Side Story: Arga

549 64 2
                                    

Panas terik terasa menyengat kulit ketika gue melewati taman belakang Fakultas Ekonomi yang kebetulan bersebelahan dengan Fakultas Teknik di Universitas tempat gue mengenyam pendidikan.

Biasanya tidak ada yang menarik di sana, hanya tiga bangku panjang yang masing-masing berjarak beberapa meter dan hamparan rumput dan beberapa pepohonan menghiasi. Tapi hari ini ada yang berbeda. Sesuatu yang tampak lebih menarik daripada langit biru di atas sana tampak duduk di bangku panjang, sendiri, bermandikan sinar mentari.

Kulit putihnya tampak bercahaya memantulkan guyur matahari. Seorang gadis berkemeja biru langit tengah duduk bersila, pandangannya serius menekuni buku tebal sambil menandai menggunakan stabilo ungu.

Gue ga tau apa yang membuat perempuan di sana tampak teramat menarik dari pada ponsel pintar di genggaman. Padahal pesan bertubi-tubi masuk dari Windy. Tapi rasanya lebih menarik memandangi gadis itu.

"Kamu di mana sih?!" Seru dari seberang telpon.

Gue meringis, baru teringat harus mengantar Windy ke salon langganannya. "Iya by, bentar lagi aku sampai parkiran." Setelah jawaban ketus Windy di susul sambungan terputus sepihak, gue kembali melirik bangku taman sekali lagi.

"Dila! Ayo! Bentar lagi kelas!"

Perempuan yang sedari tadi gue perhatikan mengadah, mata coklatnya tampak jelas diterpa cahaya. Dia tersenyum sangat manis kemudian merapikan buku memasukkannya ke dalam tas dan beranjak.

Tersadar, gue juga berbalik. Kembali meneruskan niat gue menemui Windy yang sudah menunggu di parkiran.

"Dila, ya?" Entah kenapa gue tersenyum menyebut nama itu dalam hati. Hari ini, gue tahu nama perempuan yang ga tau kenapa ga bisa berhenti gue perhatikan sejak dua minggu lalu.

"Kenapa senyum-senyum?"

Ketus Windy, gue melirik padanya. Perempuan yang menjadi tambatan hati gue sejak sekolah menengah. Menggeleng pelan dan terkekeh melihatnya merengut, masih kesal atas keterlambatan gue.

"Ga apa-apa, kamu makin cantik kalo lagi ngambek." Jawab gue asal, kembali mengemudi saat lampu lalu lintas berganti hijau.

Bertahun-tahun gue menjalani hubungan dengan Windy, gue selalu berusaha menjaga hati untuk dia. Karena itu, walaupun perempuan bernama Dila tadi sangat menarik perhatian, ga sekalipun gue mengajaknya berkenalan. Gue tidak ingin merusak hubungan gue dan Windy.

Walaupun hubungan kami memang sudah rusak.

***

Mendapat telpon di tengah malam membuat gue panik, terlebih yang menelpon adalah mama Windy menanyakan keberadaan anaknya. Gue yang tadinya sedang pulas langsung melek menelpon Dani untuk membantu mencari Windy.

Dani yang tadinya sedang berbuat yang iya-iya dengan perempuan yang dia sewa di club kesal setengah mati pada gue yang mengganggu aktivitas malamnya. Tapi tetap membantu terlebih gue berjanji membayarkan perempuan lain buat dia setelah Windy ketemu.

Gue kalut setengah mati, setelah mencari berjam-jam tidak juga menemukan Windy sedangkan ini sudah jam dua pagi. Teman-temannya sudah gue datangi tapi ga ada yang tau di mana dia.

Sampai akhirnya gue teringat Reno, sahabatnya sejak kecil dan juga sahabat gue sejak SMA. Gue menelan ludah susah payah sebelum menyambung telpon. Hingga dering terakhir, Reno ga juga mengangkat. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Gue memutuskan ke apartemennya di daerah Jakarta Pusat. Dengan berat hati.

"Dan, gue kayaknya tau di mana Windy. Lo balik aja ke club, nanti gue susul."

Gue menekan pedal kuat, berusaha secepat mungkin sampai tempat tujuan gue dengan pikiran kacau. Gue memarkir mobil sebelum masuk, akses masuk apartemen ini terbatas. Tapi Reno mempercayakan kartu aksesnya berhubung gue terkadang menginap di sana.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang