17. Elvan's Daddy

772 116 7
                                    

Gue berhasil lolos dari pertanyaan Arga, mungkin dia lelah menunggu jawaban gue yang terus menangis. Tapi dia memaksa mengantarkan gue pulang karena takut gue dan Elvan kenapa-napa kalau gue nyetir dalam keadaan kalut, jadilah dia tau dimana gue tinggal. Dia sempat kaget saat tau gue tinggal satu rumah dengan Dion dan mengira kami sudah menikah tapi Dion dengan cepat menjelaskan hubungan kami yang memang sebatas kakak-adek.

Ini buka kakak-adek zone seperti yang orang lain pikirkan, Dion memang sudah seperti kakak kandung gue dan dia juga menganggap gue sebagai adiknya. Makanya hubungan kami hampir tidak ada batasan seperti hubungan gue dan Raka.

"Dil, lo ga mau cerita sama gue?" Raka masih menunggu gue membuka suara. Gue hanya berbicara seperlunya saja sejak sampai di rumah. Dion khawatir dengan keadaan gue terlebih Arga yang mengantar gue pulang tadi, dia menghubungi Raka karena selama ini yang dia tau hanya Raka yang bisa mengembalikan keadaan gue jika sudah dalam masalah besar.

Gue masih enggan membuka suara dan semakin mengeratkan pelukan gue dipinggangnya, tidak perduli Raka belum mandi dan masih menggunakan baju kantornya.

"Kata bang Dion lo diantar Arga tadi, bener?" gue hanya mengangguk.

"You wanna hide something from me?"

Gue mengangkat kepala gue melihat Raka, dia keliatan kesal karena gue masih tidak mau menceritakan semuanya ke dia padahal selama ini gue cerita semua masalah gue secara gamblang hanya pada Raka.

"Elvan ask me about his biological father Ka." Raka refleks memegang kedua pundak gue menatap gue lamat-lamat.

"Terus?"

"There's Arga when he ask me about, dia dikatain temennya karena ga punya daddy." Gue menunduk dalam mengingat kejadian tadi, "Arga yang nenangin dia sebelum gue dateng. Dia nangis karena ga bisa dateng ke hari ayah dengan daddynya."

"Dan... Arga menawarkan diri untuk itu."

"He is Elvan's real daddy." Timpal Raka.

"Gue tau, dia bakalan dateng dengan ayah kandungnya." Kata gue tersenyum miris.

Raka mengangkat dagu gue untuk melihat matanya, "Kenapa ga kasih tau aja?" gue mendengar ini lebih seperti permohonan dari Raka.

"Gue belum bisa, gue harus tau dulu gimana dia sekarang karena gue ga mau menghancurkan kebahagiaan dia."

"How about Elvan? Lo ga mikir dia butuh bahagia juga Dil, dia butuh daddynya. Lo liat sendiri kan gimana akibatnya?! Elvan mungkin ga bilang ke lo, tapi dia bilang ke gue kalau dia pengen punya daddy tapi dia ga mau bilang karena ga mau lo nangis lagi!" kata-kata Raka membuat gue terdiam, apa benar anak gue menahan semua kesedihannya cuma untuk menjaga perasaan gue?

Secara tidak langsung gue sudah menjadi ibu yang buruk karena memikirkan diri gue sendiri. Gue terlalu memikirkan kesedihan gue sampai gue lupa, ada Elvan yang harusnya merasakan bahagia di usianya tanpa olokan dari teman-temannya. Gue merasa gagal menjadi ibu, dulu gue pikir menjadi ibu tunggal bukan hal yang sulit tapi ternyata tidak seperti yang gue bayangkan.

Air mata gue lolos untuk kesekian kalinya, "Ka, jujur, gue takut Arga menolak Elvan, itu akan lebih menyakitkan dibanding perpisahan kami dulu."

"Gue yakin dia ga sebrangsek itu Dil." ujarnya seranya menyeka air mata gue, Raka menggigit bibir bawahnya seolah menimbang perkataan selanjutnya. "Meskipun belum tentu kalian bakal bersatu, gue yakin dia akan tetap menerima Elvan."

Perkataan Raka tepat menghunus hati gue yang pada dasarnya sudah penuh luka, dia memang berpandangan realistis dan gue juga memikirkan itu tapi hati gue masih tidak siap jika Arga disandingkan dengan orang lain. Ini salah satu yang membuat gue menghindari dia habis-habisan selama ini dan berusaha merasa cukup dengan apa yang gue punya.

Gue tidak ingin menjadi orang yang serakah dan egois, gue sadar betul kesalahan yang gue perbuat dimasa lalu. Karena tidak sanggup jika hidup tanpa sosok Arga, gue memutuskan untuk membawa Arga yang lain bersama gue. Itu pula yang membuat gue berpikir berkali-kali untuk memberi tahu Arga tentang Elvan, keberadaan Elvan sepenuhnya keinginan gue. Tidak, gue tidak pernah menganggap Elvan beban dia malah menjadi alasan gue menjadi Dila yang sekarang ini. Yang salah hanya cara gue mendapatkannya.

Kebahagiaan Elvan menjadi pertimbangan gue untuk sekarang, mungkin gue akan mencoba memberi tahu Arga. "Gue akan pertimbangkan buat ngasih tau Arga." Ucap gue setengah ragu.

Helaan nafas berat terdengar dari bibir tipis Raka, dia mengecup kening gue lalu kembali merengkuh tubuh gue dalam pelukannya. Gue yakin Raka tahu benar gue kembali menjadi Dila yang cengeng sejak bertemu dengan Arga. Tidak sepenuhnya menyakitkan karena gue pun menyimpan rindu yang amat dalam pada Arga, yang menyakitkan membayangkan gue dan dia yang tidak akan pernah bersama karena Arga juga tidak pernah mencintai gue.

"Lu tidur duluan, gue mandi dulu." Titah Raka yang gue jawab dengan gelengan, gue masih ingin bersama dia lebih lama. Pikiran gue masih berantakan, terlalu kacau setelah bertahun-tahun lamanya.

"Setidaknya biarin gue mandi dulu. Gue janji nemenin lu tidur."

Dengan berat hati gue melepaskan pelukan gue dari pinggangnya, kepala gue masih tetap tertunduk menyembunyikan wajah sembab gue.

"Please stop crying Dil." pinta Raka seraya menyeka air mata gue, "Show me your strenght, jangan liatin lo kayak gini di depan Elvan."

"I'll be ok." kata gue tersenyum. "I hope so."

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang