44. You Hurt Me

689 104 32
                                    

Bahagia sejatinya tidak abadi, entah hanya opini gue atau terjadi pula pada lainnya. Karena saat ini gue merasakan sendiri bagaimana rasanya jatuh dari atas awan. Tatapan memohon suami gue tidak cukup lagi menumbuhkan iba, gue terlalu hancur sampai tidak bisa merasakan keberadaan hati gue di dalam sana.

Sebulan lalu dia tampak seolah pria paling bahagia ketika mengetahui keberadaan darah dangingnya dalam rahim gue. Memperlakukan gue seakan hanya gue wanita yang ada dalam dunianya. Hanya satu bulan dan dia berhasil membangunkan gue dengan mimpi buruk yang sesungguhnya nyata.

"Sayang, maaf—"

Gue menahannya untuk berbicara lebih jauh sebelum dia berhasil memusnahkan sisa hati yang gue punya.

Luka yang dia berikan saat ini lebih dahsyat daripada perpisahan kami dulu, udara di sekitar gue seakan lenyap. Gue rasanya hampir mati kehabisan nafas jika menahan ini lebih lama. Tapi tubuh gue menolak membiarkan gue menangis, pada akhirnya yang gue lakukan hanya naik ke lantai atas, mengunci kamar kemudian duduk di tepi ranjang. Hal yang sama dengan yang gue lakukan berbelas tahun lalu saat mama dan papa berpisah dan meninggalkan gue sendirian. Masih berusaha bernafas walaupun gue tidak ingin.

Di luar pria yang mendeklarasikan diri sebagai suami gue  tidak berganti menggedor pintu meminta gue mendengar alibi yang dia punya. Dan gue belum siap tersakiti lebih dari ini, makanya gue memilik diam merenung.

Ingin marah tapi tidak tahu pada siapa, karena dasarnya ini salah gue yang dengan mudah kembali dalam pelukannya. Ini bukan salah siapapun, tapi salah gue. Elvan nyatanya hanya alasan yang gue buat agar gue punya pembenaran atas keputusan gue kembali pada dia.

"Aku tau aku jahat, aku nyakitin kamu. Tapi aku tetap pengen kamu denger penjelasan aku." Gue masih diam bibir gue hanya terbuka dan mengatup kehabisan kata. Hingga akirnya suara dari luar kembali menyeru kalimat yang berhasil membuat gue meraung sejadi-jadinya.

"Aku sayang kamu."

Pikiran gue terberseru bahwa apa yang dia katakan bohong, tapi hati gue terus menyakinkan dia tulus.

Pagi ini, menjadi bencana besar dalam keluarga kecil gue dan gue tidak tahu cara mengatasinya.

Windy hamil...

Anak Arga.

***

"Buka sekarang atau gue dobrak!"

Air mata gue yang sudah mengering kembali tumpah bersamaan langkah gue mendekati pintu membuka kunci. Secepat kedipan mata tubuh gue terkurung dalam dekapannya. Seperti sebelum-sebelumnya, Raka membiarkan gue menangis sampai puas tanpa berkomentar atau berniat menghentikan tangisan gue. Dia hanya mendekap dan mengusap lembut punggung gue.

"Gue tau lo sakit, sedih, marah. Tapi janin dalam rahim lo ga salah apa-apa, jangan siksa dia." Tangan kokohnya bergerak menyeka air mata gue setelah gue mulai tenang, "Lo belum makan dari tadi pagi, kan? Ayo makan, anak lo punya hak buat tetap hidup."

Raka menyuapi gue layaknya balita, dan gue menerima suapannya dengan pasrah. Pikiran gue kosong, juga merasa bersalah sudah menyiksa calon anak gue walaupun gue tidak sadar.

"Ka, Elvan?" Gue hampir menangis lagi begitu mengingat nama anak gue.

"Masih di rumah mertua lo, tadi juga ditelfon biar tetep di sana dulu."

Ada setitik ketenangan dalam diri gue, Tuhan masih baik. Dia menggariskan agar anak gue tidak melihat keadaan kacau pagi ini, gue takut mentalnya terganggu karena masalah kedua orang tuanya. Kembali gue terpekur dalam lamunan, memandang kosong tanpa arah.

"Gue hamil, dan gue mau Arga tanggung jawab."

Otak gue terus memutar memori pagi ini ketika Windy menerobos masuk bertepatan gue yang baru saja turun untuk membuat sarapan. Melempas berlembar foto dua manusia berbeda kelamin lelap dalam satu selimut

Usai memastikan gue meminum susu ibu hamil, Raka kembali membawa gue ke dalam kamar menyandarkan gue di kepala ranjang. Matanya menelisik raut wajah gue kemudian bersuara.

"Lo tau kenapa gue ke sini?"

Gue masih betah bergeming.

"Arga nelfon gue, panik minta gue dateng karena lo belum makan dan ga mau keluar kamar. Dia sampe beliin gue tiket SG-Jakarta saat itu juga."

Jemarinya sibuk merapikan helai rambut gue yang gue yakin sudah tidak karuan bentuknya. Menyandarkan kepala gue di pundaknya, memberikan sandaran seperti yang gue butuhkan.

"Mau dengerin saran gue?"

Dan anggukan gue cukup menandakan gue akan mendengarkan dia, gue selalu mendengarkan dia.

"Tenangin diri lo, setelah itu dengerin penjelasan dia."

Bukan gue tidak ingin mendengar penjelasan Arga, tapi gue belum siap jika penjelasan dia nantinya akan melukai gue, pengecut memang. Gue sudah cukup banyak merasakan sakit dan gue tidak ingin lebih hancur dari ini.

Gue memilih membaringkan tubuh, memejamkan mata berharap esok pagi gue terbangun dan semua ini hanya mimpi. Namun Tuhan tidak mengabulkan harapan gue, gue terjaga ketika tubuh hangat mendekap erat gue di pertengahan malam.

"Maaf."

Kata maaf dari dia justru membuat gue ketakutan, takut semua yang Windy ucapkan memang nyata. Kebahagiaan kemarin terlalu singkat, gue tidak sanggup melepasnya. Terlebih perasaan gue terhadap Arga sekarang jauh lebih besar, gue tidak bisa menerima kenyataan.

"Aku akan buktiin itu bukan anakku, aku ga pernah berhubungan badan dengan perempuan manapun, dari dulu sampai sekarang cuma kamu. Tolong bersabar sebentar. Jangan tinggalin aku, aku tau kamu denger."

Kecupan di puncaknkepala berhasil meloloskan air mata gue, perlahan gue menggenggam tangannya yang mendekap gue. Membiarkan dia mendengar tangisan yang tidak bisa gue bendung. Sekali lagi, gue akan memberikan dia kesempatan membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Gue akan percaya dia sekali lagi.

"Tolong... jangan kecewain aku."

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang