7. Broken Heart

812 139 2
                                    

Pikiran gue kacau, air mata gue tidak hentinya membasahi pipi. Gue sudah biasa dikatai jalang, pecun, lonte atau kata lain yang mendeskripsikan perempuan murahan, tapi rasanya sakit sekali saat orang yang gue cintai mengatakan itu dari mulutnya sendiri. Tidak tanggung-tanggung, suaranya saat mengatakan itu sungguh semakin menyesakkan hati gue. Dia seolah memandang rendah gue dan menjunjung tinggi pacarnya.

Gue memilih kontak di ponsel yang bisa gue hubungi, lalu menggunakan earphone di telinga kiri. Tidak butuh waktu lama sampai pemilik nomor mengangkat telfon gue.

"Ka..." gue sudah berusaha menahan isakan tapi tubuh gue berkhianat saat mendengar suaranya di seberang sana.

"Dil? Lo nangis?"

"Ngga, gue minta tolong panggil orang buat ganti kode apartemen gue. Kodenya sekarang 12***6, terserah mau lo ganti tanggal lahir lo juga boleh."

"Oke. Tapi sekarang lo dimana?"

"Gue... ngga tau Ka."

"Lagi nyetir kan lo? Pinggirin! Send location lo, gue kesana sekarang!"

Gue hanya diam mendengar suara Raka malah membuat gue semakin terisak.

"Dila lo dengar gue kan?! Pinggirin sekarang! Gue ga mau kejadian dulu keulang!" mendengar suaranya yang mulai meninggi membuat gue mau tidak mau menurutinya. Raka bener, gue bisa kecelakaan seperti dulu saat gue bertengkar hebat dengan nyokap dan hampir mati.

"Udah."

"Send location ke gue." setelah mengirimkan lokasi, Raka mematikan sambungan telfonnya. Gue menuruti kemauan Raka untuk tidak melanjutkan perjalanan. Tidak lama gue melihat taksi berhenti di depan mobil gue, Raka turun dan berlari tergesa-gesa. Dia membuka pintu mobil.

"Pindah, gue yang nyetir."

Gue tidak membantah dan langsung duduk di bangku penumpang, gue terus menangis selama perjalanan. Tidak ada pertanyaan atau kata apapun yang keluar dari mulut Raka, dia hanya menggenggam tangan gue dan sesekali mengelusnya menggunakan ibu jari. Gue pun masih belum sanggup menceritakan apa-apa karena gue cuma ingin menangis.

Sesuai keinginan gue, saat tiba di apartemen pekerja yang akan menggantikan password apartemen sudah menunggu di depan pintu. Gue menggantinya dengan kombinasi tanggal ulang tahun gue dan Raka.

"Mau cerita?" Tanya Raka setelah gue lebih tenang.

Gue mengangguk lalu memeluknya mengambil posisi menyandar di dada Raka mencari kenyamanan. Seperti biasanya, Raka tidak menolak dan membalas pelukan gue.

"Gue bener-bener udahan aja sama dia, Ka. Gue sakit hati. Tadi siang gue ga sengaja denger pembicaraan dia sama Dani, ternyata selama ini dia cuma nganggap gue jalang yang bisa dia pake."

Air mata gue menetes lagi tanpa gue sadari, "Rasanya sakit banget, padahal udah banyak yang ngatain gue jalang tapi denger itu dari dia lebih nyakitin." Gue terisak tanpa bisa dicegah, Raka semakin mengeratkan pelukannya sambil sesekali menyeka air mata gue.

"Ga ada jalang yang cuma dipake satu cowok Dil, lo bukan jalang. Lo Dila sahabat gue yang paling gue sayang." Raka mencium puncak kepala gue, "Kalau soal Arga, itu terserah lo. Lo paling tau apa yang terbaik buat lo, gue dukung apapun keputusan lo."

"Udah ah, jangan nangis mulu nanti makin jelek lo."

"Ih! Lo ya! Masih bisa ngatain gue pas kayak gini!" Gue memukul lengannya kesal dan sahabat sialan ini malah ketawa.

"Gue cuma jujur Dil... Aw! Sakit jing! Pake gigit lagi!" Gue tertawa terbahak-bahak melihat dia mengelus bekas gigitan gue di tangannya.

Tidak lama gue melihat Raka tersenyum ke arah gue, "Gitu dong, kan enak liat lo ketawa gini." Dia mencubit pipi gue gemas.

Raka, lo memang teman terbaik yang pernah dikasih Tuhan buat gue. Semoga lo adalah orang yang benar-benar tulus untuk gue karena hanya lo orang yang gue percaya.

Paginya gue bangun dengan kepala pusing, ini pasti efek terlalu banyak menangis kemarin malam. Gue mengedarkan pandangan mencari Raka yang kemarin malam menemani gue di sini, tapi gue tidak menemukannya. Tidak lama pintu kamar gue terbuka, Raka sedikit kaget melihat gue sudah duduk di atas ranjang kemudian menampakkan cengiran lebarnya.

"Nih makan." dia menyodorkan nampan berisi segelas susu hangat dan semangkuk bubur yang gue tau pasti bukan buatannya karena Raka tidak bisa masak.

"Ga ah Ka, males."

Raka menatap gue tajam memasang wajah tidak suka, "Lo patah hati boleh, tapi ga cari mati juga. Liat tu badan lo udah kayak triplek." cacinya.

"Makan Dila, ayo gue suapin."

Dia mengambil tempat di pinggir ranjang lalu mulai menyendokkam bubur ke mulut gue yang langsung gue terima, gue senang mendapat perhatian dari dia, saat gue sedang down seperti sekarang gue selalu jadi lebih manja pada Raka. Beruntung Raka itu cowo pengertian yang mau saja menerima kelakuan gue yang manjanya bukan main.

"Haduh gue punya bayi gede amat." Raka ngedumel tapi tetap menyuapi gue.

Gue makan dengan lahapnya melupakan kalau gue sedang ada masalah, tidak perlu gue pikirkan di saat seperti ini karena perut gue lebih rewel minta diisi. Sejak tadi malam gue belum menyentuh makanan sedikitpun karena selera makan gue yang hilang, Raka juga tidak memaksa gue untuk makan dan hanya memberikan gue segelas susu yang cukup untuk mengganjal sampai pagi.

"Katanya males makan, sekarang makannya udah kayak babi banyak banget." sindir Raka sambil tertawa.

"Setan, gue makan salah ga makan salah juga."

"Iya deh sayang ku maaf."

Raka keluar kamar membawa nampan beserta mangkuk dan gelas kosong yang gue gunakan tadi, gue yang merasa bosan pun keluar kamar dan mendapati Raka sedang mencuci peralatan makan yang gue pakai. Hhh... Raka suamiable banget. Gue jadi berpikir buat minta dia menjadi suami masa depan gue. Nah kan ngaco gue kalau sedang kacau begini.

Gue mendengar suara dari arah pintu apartemen, bell apartemen dan suara gedoran pintu terdengar bergantian. Raka menatap gue sebentar, "Siapa Dil?" tanyanya lalu kembali membilas mangkuk.

"Lo liat deh, kasian tamu dianggurin." sarannya yang gue turuti, gue memencet layar yang langsung menunjukkan wajah orang yang sedang gue hindari. Kaki gue melemas, jantung gue berdetak tidak karuan, bukan karena senang atau gugup tapi setiap detaknya menyiratkan amarah dan perih disaat yang bersamaan. Gue hanya bisa mematung tidak merespon Arga yang kini menggedor pintu dengan cukup keras. Gue bisa mendengar suaranya yang meminta gue membuka pintu untuk bicara dengan gue. Sebenarnya tidak ada yang perlu dibicarakan, semuanya jelas karena gue tidak mendengar dari orang lain tapi mendengarnya sendiri.

"Ngapain dia kesini?!" gue mendengar suara Raka tepat di samping gue, entah sejak kapan dia sudah di sana. Suaranya terdengar dingin dan penuh emosi.

"Lo masuk kamar, gue yang nemuin dia!"

Tanpa membantah gue menuruti perintah Raka tapi gue yakin semua tidak akan baik-baik saja jika gue meninggalkan dua orang yang sama kerasnya.

"Jangan pake kekerasan ya Ka, gue ga mau ada ribut-ribut." ucap gue memberi peringatan.

"Gue ga janji tapi gue usahakan."

Tidak ada respon apapun yang gue berikan, gue memilih memasuki kamar dan menguncinya rapat-rapat lalu memakai handsfree dengan volume musik maksimal. Gue enggan hanya untuk sekedar mendengar suara Arga di luar sana, mendengarnya memohon dibukakan pintu saja membuat gue emosi dan sakit. Terserah apapun yang dilakukan Raka, gue percaya apapun itu Raka hanya ingin melindungi gue.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang