45. Chance

597 92 19
                                    

Pagi memaksa gue kembali menjalani rutinitas seperti biasa, berusaha sebisa mungkin bersikap seolah ga ada masalah dalam rumah tangga kami terlebih di depan Elvan. Dia masih terlalu kecil untuk tau bawha orang tuanya sedang ada masalah. Sebisa mungkin menekan ego dan kembali memberi kesempatan sama suami gue buat buktiin kalau dia memang ga bersalah.

Bunyi bell menginterupsi kegiatan gue yang sedang memasak sarapan, setelah mencuci tangan gue beranjak membukakan pintu. Mood gue seketika hancur melihat perempuan yang tersenyum angkuh di depan gue. Tanpa permisi dia menerobos masuk, dan duduk di kursi meja makan. Gue hanya menghela nafas, kembali melajutkan kegiatan gue.

"Ga punya babu lo di sini?" gue masih bergeming tidak perduli.

"Wajar sih Arga ga ngasih babu, dia pasti kurang merhatiin lo. Secara dia ga CINTA, kalo ada rasa jelas dia ga bakal biarin kuku lo jelek gara-gara ngebabu."

Gue mulai jengah dengan celotehan perempuan ga tau malu ini, dia ga tau aja kalau gue yang melarang Arga mempekerjakan pembantu full time. Gue ingin turut andil mengurus keluarga walaupun hanya memasak sarapan dan makan malam. Baru gue mau menyanggah, derap langlah dari tangga menghentikan gue, Elvan datang dengan girangnya menarik baju gue untuk memberikan ciuman selamat pagi. Di susul dengan Arga yang kelihatan sibuk dengan dasinya.

"Sayang, tolongin aku pake dasi ini susah bang-" langkah Arga terhenti, gue bisa melihat pandangan ga suka yang dia tujukan pada perempuan yang menatapnya berbinar. "Ngapain lo di sini?!" suaranya berubah drastis dari saat dia berbicara dengan gue.

"Baby kita pengen ketemu papanya, dia kangen."

Arga mendengus, melewati Windy begitu saja kemudian mengecup pipi gue. "Pagi." bisiknya mengelus perut gue lalu berbalik menatap Windy tajam.

"Kalo kangen sama papanya, harusnya lo ga ke sini."

Tergambar jelas sorot terluka di mata Windy, tapi dia bisa nyembunyiin semua dengan cepat. Ga lama dia melangkah mendekat menyentuh dada Arga, membuat gue geram. Rasanya gue ingin membanting mangkuk besar berisi nasi goreng yang baru matang.

Arga segera menepis tangan Windy, padahal setau gue mereka dulu terlihat begitu romantis dan serasi saat bersama. "Jangan sentuh, cuma ISTRI gue yang berhak." gue hampir menyemburkan tawa melihat ekspresi syok atas penolakan Arga.

Dan Arga dengan cuek kembali menghadap gue, "Sayang, tolong dasi aku." pintanya yang jelas langsung gue lakukan. Gue benar-benar kaget saat Arga mengecup bibir gue setelah gue selesai memasangkan dasinya. Memang bukan hal baru, tapi dia melakukan itu di depan Windy. Wanita yang semula begitu dia puja dan dengan wajah ga berdosa dia duduk di samping Elvan mengecup pipi tembamnya.

"Elvan pergi sekolah sama daddy?"

Elvan menggeleng dengan mulut penuh makanan, menelannya sebelum menjawab. "Papa bilang mau jemput Epan." Arga mengangguk paham, melanjutkan sarapannya. Merasa diabaikan, Windy memilih pergi dengan kesal.

Gue melihat kepergiannya, merasa sedikit iba bagaimanapun dia sedang hamil. "Biarin aja, biar dia tau aku ga suka dia ngusik rumah tangga kita." gue menatap Arga ga percaya, ini seriusan dia memperlakukan princessnya kayak gini?

"Kamu serius, bukannya kamu cinta banget sama dia?"

"Dulu, sekarang ngga lagi." dia menatap gue intens membuat gue salah tingkah, "Sekarang cuma ada mommynya Elvan." ucapannya terdengar tulus, dia juga ga terlihat sedang menggoda gue. Tapi gue terlalu takut memasukkannya ke dalam hati kemudian terluka lagi.

"Good morning." sapaan Raka terdengar nyaring, dia mencium puncak kepala Elvan sebelum kembali membuka suara.

"Itu medusa ngapain di sini?" tanpa diperjelas, kami tau jelas siapa yang dimaksud.

"Nyari bapak anaknya." sindir gue melirik pada Arga yang menatap gue sendu.

"Kalo gitu harusnya dia ke rumah si-"

"Ka..." tegur Arga membuat bibir Raka terkatup rapat dan menimbulkan beragam tanya dalam benak gue. Apa mungkin yang Raka maksud adalah ayah kandung dari bayi yang dikandung Windy dan Arga memang bukan orangnya? Gue mengamini pemikiran gue, tapi ga mau berharap banyak.

Gue memilih diam, mempertahankan hening bersamaan dengan pikiran gue yang berkelana jauh. Elvan yang memilih pergi dengan Raka membuat gue terpaksa berangkat berdua dengan Arga. Ya, sejak tau gue hamil dia memaksa mengantar-jemput gue lagi. Biasanya ada saja yang menjadi topik pembahasan kami sepanjang perjalanan, tapi semua yang terjadi dua hari lalu masih terus terkenang. Gue belum bisa seutuhnya bersikap seperti biasa, walau tidak menangis hati gue benar-benar sakit. Bayangan bahwa Arga memang ayah dari bayi itu, dan bagaimana masa depan keluarga kecil yang baru saja gue bangun nantinya terus menyakiti gue. Gue takut, terlalu takut kehilangan Arga.

Genggaman di tangan kanan membuyarkan lamunan gue, ga sadar kalau mobil Arga sudah berhenti di lobby kantor gue. Entah kapan air mata gue mulai menetes, gue baru menyadari saat Arga mengusapnya. Dia membawa gue dalam dekapan, menelusupkan wajahnya di lekukan leher gue.

"Maafin aku, tolong bersabar sedikit lebih lama. Aku akan kembaliin semua seperti semula." gue balas mendekapnya, tidak berani mengungkapkan rasa takut kalau semua kembali seperti semula, ya, seperti saat dia menjadi milik Windy dan gue bukan siapa-siapa.

"Aku selalu sayang kamu." bisiknya meluruhkan air mata gue. Aku cinta kamu, Arga... selalu.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang