"Halo?"
"Dil, kamu taruh dimana dokumen yang mas bawa tadi malam." Dion terdengar panik di seberang sana, sampai dia tidak membalas sapaan gue.
"Aku taruh di laci meja kerja mas."
Terdengar krasak-krusuk di sana, sepertinya Dion sedang mencari dokumen yang dia maksud tadi di ruang kerjanya di rumah, "Ketemu ga mas?"
"Iya, ada hehe."
"Lain kali jangan suka naruh barang penting sembarangan mas, kebiasaan banget. Gimana kalo tiba-tiba Elvan jadiin mainan?" omel gue panjang lebar.
"Kan ada kamu yang beresin hehe."
"Dibilangin juga!" gue mulai kesel, ini hari pertama bulanan gue dan Dion malah memancing emosi gue yang pada dasarnya emang setinggi menara eifel.
"Iya maaf sayang, mas mau berangkat nih bukannya di doain malah diomelin."
"Hhh... Ya udah, mas hati-hati ya. Kabarin aku kalo udah nyampe, jangan lupa makan sama minum vitaminnya."
"Siap my queen, Elvan udah di jemput Raka tadi jadi kamu ga usah buru-buru. Mas pergi ya, bye sayangnya mas."
Gue terkekeh kecil menanggapi gombalan Dion, "Bye juga sayangnya aku." balas gue menggoda. Sambungan telfon berakhir tapi senyum gue tidak juga pudar, Dion selalu tau caranya bikin mood gue yang sedang hancur jadi baik lagi.
Gue mendengus, saat mengingat Dion selalu saja ceroboh menaruh barang penting. Dulu dia pernah terpaksa mengetik ulang beberapa dokumen penting karena sudah dijadikan buku gambar oleh Elvan. Dion pengen marah tapi Elvan masih kecil dan tidak mengerti kalau itu bukan mainannya. Untung Dion ini orangnya sabar walaupun suka adu mulut berdebat hal kecil sama gue.
Langkah gue yang sempat terhenti kembali mematut beradu dengan lantai marmer kantor, jam sudah menunjukkan waktu pulang sejak hampir sejam lalu tapi gue terpaksa mendem di kantor karena kerjaan gue yang masih banyak. Gue selalu memaksakan diri untuk menyelesaikannya di kantor, karena kalau sudah di rumah saatnya menjadi ibu bukannya wanita karir.
Beberapa langkah gue akan sampai di pintu keluar tapi tertahan saat melihat cowok dengan pakaian formalnya berdiri di depan meja resepsionis. Ngapain dia kesini? Pikir gue. Tatapannya berpindah pada gue, tapi terlihat tajam dan penuh kilatan emosi yang gue sendiri tidak tau kenapa.
Dia menghampiri gue dengan langkah lebar dan menarik pergelangan tangan gue dengan sedikit kasar, "Aku mau ngomong." gue menelan saliva dengan susah payah mendengar suaranya yang terkesan dingin dan mengintimidasi.
"A-ada apa Ga?" shit! Saking takutnya gue ga bisa ngomong dengan benar.
"Ikut aku." Arga segera menarik gue membawa gue ke dalam mobilnya. Dia melajukan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata membawa gue entah kemana. Gue mengeratkan pegangan di safetybelt sambil merapalkan doa supaya di biarkan hidup lebih lama, Elvan masih kecil Ya Tuhan.
Mobil hitamnya berhenti setelah terparkir di basement sebuah apartemen yang gue tau harganya tidak cocok untuk pegawai biasa di kota ini. Letaknya juga tidak jauh dari sekolah Elvan yang hanya terpisan beberapa blok dari sini. Tapi yang lebih penting kenapa Arga membawa gue ke sini dan ini apartemen siapa?
Arga memasukkan beberapa digit angka di security lock pintu bernomor 1206 yang sekarang gue yakini tempat tingal Arga, dia mempersilakan gue masuk tapi masih betahan dengan sikap dinginnya. Gue duduk di sofa depan TV tanpa berani melihat sekitar padahal dalam hati gue sangat kagum dengan interior yang disuguhkan apartemen ini. Tapi rasanya wajar jika Arga bisa menata tempat ini mengingat dia berkuliah jurusan Teknik Arsitektur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
Narrativa generaleWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders