Mbak Asih menceritakan beberapa hal yang tidak terlalu privasi tentang anggota keluarga Arga, dia juga menceritakan kalau Windy tidak pernah membantu dia memasak seperti yang gue lakukan karena Windy tidak bisa memasak. Menurut gue wajar saja, dia sangat berbeda dengan gue yang sudah lama hidup sendiri.
Dia sangat dimanjakan oleh orang tuanya bahkan dilarang menyentuh sesuatu yang dapat melukai kulit mulusnya, pisau misalnya. Opini gue bukan tanpa alasan, hal ini sudah menyebar luas di kampus dan berasal dari teman-temannya sendiri. Kadang gue iri dengan anak yang dimanja seperti dia, tapi ya sudahlah jalan hidup orang beda-beda.
Masakan gue dan mbak Asih sudah jadi, gue memanggil Arga, Elvan dan om Hermawan juga tante Rasti untuk sarapan sementara mbak Asih menata makanan di atas meja. Elvan yang sudah kelaparan melompat dari pangkuan Arga menuju meja makan, disusul yang lainnya.
"Kamu yang masak ya?" tanya Arga pada gue setelah menyuap makanan beberapa sendok
"Ngga kok, cuma bantu dikit." jawab gue setengah berbisik, gue tidak enak dengan tatapan mamanya Arga yang memperlihatkan dia tidak suka dengan keberadaan gue.
Arga tersenyum memandang gue, "Aku bisa bedain rasa masakan kamu sama mbak Asih." gue hanya membalas dengan senyuman tipis. Dulu gue memang sering masak untuk Arga kalau dia menginap di apartemen, jelas saja dia tau rasa masakan gue.
"Masakan kamu enak, udah kayak professional chef bisa nih kita buka resto." puji om Hermawan yang hanya gue senyumi karena tidak enak dengan tatapan tante Rasti.
"Emang pa, Arga pernah nyaranin tapi dia maunya jadi akuntan."
Gue demakin merasa tidak enak dengan percakapan ayah dan anak ini jadi gue memperhatikan Elvan yang sedang makan saja daripada melihat mama Arga terlihat semakin kesal. Ingin rasanya menyuruh keduanya berhenti memuji gue tapi gue juga segan sama papa Arga.
Tidak lama tante Rasti berdiri membuat kursinya berderit kencang hingga kami semuan menatapnya. Dia meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan makanannya yang masih sisa setengah tanpa berkata apapun.
Om Hermawan menatap gue tidak enak hati, dia sepertinya tau betul istrinya tidak menyukai gue yang merusak hubungan Arga dan calon mantu kesayangannya. Buru-buru beliau menyelesaikan makannya dan berpamitan meninggalkan Arga dan gue yang sibuk membersihkan mulut Elvan dengan tisu.
Elvan langsung berdiri ingin menonton TV tapi gue tahan karena dia belum menghabiskan susunya, "Ya udah bawa susunya, tapi harus habis ya." kata gue mengalah. Jujur hati gue bergemuruh karena tanggapan tante Rasti tadi, sepertinya tidak akan gampang jika akhirnya gue harus menikah dengan Arga.
Mengusir pikiran buruk, gue lebih baik membantu mbak Asih membereskan meja. Gue bahkan tidak berani menatap Arga yang masih duduk di kursi meja makan selama gue membereskannya.
Gue baru akan melipat lengan kaos untuk mencuci piring, Arga menarik gue dan menyuruh mbak Asih melanjutkan. Dia membawa gue ke taman belakang rumahnya, gue baru tau di sana ada kolam renang yang cukup besar. Arga menatap gue tapi gue sama sekali tidak mengangkat wajah menatap dia.
"Dil, maaf." ini yang paling tidak ingin gue dengar, satu kata itu membuat gue semakin sadar keberadaan gue tidak diinginkan dan bahkan ditolak.
Kepala gue masih tertunduk dalam hingga Arga menunduk agar dapat melihat wajah gue, gue ingin memalingkan pandangan. Arga memeluk gue erat. Tidak ada perlawanan dari gue, hanya menatap sendu.
Dada gue semakin sesak, dalam pikiran gue Arga melakukan ini karena dia kasihan dan merasa bersalah. Gue tidak suka. Tidak tahan dengan perasaan gue sendiri, gue mendorong dada Arga hingga dia melepaskan pelukannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
General FictionWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders