memperhitungkan kepintaran Arga sebelum menyembunyikan hal sebesar ini, dia termasuk orang yang terlalu pintar untuk dibodoh-bodohi. Gue memilih tidak menjawab dan melempar pandangan keluar jendela tanpa tau apa yang gue pandang, pikiran gue sudah kemana-mana.

Setelah memasuki pekarangan rumah, gue melihat lamborghini veneno Raka sudah terparkir rapi disana. Gue keluar diikuti Arga di belakang gue, saat gue tanya dia ingin bertemu Elvan katanya jadi gue memutuskan tidak berkomentar apapun.

Pintu terbuka tepat saat gue baru akan mencari kunci cadangan, "Mooommmm!!!!" pekik Elvan menyerbu gue dengan pelukan dan ciumannya, senyum gue merekah lagi dan pusing gue hilang entah kemana.

"Kenapa balu pulang? Mom sibuk ya? Capek ga mom? Mom udah makan? Mom kok ga jawab Epan?" tanyanya tanpa henti.

Gue terkekeh lalu ngusap kepalanya sayang, "Gimana mom mau jawab kalau kamu nanyanya ga berenti?" Elvan mengangguk mengerti.

"Ah ya, solly."

"Lo darimana a...ja. Arga?" Raka terlihat cukup kaget dengan kehadiran Arga, dia menatap gue minta penjelasan yang gue beri anggukan tanda akan menjelaskannya nanti.

"Daddyyyyyy!!!" Elvan menghambur kepelukan Arga yang langsung disambutnya, Arga menggendongnya dan membiarkan Elvan mencium kedua pipinya. Dia kelihatan senang mendapat perlakuan itu dari Elvan yang malah membuat gue sedih sendiri.

"Masuk Ga." tawar Raka.

Kening gue mengkerut tanda tidak setuju tapi tidak di perdulikan Raka. Akhirnya Arga masuk dengan Elvan yang masih mengoceh di gendongannya.

Elvan sangat antusias menceritakan kegiatannya di sekolah pada Arga dan sesekali ditimpali membuat Elvan semakin semangat menceritakan apa saja yang dia lewati selama tidak bertemu Arga, sampai Dion yang terjungkal di kamar mandipun diceritakan.

Keduanya sibuk bercanda sedangkan gue memilih membersihkan diri, gue hampir memekik kaget mendapati Raka sudah duduk di atas kasur menatap gue penuh selidik. Oke, dia ini perhatiannya melebihi nyokap gue sendiri jadi tidak heran jika dia selalu mau tau apa yang terjadi pada gue.

"So, would you explain?"

"Iya, tunggu dia pulang dan Elvan tidur. Gue ceritain semuanya."

Raka mendekat, tangannya mengusap pipi gue. "I see sadness there." gue tersenyum lalu memeluknya singkat sebelum keluar dari kamar. Memang tidak ada yang bisa gue sembunyiin dari cowok satu ini, kayak berkilah sama cenayang, percuma.

Kami turun dari lantai atas masih terlihat Arga yang sibuk memperbaiki mainan robot Elvan serta Elvan yang serius melihat kegiatan Arga sambil sesekali berbicara random seperti anak umumnya.

"Lo makan dulu, gue udah masak." titah Raka seraya menarik gue ke dapur.

"Ga! Makan ga lo?" teriak Raka dari dapur.

"Gue udah makan!" balas Arga dari ruang tengah.

Gue mulai menyendokkan makanan gue mengabaikan omelan Raka karena makan gue terlalu sedikit, kalau saja dia tau apa yang baru terjadi pasti dia memilih diam tidak mengomentari porsi makan gue. Biarlah.

Arga pulang setelah mendongeng dan memastikan Elvan sudah tidur, pasti Raka akan semakin bertanya tanya pada gue melihat perhatian tidak biasa cowo itu. Benar aja, Raka menarik gue ke kamar dan membaringkan gue di sampingnya lalu bertanya.

"Jadi, kenapa bisa pulang sama Arga?"

"Arga udah tau Elvan anaknya."

Refleks Raka memegang kedua bahu gue menjauhkan tubuh kami sehingga kami dapat bertatapan, "Hah?"

"Dia tau sendiri, katanya dia udah curiga karena gue selalu menghindari pertanyaan dia tentang Elvan."

Alih-alih sedih atau marah, Raka malah tersenyun senang dan kembali merengkuh gue. "Udah takdir dan ikatan batin juga. Ga bisa dibohongi ada ikatan batin ayah-anak." gue menggumam sebagai jawaban.

"Liatkan? Dia ga menolak, bahkan dia kayak ga mau jauh dari Elvan." kali ini gue tidak menjawab karena memang benar kalau dari apa yang terlihat.

"Udah saatnya Elvan tau Arga memang daddynya."

Gue masih diam memikirkan perkataan Raka, "Gue tau apa yang lo pikirin, dan gue rasa lo boleh egois kali ini. Elvan berhak bahagia, apapun keputusan lo sama Arga kedepannya setidaknya anak lo tau ayah kandungnya."

Terkadang gue kesel sama Raka karena apa yang dia bilang kebanyakan benernya.

"Biar Arga ngaku sendiri." jawab gue akhirnya.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang