"Gila! serius dia mau nikahin lo?!" pekik Evelyn tidak tahu tempat.
"Ck! Bisa ga sih tu volum dikecilin dikit?" tegur Rena kesal. Evelyn nyengir menanggapi, dari tadi suara Evely ga kekontrol sampai-sampai kita bertiga jadi tontonan gratis.
Pagi tadi gue baru ngabarin geng bitchy kalau gue ada di Indonesia yang langsung disambut antusias, mereka sampai ngambil cuti sehari buat ketemu gue dan pastinya itu bikin gue seneng. Begitu ketemu mereka langsung menodong gue dengan bertubi-tubi pertanyaan tentang kedatangan gue ke Jakarta yang beru gue jawab setelah Fendy membawa Rika, anaknya dan Evelyn beserta Elvan berenang di kolam hotel yang gue tempati.
Mereka keliatan shock berat mendengar cerita gue yang belum sempat gue sampaikan, tentang apa yang sudah terjadi termasuk pertemuan gue dan Arga serta masalah dia yang ingin mempersunting gue membuat bitchy-bitchy kesayangan gue ini semakin cengo.
"Hm... Tapi gue ragu nerimanya, dia masih cinta banget sama Windy."
"Tapi dia bilang kalau udah mutusin Windy kan? Berarti dia serius sama lo Dil." timpal Rena.
Evelyn mengangguk setuju, "Nih ya gue kasih pandangan dari sudut gue yang ga pernah dibesarin bokap."
"Rasanya tu sedih banget Dil, merasa iri sama anak-anak yang pernah merasakan keluarga utuh. Terlebih gue ga pernah tau siapa bokap gue, memang gue bisa nerima setelah dewasa. Tapi gue sangat tertekan waktu gue masih kecil sampai masa remaja gue terjerumus di dunia malem."Perkataan Evelyn sukses membuat gue tertegun, apakah anak gue juga berpikiran yang sama dan merasakan hal yang sama pula dengan Evelyn? Tapi melihat dia senang sekali sejak mengenal Arga membuktikan selama ini dia memang pengen punya daddy.
"Woi bengong lo!" sentak Evelyn membawa kesadaran gue, "HP lo berisik tuh nyet."
Gue menyambar ponsel tidak sabaran menatap layarnya sepersekian detik tanpa mengangkat membuat kerutan di dahi kedua sahabat gue ini, "Arga." kata gue menjawab penasaran mereka.
Rena mendengus, "Angkat bego, apaan lo diemin dia gini selama dua hari." tegurnya. Gue memang sudah mengabaikan telponnya selama dua hari ini dan pindah dari hotel yang tadinya ditempati mama setelah mama kembali ke Paris. Kekanakan memang tapi gue belum siap ketemu dia lagi setelah kejadian di rumahnya.
Tanpa gue sadari ponsel gue ditempelkan Evelyn di telinga kiri, "Halo Dila, akhirnya kamu ngangkat juga." gue langsung melotot garang ke arah Evelyn yang malah tersenyum tanpa dosa.
"Kamu nginep dimana Dil? Kok pindah dari hotel itu? Kamu ngga lagi ngindarin aku kan?" tanya Arga bertubi-tubi.
Gue memijat pelipis pening harus menjawabnya, gue belum mau ketemu dia dan memang benar gue sedang menghindari dia. Kalau bisa sampai gue kembali ke London. Ponsel gue ditarik kasar membuat gue kaget sendiri.
"Ga, ini Fendy."
"Iya suaminya Evelyn."
"Dila di Fermont."
"Heeh yang di Asia-Afrika."
"Sip sama-sama."
Berkali-kali gue ngerjap sebelum sepenuhnya sadar dan emosi gue sampai di ubun-ubun, "FENDYYYYY!!!" pekik gue frustasi.
"Apa sih Dil? Gue ga tuli! Lo berdua emang harus ketemu, selesein masalah kalian. Buat anak lo!"
Pada akhirnya gue cuma bisa pasrah dengan keadaan yang udah ga bisa gue hindari lagi. Mau tidak mau, siap tidak siap gue tetap harus ketemu sama dia. Ya, semua sahabat gue menginginkan pilihan yang terbaik untuk Elvan. Dia memang tidak berdosa dan tidak seharusnya menjadi korban keegoisan gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
Fiksi UmumWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders