35. Need Time

849 105 0
                                    

Tidak tahu pastinya berapa lama gue terlelap setelah malam panjang gue dan Arga, tubuh gue masih terasa begitu nyaman dan mata gue enggan membuka. Terlebih tubuh gue tetap terasa hangat walaupun seingat gue, gue belum memakai piyama kembali. Gue menggeliat merasakan sentuhan lembab yang begitu lembut di dahi dan bahu.

"Engh." keluh gue merasa terganggu.

"Sstt, tidur lagi yang."

Gue sangat kenal dengan suara berat yang menyentuh pendengaran, pria itu Arga, dia mempererat pelukannya. Tangannya mengelus kulit punggung gue menghantar rasa kantuk membuat gue semakin enggan membuka mata.

Suara bell dan ketukan pintu bersautan mengganggu tidur gue, "Ga ada yang dateng." saking mengantuknya gue masih setia memejam.

"Bentar aku liat."

Seketika gue merasa ada yang hilang, Arga yang beranjak. Langkah kakinya terdengar tapi gue tetap terpejam. Entah ini akibat kegilaan nafsu pria yang sudah sah menjadi suami gue atau karena efek obat sialan yang meracuni Arga. Gue sampai tidak tidur hingga subuh, bahkan Arga meminta lagi membuat gue baru benar-benar tidur saat jarum jam menunjuk pukul delapan.

"Hiks... hiks... mommy..."

Isakan Elvan memaksa gue membuka mata, anak gue ini mana bisa tidur dengan orang baru. Yah, Arga bisa. Kan bapaknya. Tadi malam jagoan gue tidur dengan opanya berhubung om- eh papa ingin, Raka dan Dion juga tidak bisa menemani Elvan. Mereka sedang sibuk katanya.

"Eh papa ganggu ya? Udah belum bikin adeknya Elvan?" Arga menggaruk kepalanya.

"Pah ada Elvan!"

"Daddy... hiks... mom mana?"

"Dalem sayang."

Elvan menerobos masuk, bahkan Arga belum sempat menghadangnya. Buru-buru gue menaikkan selimut menutupi tubuh gue yang masih telanjang. Elvan merangkak naik ke atas ranjang dan duduk di pangkuan gue, matanya menatap gue bingung.

"Mommy... kok nda pake baju? Nti masuk angin mom." Elvan bertanya, nafasnya masih tersendat akibat tangis

Dari posisi gue bisa melihat Arga mengusap wajahnya yang memerah sepertinya malu, sementara papa sudah tertawa cekikikan mendengar pertanyaan polos Elvan yang gue sendiri bingung mau jawab apa dan mengusap pipinya yang basah.

"Dad kok ga kasih mom baju?" Elvan bertanya lagi.

"Kan daddy kamu yang lepasin baju mommy." jawaban papa membuat Arga melotot garang.

"Papa!"

"Daddy jahatin mommy!" anak gue kembali terisak, "Mana baju mommy, dad!" serunya galak, matanya menghunus tajam meskipun masih menangis.

Arga mendekat, "Gak gitu sayang... aduh gimana gue jelasinnya." dia mengacak rambut frustasi kemudian mendeham, "Tadi dad habis pijitin mom." bohongnya.

Gue terkekeh geli, mata Elvan memerah sepertinya dia malah tambah sedih. "Ini melah-melah..." dia menunjuk kissmark di sekitar leher gue. "Sakit ya mom." tanyanya sesegukan.

"Ssst udah ya nangisnya, anak mom kok cengeng? Mom gak sakit kok, kan udah dipijitin daddy." gue mengedip menggoda Arga.

"Benel mom?"

Gue mengangguk meyakinkan, "Nti melah-melahnya ilang ya?"

"Iya sayang, nanti diobatin daddy." jawab gue sambil tersenyum genit, papa yang masih berdiri di depan pintu tampak menahan tawanya.

"Benel ya? Nti obatin ya dad." Arga mengangguk cepat.

"Udah, sayangnya opa mandi sama opa yuk. Biar daddy obatin mom." papa memasang wajah menggoda membuat wajah gue dan Arga memerah.

Elvan segera turun dari ranjang mendekati opanya, menggandeng tangannya. "Lanjutin aja, papa ga ganggu lagi. Nanti papa kasih yang lebih topcer buat kalian." paham dengan ucapan papa, rasanya gue ingin membenturkan kepala ke dinding, malu. Gila aja kalau papa kasih obat yang lebih dari semalam, bisa mati gue.

"Mom mau dad obatin?" Arga mendekat setelah mengunci pintu.

Gue menelan saliva, gila jantung gue. Dia seksi banget dengan balutan celana flanel dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Tapi yang gue takutkan, tatapannya yang seperti singa kelaparan. Gue berdoa dalam hati supaya dia gak minta jatah lagi.

Kecupan ringan di bahu dan leher membuat gue menahan nafas, sesekali lidah nakalnya menyentuh kulit membuat gue panas dingin sendiri.

"Gahh...." gue mengutuk diri yang mengeluarkan suara serupa desahan.

Arga menindih tubuh gue, "Iya mommy?" dia mengecup daun telinga gue berkali-kali.

"Dad mau obatin mom." ia memberi kecupan ringan di bibir gue, "Mau bikin mom enak."

Dan Tuhan emang gak mengabulkan doa gue.

***

Arga memapah gue keluar dari hotel, bibirnya tak henti mengulas senyun yang membuat gue ingin sekali memukul bibirnya dengan panci. Bisa-bisanya dia mengurung gue di kamar hotel selama dua hari, tulang gue hapir gak bisa gue rasakan lagi. Hhh... Pria dan nafsunya.

"Jangan manyun terus, yang." ucapnya setelah duduk di bangku kemudi, dia mencolek dagu gue yang gue hadiahi tepukan keras. Dia tidak marah, malah tertawa geli.

"Kamu manyun gitu bikin aku pengen cium." gue melotot garang, Arga malah kembali tertawa, tangannya mengusap kasar wajah gue. Belum sempat gue menggigit tangannya, ia sudah lebih dulu menjepit bibir gue dengan jarinya.

"ARGA!" pekik gue kesal.

"Apa sayang?"

"Tidur di luar ya kamu!"

Dia meringis, sepertinya sedang membayangkan tidur di luar kamar. "Galak banger sih bini gue." gumamnya yang masih bisa gue dengar.

Gue menjewernya menyalurkan emosi gue yang menggebu sejak kemarin, "Ulangin! Bilang apa tadi?!"

"Nggak yang, ampun! Iya gak lagi!" Arga megusap telinganya yang memerah.

Gue memilih diam sembari memandang ke luar jendela, sejujurnya gue juga tidak tahu apa yang gue lihat. Gue hanya melamun. Meski tampak tanpa beban sejak pernikahan kami tiga hari lalu, tapi hati gue masih merasa berat menjalani rumah tangga dengan Arga.

Jelas sekali pria ini tidak mencintai gue, di setiap tatapannya hanya tersimpan iba untuk gue. Dan yang lebih menyesakkan, di malam kedua kami dia mengigaukan nama Windy dalam tidurnya. Dia terbangun saat gue melepas pelukannya paksa dan mengatakan bahwa gue bukan Windy. Wanita mana yang tidak terluka ketika suaminya menyebut nama lain dalam tidurnya setelah berhubungan badan. Berkali-kali dia memohon maaf, sembari memeluk gue erat tapi sesak itu malah semakin menghimpit.

Genggaman di tangan kanan membuat gue menoleh, Arga sesekali melirik gue sebelum kembali fokul pada jalan. "Kamu inget itu lagi ya?" tanyanya sarat rasa bersalah, "Please give me time to love you." pintanya lalu mencium punggung tangan gue.

Sementara gue kembali melempar pandangan ke luar jendela, menekan rasa sakit dalam dada gue. Sebisa mungkin gue menahan diri untuk tidak menangis.

Aku selalu memberi kamu waktu, Ga. Sejak dulu.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang