5. Argue

806 148 5
                                    

Sejak pulang dari pesta gue sadar gue berada dalam masalah besar melihat tatapan Arga yang sangat menunjukkan kalau dia marah. Tidak seharusnya gue disalahkan karena pada dasarnya dia tidak punya hak melarang gue menjalin hubungan dengan orang lain. Tapi melihatnya tadi gue pasti akan kembali berdebat dengan Arga.

Brak!

Baru gue memikirkan orangnya sudah datang dengan bantingan keras di pintu kamar gue, gue hanya menatapnya datar lalu kembali dengan ritual perawatan wajah gue. Dia membalikkan tubuh gue dengan kasar hingga gue meringis merasakan cengkramannya di bahu gue.

"Siapa Dion?!"

Gue mengangkat wajah gue menatap dia, rasanya enggan meladeni emosinya karena gue belakangan ini sudah sadar bahwa dia tidak berhak. Tangan gue bergerak melepas cengkramannya dan melanjutkan kegiatan gue yang tertunda, gue bisa melihat tatapan geram Arga karena diabaikan dan gue memutuskan menjawab seadanya.

"Temen."

"JANGAN BOHONG!" bentaknya yang membuat gue kaget dan emosi disaat bersamaan.

"It's not your business Arga! Urus urusan lo sendiri!"

Gue dapat mendengar helaan nafasnya dan pantulan dirinya yang mengusap wajah dengan kasar dan menarik rambut hitamnya.

"Kamu kenapa kayak gini Dil?" tanyanya melembut, gue tau dia berusaha keras menahan emosinya melihat ketidak perdulian gue yang baru dia lihat belakangan ini. Gue tidak menjawab karena gue yakin dia sudah tau alasannya, bukannya gue sudah pernah membahas ini? Gue benar-benar ingin berhenti menyakiti perasaan gue.

"Dila please aku ga akan ngerti kalau kamu ga ngomong."

"Kita udah pernah membahas ini Ga, kamu tau jawabannya."

Dia menarik gue untuk duduk di sampingnya, menggenggam tangan gue erat dan menatap dalam mata gue.

"Apa yang kamu pikirin sampe berpikiran kayak gitu hm?"

"Aku capek Ga, ga seharusnya kita pertahanin ini. Kamu ga kasian sama pacar kamu?" Dada gue sesak saat menyebutkan kata itu, tapi itu berhasil membuat gue semakin tersadar akan posisi gue.

Arga menggeleng kuat, gue sudah tau kalau dia tidak akan mengerti secepat itu. Dia terlalu mementingkan dirinya selama ini jadi akan semakin sulit memberikan pengertian agar dia mau mengalah dengan egonya.

"Aku ga bisa Dil." gue semakin frustasi mendengar jawabannya, tidak bisa kenapa? Apa sebegitu enaknya tubuh gue sampai dia tidak bisa melepaskan gue dari hidup dia?

"Arga please stop using your ego."

"Kamu ga akan ngerti Dil, ini rumit buat aku."

Rumit? Apa dia pikir semuanya tidak rumit untuk gue yang ada di posisi serba salah? Dari segi manapun gue akan kelihatan salah jika terus bersama dengan Arga.

"Kamu terlalu egois! Pernah kamu pikirin posisi aku?!"

Gue berdiri dengan emosi yang membuncah melepaskan genggaman Arga dengan kasar, gue sudah tidak tahan menghadapi dia lebih baik gue pergi. Tubuh gue terasa memberat gue tau Arga yang melakukannya, gue berusaha berontak namun sayang kekuatan Arga jauh melebihi gue.

"Aku ga mau kehilangan kamu."

Gue memejamkan mata gue mencari kewarasan yang masih ada, gue tidak boleh terperangkap dengan mulut manisnya tapi di satu sisi gue butuh penjelasan kenapa dia tidak ingin kehilangan gue.

"Kenapa?" tanya gue dengan suara bergetar, gue sudah hampir tidak bisa menahan air mata. Terlebih saat Arga menggeleng di pundak gue yang gue tau dia tidak punya alasan untuk itu dan secara tidak langsung dia membutuhkan gue, tidak menyayangi apalagi mencintai gue.

"Aku ga tau." air mata gue berhasil lolos membasahi tangannya yang melingkar di pundak gue. Pelukannya merenggang dan gue memanfaatkan itu untuk pergi.

Gue terlihat seperti orang tolol karena keluar apartemen dengan menggunakan piyama dan sendal jepit, beruntung aku gue sempat mengambil dompet dan kunci mobil sebelum keluar tadi. Ketika gue dikuasai emosi gue memang jadi orang yang sulit menuntun diri untuk berpikiran jernih untung saja pikiran untuk bunuh diri tidak pernah melintas dalam pikiran gue jika tidak mungkin gue sudah mencobanya.

Memang pada dasarnya gue bukan orang yang religius dan sudah pasti jarang beribadah, tapi itu bukan karena gue tidak percaya Tuhan atau menyalahkanNya atas apa yang terjadi pada diri gue. Gue saja yang terlalu bebal dan merasa diri gue tidak pantas menghadapNya. Mungkin karena itu dorongan setan dalam diri gue sangat kuat untuk melakukan maksiat, setidaknnya gue tidak pernah menggunakan obat terlarang meskipun sudah beberapa kali ditawari.

Sudah hampir dua jam gue memutari kota Jakarta tanpa arah yang jelas, dan sudah hampir dua bungkus rokok gue habiskan, pikiran gue sedang sangat kacau dengan kehadiran Arga di apartemen tadi. Gue memutuskan untuk berhenti di swalayan terdekat untuk membeli minum dan beberapa cemilan yang bisa menemani gue diperjalanan.

Puas berputar-putar tidak jelas entah kenapa gue bisa sampai di rumah megah bercat putih ini, mungkin karena pemiliknya yang sangat gue butuhkan sehingga tanpa sadar tubuh gue mengarahkan untuk sampai ke rumah ini. Melihat kedatangan gue, pak Dera, satpam di rumah itu langsung membukakan pintu gerbang. Dia sudah kenal gue karena tuannya sering membawa gue ke rumah ini jika sudah mabuk berat.

Gue memencet bell beberapa kali berharap orang yang gue cari ada di dalam, ini sudah sangat larut tapi gue bahkan tidak perduli karena gue butuh dia sekarang. Pintu terbuka menampakan cowok yang gue cari, tanpa basa-basi gue langsung menghambur kepelukannya tapi tidak menangis sepertinya air mata gue sudah mulai beku karena sudah terlalu lelah.

"Lo kenapa Dil?" tanya Raka hati-hati. Dia balas memeluk gue.

"Ga apa-apa cuma pengen kesini aja."

Raka melepaskan pelukannya pelan lalu menatap gue dari atas ke bawah, dia seperti memandang gue meminta penjelasan dengan penampilan gue malam ini yang datang jam dua pagi ke rumahnya dengan hanya memakai piyama.

"Ga apa-apa tapi datang dengan kondisi kayak gini?" dia diam sebentar lalu membawa gue ke dalam kamar yang biasa gue pakai.

"Ka, nanti gue ada kuliah pagi. Ga ada baju tapi ga mau pulang."

Raka tampak berpikir mengingat sesuatu, "Kalau ga salah gue masih nyimpen kemeja, jeans sama daleman lo di lemari yang lo pake waktu mabok dulu."

Dalam satu gerakan kedua lengan gue sudah memeluk lehernya dan mengecup pipinya singkat.

"Gue sayang lo."

Raka tertawa dan mengacak rambut gue gemas, "Gih tidur, ntar kesiangan aja." ucapnya memerintah. Gue hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat Raka akan keluar dengan cepat gue menahan tangannya, gue seperti merasa tidak ingin ditinggalkan, gue takut merasa sendirian lagi.

"Ka, gue ga mau sendirian." Raka menatap gue sebentar lalu berjalan ke arah gue.

"Gue temenin sampe lo tidur."

Sekali lagi gue tersenyum senang dengan sikap Raka yang seolah selalu mengerti gue, gue berbaring di ranjang dengan Raka yang memposisikan dirinya di tepi ranjang dengan posisi setengah berbaring. Gue merasakan nyaman saat Raka membelai rambut gue yang mendatangkan rasa kantuk yang tadinya tidak ada.

Suara berat Raka terdengar samar saat gue hanpir terpejam, membuat hati gue yang dingin menjadi hangat dengan kata-katanya.

"Gue tau lo cewe kuat Dil. Inget gue selalu disini buat lo."

Thanks God sudah menurunkan malaikat seperti Raka dalam hidup gue.

Where is My Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang